Aceh lakukan 54 kali hukum cambuk selama pandemi COVID-19

Dua pria di Banda Aceh masing-masing dicambuk 77 kali pada Kamis, 28 Januari, karena diduga terlibat dalam hubungan seks sesama jenis, kata Amnesty International Indonesia hari ini. Pencambukan brutal ini dilakukan di depan umum, dan menandai hukum cambuk ke-54 yang dilakukan di Aceh selama pandemi COVID-19.

“Pencambukan merupakan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, dan masuk kategori penyiksaan. Siapapun tidak boleh dianiaya dan dipermalukan seperti ini,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Kedua pria tersebut ditangkap pada November 2020 setelah warga setempat melaporkan mereka ke Satpol PP karena diduga berhubungan seks di sebuah rumah kos di Banda Aceh.

“Mengincar dan mengkriminalisasi orang karena persepsi orientasi seksual mereka atau karena hubungan konsensual yang mereka lakukan jelas tidak manusiawi. Tidak ada yang pantas mendapatkan pelecehan seperti ini, apalagi hukuman keji seperti yang dilakukan Aceh,” kata Usman.

Laporan media mengatakan bahwa hukuman cambuk tersebut dilakukan di depan sekitar 100 penonton. Dalam salah satu laporan, Ketua Satpol PP Banda Aceh Heru Triwijanarko mengatakan, pihaknya tengah membongkar komunitas dan jaringan LGBTI yang ada di wilayah Banda Aceh.

Ratusan dicambuk di depan umum saat pandemi merebak

Menurut pantauan Amnesty International Indonesia, Aceh melakukan setidaknya 60 pencambukan di depan umum terhadap 254 orang pada tahun 2020, 52 di antaranya dilakukan setelah wabah COVID-19 di Indonesia berlangsung.

“Fakta bahwa hukuman cambuk dilakukan di depan banyak orang di tengah merebaknya wabah COVID-19 menunjukkan adanya distorsi prioritas oleh pihak otoritas Aceh,” kata Usman.

Delapan orang telah dicambuk dalam dua kejadian terpisah pada tahun 2021. Selain dua pria tersebut, empat orang lainnya juga dicambuk pada hari Kamis. Dua pria dicambuk masing-masing 40 kali karena mengonsumsi minuman beralkohol, sementara seorang pria dan seorang perempuan masing-masing dicambuk 17 kali karena bermesraan di luar nikah.

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam. KUHP Aceh disahkan oleh DPRA pada tahun 2014 dan mulai berlaku di seluruh provinsi pada tanggal 23 Oktober 2015. Syariat Islam diterapkan di Aceh sejak berlakunya Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi pada tahun 2001 dan disahkan oleh Pengadilan Islam. Undang-undang ini, dalam beberapa kasus, mengatur hingga 200 cambukan sebagai hukuman.

Pelanggaran yang dapat dihukum termasuk hubungan seksual sesama jenis (liwath), seks pranikah dan hubungan seksual lainnya di luar nikah (zina), konsumsi alkohol (khamar), perjudian (maisir), sendirian dengan lawan jenis yang bukan pasangan nikah atau kerabat (khalwat), melakukan hubungan intim di luar nikah (ikhtilath), pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang berzina tanpa menghadirkan empat orang saksi, dan keintiman antara pasangan yang belum menikah.

Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, semua bentuk hukuman fisik dilarang. Pada 2013, Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang memantau kepatuhan negara terhadap ICCPR (Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), meminta Indonesia untuk mengambil langkah praktis untuk mengakhiri hukuman fisik dan mencabut ketentuan hukum Aceh yang mengizinkan penggunaannya dalam sistem pidana.

Lebih lanjut, hubungan seksual suka sama suka atau konsensual tidak boleh dikriminalisasi atau diperlakukan sebagai tindak pidana. Komite Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan ahli hak asasi manusia lainnya telah menyuarakan keprihatinan tentang hukum yang mengkriminalisasi ‘perzinahan’ atau hubungan seksual konsensual lainnya di luar pernikahan karena melanggar hak atas privasi.

“Kami sangat mendesak pemerintah provinsi Aceh maupun pemerintah pusat untuk segera mengambil tindakan untuk menghentikan praktik kejam ini dan mencabut peraturan yang memungkinkan hal itu terjadi,” kata Usman.