Bebaskan tiga terpidana makar di Tanah Papua

Merespons vonis bersalah dan hukuman penjara atas tiga terdakwa makar asal Papua, Elias Wetipo, Marthen Samonsabra Oiwari, dan Yoran Pahabol di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Vonis bersalah dengan dakwaan makar ini merupakan yang kedua dalam sepekan terakhir. Hal ini semakin membuktikan bahwa represi atas kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul secara damai di Papua dan Papua Barat terus berlangsung. Negara tidak serius melindungi hak asasi orang-orang Papua dan Papua Barat.”

“Ketiganya ditangkap setelah melakukan kegiatan yang tidak mengandung unsur-unsur kekerasan atau permusuhan, yaitu orasi damai dan membentangkan spanduk. Bukti-bukti yang ditunjukkan Jaksa Penuntut Umum tidak satu pun berupa senjata tajam atau alat-alat yang membahayakan keamanan. Hal ini adalah kriminalisasi yang dilakukan negara terhadap warga dengan dalih pidana makar.”

“Negara selalu menggunakan pasal makar untuk merepresi pandangan politik damai orang Papua. Padahal mereka semata-mata menggunakan hak mereka untuk berkumpul dan berekspresi yang dilindungi oleh hukum internasional.”

“Maka, kami menuntut mereka untuk dibebaskan tanpa terkecuali, dengan warga negara lainnya yang dijerat pasal makar hanya karena menggunakan hak mereka untuk berkumpul, berekspresi dan berpendapat secara damai.”

Latar belakang

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar pada hari Rabu, 14 Juni 2023, membacakan vonis kepada ketiga terdakwa, yaitu Elias Wetipo, Marthen Samonsabra Oiwari, dan Yoran Pahabol. Para terdakwa, yang dikenal sebagai pengurus Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan makar.” Wetipo dan Oiwari dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun, sedangkan Pahabol dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan enam bulan, sebagaimana yang dikutip dari keterangan laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Makassar.

Sebelumnya pada sidang tuntutan 22 Mei 2023, Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa ketiganya telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Makar Secara bersama-sama”, sebagaimana diatur Pasal 110 ayat (2) ke-1 KUH Pidana Jo. Pasal 106 KUH Pidana. Untuk itu JPU menuntut ketiga terdakwa pidana penjara selama lima tahun.

Perkara makar yang menjerat ketiga terpidana tersebut bermula ketika mereka berangkat dari Kota Jayapura ke Kota Sorong pada 13 September 2022 dalam rangka pertemuan NFRPB.

Di depan pintu kedatangan Bandara Domine Eduard Osok Sorong, mereka membentangkan spanduk bertuliskan ”Kunjungan Kerja (NFRPB) Tahun 2022. Kabinet Pemulihan Negara Federal Republik Papua Barat, Agenda Penataan Struktur Pemerintahan dan Konsolidasi Data Kependudukan di Daerah Negara Bagian dan Distrik.” Ketiganya kemudian melakukan orasi secara damai di depan para pendukung NFRPB.

Setelah berorasi, mereka bersama para pendukung melanjutkan perjalanan ke kantor Sekretaris NFRPB Doberai di Jalan F. Kalasuat Gang Bangau 1 Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Menurut laporan media, mereka sempat kembali ke Jayapura pada hari Minggu 18 September 2022, namun sehari kemudian ditangkap aparat kepolisian dan diterbangkan kembali ke Sorong pada hari Selasa 20 September 2022 untuk ditahan.

Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sorong pada sidang pertama 8 Februari 2023, disebutkan bahwa mereka telah melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara Indonesia.

Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Data pemantauan Amnesty International dari 2019 hingga 2022 juga menunjukkan setidaknya terdapat 90 orang di Papua menghadapi dakwaan pidana karena diduga melanggar pasal makar di KUHP.

Meskipun kebebasan berekspresi dapat dibatasi, pihak berwenang harus memastikan bahwa segala pembatasan tersebut harus sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional, yaitu sesuai dengan hukum, mengejar tujuan yang sah, diperlukan dan proporsional untuk mencapai fungsi perlindungan mereka.

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), dan juga Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Perlu diingat bahwa Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk secara damai mengadvokasi pandangan politik apapun dengan tidak melontarkan hasutan dengan tujuan mendiskriminasi, memusuhi atau menyulut kekerasan, harus dihormati dan dilindungi. (*)