Berlebihan, tindakan polisi menangkap pembawa poster

Menanggapi penangkapan beberapa warga yang membawa poster saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Blitar, Jawa Timur dan Solo, Jawa Tengah, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan:

“Sangat mengherankan bahwa warga yang membawa poster berisi aspirasi yang ingin disampaikan ke presiden secara damai dianggap sebagai ancaman sehingga harus ditangkap atau ‘diamankan’ oleh aparat kepolisian.”

“Poster-poster tersebut hanya berisi permohonan agar presiden memperhatikan dan mendengar aspirasi mereka. Jika ungkapan sejinak ini saja tidak diperbolehkan, maka semakin mengindikasikan  bahwa ruang kebebasan berekspresi di Indonesia terus menyusut.”

“Aparat kepolisian seharusnya melindungi warga yang hendak mengungkapkan pendapatnya secara damai, bukan malah menghalang-halanginya. Meskipun polisi mengatakan mereka hanya ‘diamankan’ dan tidak ditahan, perlakuan seperti ini jelas akan menciptakan efek gentar yang dapat membuat orang semakin takut untuk menyampaikan pendapatnya.”

“Pemerintah tidak boleh menutup mata atas kejadian-kejadian seperti ini dan memastikan bahwa aparat penegakan hukum mengerti bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara damai di depan umum.”

Latar belakang

Pada tanggal 13 September 2021, setidaknya tujuh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah ditangkap oleh aparat kepolisian dan dibawa ke Mapolresta Solo setelah mereka membentangkan beberapa poster saat Presiden Joko Widodo melintas di depan kampus UNS.

Isi poster-poster tersebut antara lain “Pak Jokowi, tolong benahi KPK” dan “Pak, tolong dukung petani lokal.” Ketujuh mahasiswa tersebut sudah dilepaskan oleh kepolisian.

Sebelumnya, pada tanggal 7 September 2021, seorang peternak di Blitar, Jawa Timur, ditangkap oleh polisi setelah membentangkan poster berisi tulisan “Pak Jokowi bantu peternak beli jagung dengan harga wajar” saat Presiden melintas.  Peternak tersebut juga sudah dipulangkan.

Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, serta dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 terkait Pasal 19 ICCPR.  Kebebasan berekspresi hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.