Dalam peringatan hari jadi ASEAN yang ke-55 pada hari ini, Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Migrant Care, Yayasan Kurawal, dan Asia Justice and Rights (AJAR) kembali mendesak ASEAN untuk mengakui gagalnya konsensus lima poin yang diterbitkan pada April 2021 dalam mengakhiri kekerasan yang meningkat serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Myanmar.
Untuk memperkuat pesan ini, Amnesty, Greenpeace Indonesia, KontraS, Migrant Care, Yayasan Kurawal, dan AJAR memproyeksikan kata-kata “ASEAN: Help stop the bloodshed in Myanmar” (“ASEAN: Bantu hentikan pertumpahan darah di Myanmar”), “Thousands in Myanmar killed, arrested or tortured” (“Ribuan orang di Myanmar dibunuh, ditangkap atau disiksa”), dan “ASEAN must act now” (“ASEAN harus bertindak sekarang”) ke gedung Sekretariat ASEAN di Jakarta pada Senin malam.
“Kami melakukan aksi ini sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan aktivis pro demokrasi dan masyarakat sipil Myanmar, yang saat ini berhadapan dengan pelanggaran HAM berat yang terus dilakukan oleh junta militer Myanmar. Kami mendesak ASEAN untuk mengambil tindakan segera guna melindungi para aktivis pro demokrasi dan masyarakat sipil Myanmar daru dari kebrutalan rezim militer Myanmar”, ujar Khalisah Khalid, dari Greenpeace Indonesia.
“ASEAN harus membuktikan bahwa mereka dapat bertindak tegas untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia yang kejam. Militer Myanmar bertanggung jawab atas puluhan tahun pertumpahan darah di sana dan mereka akan terus menginjak-injak kehidupan dan hak jutaan orang di Myanmar jika tidak menghadapi konsekuensi dari kejahatannya,” kata Wirya Adiwena, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia. “Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN juga harus mengambil inisiatif untuk melindungi hak asasi manusia di Myanmar.”
“Kekejaman yang terjadi di Myanmar terus meningkat, termasuk eksekusi mati yang melalui proses persidangan yang tidak adil, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh militer Myanmar,” kata Auliya Rayyan dari Divisi Advokasi Internasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). “ASEAN tidak boleh tinggal diam saja menghadapi ini.”
Sejak Februari 2021, militer Myanmar secara sistematis menindak puluhan ribu pengunjuk rasa damai di seluruh negeri, memaksa 700.000 orang meninggalkan rumah mereka, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan menangkap hampir 15.000 orang.
Militer Myanmar telah mengabaikan Konsensus Lima Poin ASEAN yang bertujuan mengurangi kekerasan setelah kudeta militer negara itu pada tahun 2021. Alih-alih menerapkan perjanjian tersebut, militer Myanmar terus melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap rakyat Myanmar. Dalam contoh terbaru dari perlakuan biadab yang kejam terhadap rakyat Myanmar, militer mengeksekusi empat orang pada bulan Juli setelah proses yang sangat tidak adil – eksekusi pertama sejak 1980-an – dengan perkiraan lebih dari 100 orang lagi di deret tunggu hukuman mati pasca-kudeta.
“Kalau ingin mempertahankan kredibilitasnya sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam ASEAN Charter, ASEAN harus segera mengubah pendekatannya dan mengambil tindakan yang nyata untuk membantu mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar,” kata Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE. “Baik secara organisasi maupun negara individu, termasuk Indonesia, harus pro-aktif mendorong keadilan dan akuntabilitas militer Myanmar, yang merupakan salah satu negara anggotanya.”
“Kami mendesak ASEAN untuk memastikan militer Myanmar bertanggungjawab atas kejahatan 5kemanusiaan yang terjadi, termasuk segera membebaskan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang, serta menghentikan eksekusi terhadap tahanan politik” menurut Indria Fernida, Manajer Program Regional Asia Justice and Rights (AJAR) “Kami juga mendesak ASEAN untuk terus mendelegitimasi kekuasaan militer Myanmar serta mendukung transisi demokrasi berjalan dengan aman dan menghormati hak asasi manusia.”
Dalam penelitian yang diterbitkan pada bulan April, Amnesty International mencatat peningkatan represi oleh negara di Myanmar, termasuk penembakan dan pemukulan terhadap pengunjuk rasa damai. Kesaksian yang didapatkan Amnesty menunjukkan bahwa petugas polisi berpakaian preman menyamar sebagai penjual buah dan pengemudi becak untuk memata-matai siapa pun yang berani mengungkapkan perbedaan pendapat secara damai. Sebagai pembalasan terhadap para aktivis, militer telah menggerebek rumah mereka dan menangkap anggota keluarga mereka.
Setelah penyelidikan di lapangan, Amnesty International menyimpulkan pada bulan Juli bahwa militer Myanmar melakukan kejahatan perang dengan meletakkan ranjau darat anti-personil dalam skala besar di dalam dan sekitar desa-desa di Negara Bagian Kayah (Karenni).
Sebuah laporan baru yang diterbitkan oleh Amnesty International pada 2 Agustus mendokumentasikan penggunaan taktik penyiksaan oleh militer Myanmar dalam penahanan, termasuk melakukan kekerasan seksual dan berbasis gender serta penyiksaan psikologis. Investigasi Amnesty International menemukan bahwa militer Myanmar juga melakukan penghilangan paksa dan membuat para tahanan disiksa dan perlakuan buruk lainnya di pusat-pusat penahanan.