Cabut Bintang Jasa Utama yang diberikan ke Eurico Guterres

Menanggapi pemberian penghargaan Bintang Jasa Utama kepada mantan milisi pro-integrasi Timor Timur, Eurico Barros Gomes Guterres, oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Agustus 2021, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Pemberian tanda jasa kepada Eurico Guterres, seorang mantan komandan milisi yang diduga terlibat langsung dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Leste pada tahun 1999 adalah bentuk pengabaian yang luar biasa terhadap hak asasi manusia oleh Pemerintah Indonesia.”

“Dalam sambutannya pada Hari HAM Sedunia pada tanggal 10 Desember 2020, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah ‘tidak pernah berhenti untuk menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat.’ Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan jika terduga pelaku pelanggaran HAM malah diberikan tanda jasa oleh Presiden?”

“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk segera mencabut penghargaan Bintang Jasa Utama yang diberikan ke Eurico Guterres. Kami juga mendesak pemerintah untuk lebih menunjukkan komitmen pada penegakkan hak asasi manusia dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik di masa lalu maupun kasus-kasus yang terkini.”

Latar belakang

Sebagai bagian dari rangkaian peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 12 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo memberikan tanda jasa terhadap setidaknya 355 orang, termasuk di antaranya Eurico Guterres.

Pada bulan Desember 2020, Eurico juga menjadi salah satu 11.485 mantan milisi pro-integrasi Timor Timur yang diberi piagam Patriot Bela Negara oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Eurico, dalam posisinya sebagai wakil panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) dan komandan kelompok milisi Aitarak kala itu, diindikasikan terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM berat di Timor Timur pada tahun 1999.

Pada tanggal 27 November 2002, Pengadilan Negeri HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis terhadap 10 tahun penjara Eurico atas keterlibatannya dalam serangan milisi Aitarak ke rumah Manuel Viegas Carrascalão, seorang pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Timur, pada tanggal 17 April 1999. Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan bahwa pada Apel Akbar Peresmian PAM Swakarsa, Eurico menghasut serangan tersebut dengan menyampaikan pidato yang antara lain menyebutkan bahwa orang-orang pro-kemerdekaan Timor Timur, Manuel, dan keluarga Manuel harus dibunuh. Dalam serangan tersebut, 12 orang dibunuh, termasuk di antaranya Manelito Carrascalão, anak tiri Manuel yang berumur 17 tahun, dan pengungsi-pengungsi yang mencari perlindungan di rumah itu.

Namun pada tahun 2008, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali Eurico dan membebaskannya.

Laporan Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) Timor Leste juga menyebut Eurico sebagai salah satu pelaku utama pembantaian di gereja di Liquica, Timor Timur, yang terjadi pada 6 April 1999. Menurut estimasi PBB, ada setidaknya 200 warga Timor Timur yang dibunuh dalam kejadian tersebut.

Eurico belum pernah dibawa ke pengadilan atas kasus tersebut. Tiga terdakwa yang diadili oleh Pengadilan Negeri Ham Ad Hoc terkait kasus gereja Liquica – Asep Kuswani, mantan Komandan Distrik Militer 1636, Liquiça; Adios Salova, mantan Kapolres Liquica; dan Leoneto Martins, mantan Bupati Distrik Liquica – semuanya divonis bebas pada tanggal 29 November 2002.

Dalam observasinya tentang Indonesia pada tahun 2008, Komite menentang Penyiksaan PBB menyatakan keprihatinannya bahwa tidak satu pun terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur dinyatakan bersalah. Komite merekomendasikan kepada negara untuk merevisi legislasi tentang pengadilan HAM karena pengadilan-pengadilan tersebut kesulitan memenuhi mandatnya, yang berakibat impunitas untuk pelaku pelanggaran HAM Berat.

Amnesty mengingkatkan bahwa bentuk atau tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil seperti, diantara lainnya, penyiksaan dan pembunuhan diluar hukum juga dapat melanggar dan tidak sejalan dengan instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Amnesty International Indonesia juga menuliskan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk menyatakan keberatan atas pemberian Bintang Jasa Utama ke Eurico Guterres.