Pastikan Konsistensi Implementasi Protokol COVID-19 Bagi Tenaga Kesehatan

18 Maret 2020 

Petugas keamanan mengenakan masker wajah di RS Kesehatan Ibu & Anak milik Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, 13 Maret 2020. Pemerintah memantau penyebaran virus corona (covid-19) yang terus meluas, hingga 12 Maret 2020, tercatat 34 pasien positif terinveksi virus tersebut, satu pasien meninggal akibat kompilkasi penyakit yang diperparah infeksi virus tersebut. [TEMPO/Prima Mulia; PML2020031224]

Amnesty International Indonesia bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menuntut dilaksanakannya protokol perlindungan bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19 secara tegas, terpadu, dan konsisten, guna menjamin pemenuhan hak-hak para pekerja kesehatan baik dalam mencegah orang terpapar maupun merawat orang yang terpapar COVID-19. Hal ini penting mengingat telah adanya tenaga kesehatan yang meninggal dunia serta sejumlah tenaga kesehatan lainnya telah terpapar COVID-19. 

Berdasarkan hukum internasional tentang hak-hak asasi manusia, khususnya Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005, Pemerintah berkewajiban untuk “menyusun, menerapkan, dan meninjau sebuah kebijakan nasional yang koheren guna mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat pelayanan mereka” (Komentar Umum 16 paragraf 36). Negara wajib sepenuhnya mendukung dokter, perawat, bidan dan seluruh tenaga kesehatan dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD), informasi, pelatihan, maupun dukungan psikososial yang memadai dan bermutu sesuai hak-hak para tenaga kesehatan. 

Kamu bisa mendorong perubahan! Bantu lindungi para tenaga kesehatan dengan tekan tombol di bawah ini.

Kami mencatat setidaknya terdapat 3 (tiga) versi Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Diseases (COVID-19) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yaitu tanggal 26 Januari 2020, 17 Februari 2020, dan terakhir 16 Maret 2020. Perubahan demi perubahan ini harus dipastikan telah sesuai hukum dan standar-standar hak asasi manusia sehingga tidak menyebabkan ketidakpastian kondisi kerja bagi pekerja kesehatan di lapangan. Dari kajian awal dan wawancara yang baru-baru ini dilakukan Amnesty International Indonesia (selama Maret 2020), kami menemukan tantangan-tantangan serius terkait keterlambatan layanan, rendahnya akses dan kemudahan akses informasi dan ketidakjelasan panduan Standard Operational Procedure (SOP) yang koheren. Hal ini membuat rumah-rumah sakit terpaksa memutuskan untuk membuat SOP bagi pekerja kesehatan mereka secara sendiri-sendiri.  

Selanjutnya, Pemerintah Indonesia harus memastikan adanya transparansi informasi dari pelaksanaan Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Diseases (COVID-19). Observasi kami menemukan bahwa pedoman tersebut belum mengatur skema koordinasi vertikal yang jelas disertai instruksi yang padu, khususnya antara Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit. Hal ini menyebabkan keterlambatan, ketidaksiapan, miskoordinasi antara badan-badan tersebut hingga kepanikan para dokter, bidan, perawat, dan pekerja kesehatan yang mengganggu kinerja layanan kesehatan mereka. 

Tidak hanya mengalami kepanikan, pekerja kesehatan yang langsung menangani kasus infeksi COVID-19 juga terpapar berbagai risiko, di antaranya kelelahan karena jam kerja yang panjang, tekanan psikologis, dan potensi tertular COVID-19 saat melakukan tugas pemeriksaan pencegahan dan pemeriksaan perawatan pasien yang terpapar COVID-19. Tanpa disertai implementasi protokol terpadu, tegas, dan konsisten, maka kesehatan dan keselamatan pekerja kesehatan menjadi tak sepenuhnya terjamin, dan dalam skala lebih luas, dapat membahayakan hak-hak kesehatan pasien dan masyarakat luas. 

Kami sangat miris melihat sebuah peristiwa di mana dua pekerja kesehatan dari RSUD dr. Soekardjo, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, yang terpaksa memakai jas hujan plastik ketika memindahkan Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19. Di kota lain, beberapa tenaga kesehatan hanya diberikan masker N95, dan pembelian baju hazmat yang harganya cukup tinggi dibebankan kepada masing-masing Rumah Sakit (RS). Hal ini membuat para asosiasi pekerja kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta setidaknya 4 (empat) organisasi profesi kesehatan lainnya harus meminta pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas APD yang dibutuhkan dalam menangani COVID-19. Belum adanya respon yang memadai hingga saat ini jelas mengkhawatirkan, karena tanpa ketersediaan fasilitas penunjang yang memadai, maka pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk dapat mencegah penyebaran wabah ini, terutama di luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi sangat sulit dikendalikan, sementara risiko penularan kepada pekerja kesehatan sangat tinggi. 

Inkonsistensi dari pelaksanaan protokol juga mengganggu pengadaan fasilitas penunjang kesehatan yang bermutu, termasuk distribusi Alat Pelindung Diri (APD), penyaring udara jenis High Efficiency Particulate Air (HEPA) dan ventilator. Bahkan, hal ini menyebabkan kerumitan birokrasi dalam pemeriksaan sampel COVID-19 sebagai akibat keterbatasan laboratorium yang dirujuk Pemerintah. Pekerja kesehatan terpaksa mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri sebagaimana terjadi pada kasus Tasikmalaya, serta kesulitan untuk memberikan layanan maksimal. Menurut panduan sementara untuk pencegahan dan pengendalian coronavirus (nCoV) yang dibuat Organisasi Kesehatan Internasional (WHO), Pemerintah wajib menyediakan setidaknya alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan dalam setiap proses penanganan pasien yang terpapar COVID-19. Sementara itu, hukum nasional yang berlaku, yaitu Pasal 164 (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) mewajibkan penggunaan APD untuk menunjang keselamatan dan menekankan pentingnya kesehatan kerja agar para pekerja dapat hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan mereka.  

Tidak hanya itu, jaminan atas mekanisme penanganan yang jelas bagi dokter dan tenaga kesehatan serta keluarga mereka untuk memeriksakan diri atas potensi infeksi COVID-19 juga belum dipenuhi oleh Kementerian Kesehatan. Padahal juru bicara Pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyatakan sudah ada tenaga kesehatan yang tertular COVID-19 dan meninggal dunia. Hal serupa dinyatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Namun keduanya tidak memberikan transparansi tentang jumlah dan rantai penularan pekerja kesehatan tersebut. Dari hasil wawancara Amnesty International Indonesia, kami memperoleh informasi bahwa setidaknya terdapat 1 (satu) dokter yang positif COVID-19 sedang menjalani masa isolasi dan belum juga diumumkan Pemerintah. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mewajibkan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dari pimpinan tempat kerja dan bahwa secara khusus lembaga atau organisasi tersebut berkewajiban memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik pekerja sesuai sifat-sifat pekerjaan yang diberikan bagi pekerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Dalam pemeriksaan diri atas infeksi COVID-19 saja, dokter dan pekerja kesehatan lainnya harus menanggung sendiri pembiayaannya. 

Lemahnya perlindungan para dokter dan pekerja kesehatan disebabkan oleh tidak adanya protokol penanganan COVID-19 yang terpusat bagi mereka, mulai dari dokter, dokter gigi, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Hal ini bertentangan dengan kewajiban pemenuhan hak atas kesehatan yang diatur Pasal 12 ayat (2) huruf d Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi pada tahun 2005. Protokol terpusat tersebut harus mencakup isu-isu yang sudah kami sebutkan di atas, dan harus dapat dilaksanakan oleh semua fasilitas pelayanan kesehatan baik tingkat pertama, kedua, dan ketiga, seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 

Apabila hal-hal penting di atas tidak terpenuhi, maka negara dapat dinilai melanggar hak atas kesehatan yang dijamin dalam Pasal 12 ayat (1) dan Paragraf 12(b) Komentar Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pemerintah juga dapat dinilai telah melanggar hak atas informasi yang diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, karena tanpa akses pada informasi yang utuh tentang metode pencegahan dan pengendalian wabah COVID-19, maka masyarakat akan kesulitan untuk ikut serta mengambil langkah pencegahan dan penanganan COVID-19. 

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Amnesty International Indonesia bersama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyerukan kepada pemerintah dan aktor lain yang terlibat untuk memastikan bahwa semua langkah penanganan wabah COVID-19 telah mematuhi hukum dan standar hak asasi manusia internasional, dengan memperhatikan kebutuhan khusus kelompok dan orang-orang yang terpinggirkan dan paling berisiko, dan bahwa risiko hak asasi manusia spesifik yang terkait dengan para pekerja kesehatan harus dapat ditangani dan dimitigasi. 

Secara khusus, kami mendesak: 

  1. Presiden dan Kementerian Kesehatan RI untuk memastikan implementasi protokol pelayanan dan penanganan infeksi COVID-19 bagi pekerja kesehatan, termasuk memastikan jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) mereka.  
  1. Presiden, Kementerian Kesehatan RI, dan seluruh jajaran Dinas Kesehatan tingkat daerah untuk berkoordinasi antar-lembaga dan dengan lembaga penyedia layanan kesehatan. Pemerintah harus memberikan instruksi yang jelas dengan memastikan ketersediaan APD dan fasilitas penunjang kesehatan, dan memastikan keamanan dan keselamatan tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19. 
  1. Presiden dan Kementerian Kesehatan RI untuk segera memberikan informasi yang lengkap transparan dan komprehensif mengenai tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 dan memastikan bahwa mereka dan keluarga mereka dapat mengakses layanan kesehatan untuk pemulihannya. 

 Demikian pernyataan kami untuk diperhatikan. Terima kasih. 

Amnesty International Indonesia 

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) 

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) 

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) 

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI)