12 Tahun Korban Konflik Aceh Menanti Kebenaran, Keadilan dan Reparasi Penuh

Index: ASA 21/6934/2017

15 Agustus 2017

Memperingati 12 tahun berakhirnya konflik Aceh pada 15 Agustus 2017, Amnesty International menyerukan kembali kepada pemerintah Indonesia dan Aceh untuk memenuhi kewajiban internasional mereka untuk mengakui kebenaran dan menjamin akuntabilitas untuk para korban pelanggaran HAM berat dan keluarga mereka. Berbagai organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan para penyintas dari konflik tersebut telah tekun mengkampanyekan pengungkapan kebenaran, keadilan dan reparasi penuh selama lebih dari sepuluh tahun

Pada 15 Agustus 2005, Perjanjian Damai Helsinki ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mengakhiri konflik selama 29 tahun di provinsi paling barat Indonesia itu. Meski stabilitas di Aceh relatif terjaga setelahnya, otoritas pusat dan daerah telah gagal mengungkap kebenaran atas apa yang terjadi selama tahun-tahun penuh kekerasan yang menyebabkan antara 10 ribu hingga 30 ribu nyawa melayang dan kebanyakan dari mereka masyarakat sipil. Banyak dari mereka pula yang kehidupannya tercerai-berai karena konflik dan masih menderita hingga kini.

Upaya reparasi selama ini hanyalah sebatas kompensasi finansial semata, dan ditujukan kepada masyarakat Aceh secara keseluruhan daripada perorangan yang menjadi korban pelanggaran HAM. Selain kompensasi finansial, belum ada program reparasi komprehensif, termasuk upaya lain seperti permintaan maaf secara resmi, program peringatan bersama untuk para korban, dan menjamin akuntabilitas penegakan keadilan untuk para korban kejahatan HAM itu. Bahkan kelompok korban seperti penyintas kekerasan seksual, hingga saat ini belum dapat mengakses program-program tersebut.

Setelah bertahun-tahun upaya kampanye dan advokasi, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2013 sepakat untuk meresmikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh). Baru pada Juli 2016, parlemen Aceh menunjuk tujuh komisioner KKR Aceh untuk masa kerja 2016-2021. Komisi tersebut mempunyai mandat untuk mengungkap situasi pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh semasa konflik, termasuk menjamin kejahatan kemanusiaan itu tak terulang lagi, serta memastikan bahwa informasi tentang hal-hal itu diakui dan dijaga dengan baik. Meski demikian hingga kini pemerintah pusat belum menyatakan dukungannya kepada komisi tersebut.

Pada Maret 2016 Komisi Nasional (Komnas) HAM menyelesaikan investigasi atas pelanggaran HAM oleh aparat bersenjata di kampung Jambo Keupok, Aceh Selatan pada tahun 2003. Komnas menemukan bahwa cukup banyak bukti menunjukkan terjadinya kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas juga mendapatkan temuan serupa pada Juni 2016 sehubungan dengan pelanggaran HAM aparat bersenjata yang terjadi pada tahun 1999 di Simpang KKA, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Namun hingga kini tak ada penyidikan dan kejaksaan tidak melakukan penuntutan atas kedua kasus tersebut, sehingga pelaku tetap bebas dan korban tidak memperoleh keadilan.

Kegagalan pemerintah pusat menyokong upaya untuk mengungkap kebenaran dan menuntut pelaku ini menunjukkan kurangnya kehendak politik dari Presiden Joko Widodo dan pemerintahan sebelumnya untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM masa lalu. Malahan pemerintah seolah menutup mata dan menghindari tanggung jawab -yang hanya akan memperpanjang penderitaan para penyintas dan keluarga mereka di Aceh. Di bawah hukum internasional, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjamin keadilan, kebenaran, dan reparasi kepada para korban dan keluarganya. Menyelesaikan kejahatan masa lalu di Aceh tak hanya akan menyembuhkan luka batin dari masyarakat, namun juga menguatkan penegakkan hukum di Indonesia, dan membantu menjaga situasi damai dalam jangka panjang.

Amnesty International juga menyerukan negara-negara Uni Eropa dan ASEAN yang memantau proses perdamaian untuk bertanggungjawab atas kegagalan mereka menjamin implementasi penuh atas perjanjian damai.

Latar Belakang

Konflik antara kelompok gerakan pro-kemerdekaan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia terjadi pada 1976 silam, dan puncaknya adalah operasi militer dari tahun 1989 sampai disepakatinya perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tahun 2005. Situasi ini telah memakan korban warga Aceh, sebuah provinsi di bagian utara Pulau Sumatera, Indonesia. Perjanjian Helsinki tahun 2005 menuntut dibentuknya Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Amnesty International dan lembaga-lembaga HAM telah mendokumentasikan seangkaian kejahatan yang dilakukan oleh aparat bersenjata dan pendukungnya terhadap masyarakat sipil, termasuk di dalamnya adalah pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM meliputi juga penyekapan dan pembunuhan berencana atas orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengan pemerintah. Banyak pelanggaran tersebut yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional, di samping terdapat indikasi kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Di bawah hukum internasional, Indonesia memiliki kewajiban untuk menginvestigasi kejahatan-kejahatan ini, dan jika terdapat bukti-bukti, menuntut tersangka sesuai dengan standar internasional peradilan yang adil.

Banyak pelanggaran dan penyiksaan dalam lingkup konflik bersenjata nasional yang setingkat dengan kejahatan perang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat bersenjata dan pendukungnya terhadap masyarakat sipil. Langkah ini adalah bagian dari kebijakan menekan pergerakan kelompok pro-kemerdekaan yang telah melakukan serangan yang meluas dan sistematis dan mungkin menjadi kejahatan kemanusiaan.