25 Tahun Tragedi Semanggi I: Bentuk Peradilan ad hoc HAM

Memperingati 25 tahun Tragedi Semanggi I, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Peringatan Tragedi Semanggi I ini penting untuk menuntut tanggungjawab negara atas kekejaman yang merenggut 17 jiwa dan juga ratusan korban mahasiswa luka-luka. Hingga 25 tahun berlalu, negara gagal menegakkan keadilan. Bahkan sekarang ini banyak kalangan masyarakat yang melihat kebijakan negara kini justru mengkhianati spirit perjuangan mahasiswa yang anti korupsi, kolusi, dan nepotisme

Tragedi Semanggi terjadi bersamaan dengan hari disahkannya TAP XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hiruk pikuk politik hari ini menunjukkan bukan saja kasus ini tidak diselesaikan, tapi pengorbanan para mahasiswa pun dikhianati.

Kami mendesak negara untuk menuntaskan Tragedi Semanggi I dan kejahatan HAM berat lainnya. Pengakuan saja tidak cukup, negara melalui aparat penegak hukum bertanggung jawab untuk mengungkap dan mengadili semua pelaku sesuai UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Konsistensi perjuangan orang tua korban seperti Maria Katarina Sumarsih dalam aksi Kamisan tiap pekan, hanya dijawab dengan pengakuan separuh hati. Bahkan tanpa ada permintaan maaf, pengungkapan fakta yang menyeluruh, dan tanpa ada penuntutan para pelakunya. Padahal bukti-buktinya jelas.”

Latar belakang

Tragedi Semanggi I terjadi di Simpang susun Semanggi Jakarta pada 13 November 1998 di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak para pejabat dan politisi era Orde Baru dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI.

Laporan media dan Pernyataan Pers Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang Tragedi Sidang Istimewa MPR Tanggal 10-13 November 1998 mengungkapkan bahwa sebanyak 17 warga sipil tewas dan 456 lainnya terluka dalam Tragedi Semanggi I. Setahun kemudian, kekerasan berdarah juga terjadi pada Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 dengan menewaskan 11 warga sipil dan 217 lainnya menjadi korban luka.

Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat insiden penembakan Tragedi Semanggi I dan II, namun banyak pihak mengklaim pengadilan terhadap mereka gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.

Keluarga korban selama ini menuntut agar Tragedi Semanggi I dan II diproses melalui pengadilan HAM. Namun permintaan itu belum terpenuhi karena baik DPR, melalui keputusan veto Badan Musyawarah DPR pada 6 Maret 2007, maupun pemerintah, melalui pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020 berkilah bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui Tragedi Semanggi I dan IIdalam 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sambil menyatakan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.