Bebaskan tiga orang Papua dari kriminalisasi pasal makar

Menanggapi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang menjatuhkan putusan bersalah kepada tiga orang atas tuduhan makar di Manokwari, Papua Barat, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Negara harus mengakhiri represi terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai serta membebaskan tanpa syarat tiga orang Papua yang dihukum penjara hari ini. Tuduhan makar sering digunakan untuk menyangkal hak orang-orang Papua untuk mengekspresikan diri secara budaya dan politik, dan dalam kasus ini, telah digunakan terhadap tiga orang tua hanya karena mengadakan ibadah pengucapan syukur.”

“Putusan tersebut menimbulkan keprihatinan serius tentang komitmen negara untuk melindungi hak-hak orang Papua. Kami mendesak pihak berwenang untuk memastikan bahwa proses hukum dilakukan secara adil, transparan, dan memenuhi standar hak asasi manusia internasional.”

“Tindakan yang diambil oleh otoritas penegak hukum harus proporsional, dan warga tidak boleh dikriminalisasi hanya karena mengungkapkan pendapat atau mengajukan tuntutan politik yang sah.”

“Kami juga menyerukan kepada negara untuk melindungi hak atas kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi, sebagai landasan fundamental untuk menghormati dan pemenuhan hak asasi manusia.”

Latar belakang

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pada 12 Juni 2023, menjatuhkan vonis bersalah kepada Hellesvred Bezaliel Soleman Waropen (54), Andreas Sanggenafa (64), dan Kostan Karlos Bonay (57).

Ketiga terdakwa masing-masing dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun, dipotong masa penahanan setelah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan kejahatan makar,” demikian seperti yang dikutip dari keterangan di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Makassar.

Mereka ditahan setelah menggelar pertemuan Hari Ulang Tahun Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) – yang dianggap sebagai gerakan separatis Papua – di Manokwari pada 19 Oktober 2022.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut mereka dengan hukuman empat tahun penjara setelah didakwa dengan Pasal 106 KUHP tentang makar dan Pasal 110 ayat (2) tentang persiapan makar.

Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengizinkan pembatasan kebebasan berekspresi untuk alasan ‘keamanan nasional’ — sebuah elemen yang biasa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk melabeli tindakan ‘makar’. Namun, sebagaimana dijelaskan dalam Prinsip-Prinsip Siracusa, pembatasan dengan alasan tersebut hanya dapat dilakukan jika terdapat ancaman atau penggunaan kekuatan. Hal tersebut sejalan dengan terjemahan dari bahasa Belanda kata ‘aanslag’ dalam KUHP yang berarti serangan fisik.

Kuasa hukum ketiga terdakwa membantah dakwaan JPU dengan mengatakan bahwa mereka hanya mengikuti acara ibadah pengucapan syukur memperingati 11 tahun NRFPB pada 19 Oktober 2022 dan acara tersebut merupakan wujud dari hak kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

Menurut data pemantauan Amnesty International Indonesia dari 2019 hingga 2022, setidaknya 90 orang di Papua menghadapi dakwaan pidana karena diduga melanggar pasal makar di KUHP.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, kebebasan berekspresi termasuk hak untuk secara damai mengekspresikan pandangan atau solusi politik seseorang.