Adili Anggota TNI Pelaku Kekerasan di Tambrauw, Papua Barat

Merespon dugaan adanya tindak kekerasan oleh anggota TNI terhadap empat warga Kosyefo di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kami kembali menyesalkan adanya tindak kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI aktif terhadap sejumlah warga Papua. Tindakan yang terjadi setelah interogasi di tengah-tengah warga itu bukan saja mengakibatkan luka fisik pada tubuh korban, tapi juga merupakan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat mereka. Itu melanggar Konvensi Anti Penyiksaan. Sangat disesalkan bahwa aparat negara, yang tugasnya melindungi warga dan menghormati hukum justru bertindak represif dan sewenang-wenang. Kasus ini kembali menunjukan sikap sangat tidak profesional dari anggota militer.”

“Dalam setahun ini, sudah banyak terjadi kasus penganiayaan hingga pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI dan Polri, terhadap warga di Papua. Belum lama ini pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota TNI terjadi di Nduga dan Asiki. Anggota Polri juga diduga membunuh petani kebun pisang Marius Betera. Negara harus bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus berulang di Papua dan Papua Barat tersebut.”

“Terhadap dugaan penganiayaan di Distrik Kwoor, serta dugaan-dugaan penganiayaan dan pembunuhan di luar hukum yang terjadi sebelum-sebelumnya, Amnesty mendesak negara untuk melakukan investigasi yang independen dan transparan. Para pelaku yang diduga merupakan aparat negara harus ditindak tegas. Tidak cukup hanya permintaan maaf dan sanksi internal.”

“Kami mendesak negara untuk memastikan tidak ada lagi impunitas hukum. Kami menduga terdapat hubungan langsung antara impunitas hukum dengan setiap kegagalan dan lambannya otoritas dalam menyelidik kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat. Impunitas hukum adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia.”

Latar belakang

Beredar video menayangkan empat laki-laki mengenakan seragam dinas TNI melakukan kekerasan verbal terhadap enam warga asli Papua. Dalam video berdurasi 3 menit 37 detik tersebut, terlihat TNI sedang membentak dan memarahi keenam warga, bahkan tiga dari enam pemuda tersebut sudah tidak mengenakan pakaian. Video yang diunggah di akun YouTube TV West Papua pada tanggal 2 Agustus 2020 tersebut diketahui berlokasi di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

Sumber Amnesty dari Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari serta Koalisi Penegakkan Hukum dan HAM Papua melaporkan bahwa insiden dalam video tersebut terjadi pada 28 Juli 2020. Saat itu, aparat TNI Kostrad Kwoor mendatangi lokasi pertemuan adat penyelesaian perkelahian antar warga Kosyefo pada pukul 13.00 waktu setempat. TNI memaksa empat pemuda — bernama Neles Yenjau (35), Karlos Yeror (35), Harun Yewen (30) dan Piter Yengres (27) — untuk membuka baju mereka. Berdasarkan informasi dari LP3BH, mereka kemudian dibentak, dan ditendang di bagian dada dan perut sebanyak tiga kali. Setelah itu, semua korban ditinggalkan begitu saja oleh anggota TNI tersebut.

Koalisi Penegakkan Hukum dan HAM Papua melaporkan bahwa tiga dari empat pemuda yang dianiaya sudah pulih dan pulang ke kampung mereka di wilayah pedalaman Kosyefo, sementara satu orang lagi masih sakit dan sedang diobati oleh keluarganya.

Berdasarkan laporan media lokal, Kodam Kasuari melalui Kepala Penerangan (Kapendam) membantah adanya penganiayaan oleh anggota mereka. Menurutnya, kejadian dalam video tersebut hanya cara pembinaan yang dilakukan oleh anggota Koramil Kwoor atas permintaan tokoh masyarakat untuk memberikan efek jera kepada beberapa pemuda yang sering melakukan tindakan semena-mena terhadap warga lain serta sering melakukan perusakkan dan pengancaman pada saat mabuk.

Tindakan kekerasan merupakan salah satu bentuk penyiksaan yang dilarang dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT), yang telah diratifikasi melalui UU No. 5/1998, yang dengan tegas menyatakan bahwa setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau lainnya yang efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah mana pun di bawah yurisdiksinya. Proses pemukulan dari aparat militer dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pasal tersebut.

Pelaku tindak pelanggaran kriminal terkait HAM harus ditangani melalui sistem peradilan pidana dan bukan dengan penanganan internal atau ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan proses pengadilan tersangka di pengadilan umum. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk tidak disiksa juga telah dijamin dalam Konstitusi, yaitu Pasal 28I, dan Pasal 4 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa semua orang harus bebas dari tindakan kekerasan dan penyiksaan apapun. Hak tersebut merupakan hak yang bersifat mutlak, dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.