Bebaskan Victor Yeimo dan mahasiswa yang menuntut pembebasannya

“Penangkapan Victor Yeimo pada bulan Mei lalu atas tuduhan makar hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai merupakan bentuk dari pelanggaran kebebasan berekspresi. Sekarang, polisi malah menumpuk pelanggaran di atas pelanggaran dengan menangkap mahasiswa hanya karena mendesak pembebasan Victor secara damai.”

Menanggapi penangkapan setidaknya 14 mahasiswa Universitas Cenderawasih di Jayapura, Papua yang melakukan demonstrasi untuk mendesak pembebasan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Seperti Victor, para mahasiswa Uncen ini hanya hanya menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat untuk menyampaikan aspirasi mereka dengan damai. Seharusnya mereka dilindungi dan difasilitasi, bukan ditangkap atau diperlakukan sebagai kriminal.”

“Kami mendesak Polresta Jayapura untuk menghormati kebebasan berekspresi dan melepaskan mahasiswa yang ditangkap.”

“Kami juga kembali menyerukan pembebasan Victor Yeimo segera dan tanpa syarat, apa lagi mengingat tidak adanya bukti yang kredibel bahwa Victor telah melakukan tindak pelanggaran hukum yang diakui secara internasional.”

“Kami juga mendesak agar selama masih di dalam tahanan, Victor Yeimo diberikan akses kepada tim kuasa hukumnya, dipastikan memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, dan tidak mengalami praktik penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.”

Latar belakang

Menurut informasi yang dihimpun Amnesty, setidaknya 14 mahasiswa Universitas Cenderawasih ditangkap oleh anggota Kepolisian Resor Kota Jayapura setelah mereka melakukan aksi solidaritas untuk mendesak pembebasan aktivis KNPB Victor Yeimo pada tanggal 10 Agustus.

Sampai saat ini ditulis, para mahasiswa masih ditahan di Polresta Jayapura.

Sebelumnya, Victor Yeimo ditangkap oleh Satgas Nemangkawi pada tanggal 9 Mei 2021 atas tuduhan makar atas dasar orasi dan partisipasinya dalam demonstrasi damai anti-rasisme di Jayapura yang terjadi pada tahun 2019.

Victor dituduh melanggar Pasal 106 dan 110 KUHP tentang makar dan pemufakatan makar. Sampai saat ini dia masih ditahan di Rutan Mako Brimob Polda Papua.

Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty dari Gustaf Kawer, salah seorang kuasa hukum Victor, saat dalam tahanan Victor tidak memiliki akses yang reguler kepada pihak keluarga dan tim advokasi hukum pilihannya. Victor juga diduga mengalami sakit tapi belum memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

Amnesty juga mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Lebih lanjut, Amnesty juga mengingatkan hak semua orang yang berada dalam tahanan untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak, sesuai dengan Pasal 10 ICCPR yang menyatakan “setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.”

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk mengadvokasi penentuan nasib sendiri ataupun permasalahan politik lainnya, yang dilakukan dengan cara damai haruslah dilindungi.