Syamsul Bahri dan Samsir: Pejuang Lingkungan Berisiko Dipenjara

Syamsul Bahri dan Samsir, bapak dan anak dari sebuah komunitas tani di Sumatera Utara, divonis bersalah karena melakukan kekerasan setelah menjalani persidangan atas tuntutan pidana yang diduga tidak benar dan juga terkait dengan aktivitas mereka sebagai aktivis lingkungan. Meskipun mereka telah dijatuhi hukuman dua bulan penjara, tetapi mereka tidak akan dipenjara kecuali mereka melakukan tindak pidana dalam masa percobaan empat bulan. Namun, mereka saat ini berisiko dipenjara karena Kejaksaan Negeri Langkat mengajukan banding atas putusan pengadilan tersebut.

AMBIL TINDAKAN: TULISKAN TUNTUTAN DALAM BAHASAMU SENDIRI ATAU GUNAKAN CONTOH SURAT INI

Muttaqin Harahap, S.H., M.H.
Kepala Kejaksaan Negeri Langkat
Jl. Proklamasi No.51, Kwala Bingai, Stabat,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Indonesia (20811)
Telepon/Fax: (+62) 61-891-0166
Twitter dan Instagram: @Kejarilangkat

Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Langkat,

Saya sangat prihatin dengan keputusan Kejaksaan Negeri Langkat untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan terhadap Syamsul Bahri dan Samsir, anggota Kelompok Tani Nipah di Sumatera Utara. Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty International, tidak terdapat bukti yang cukup dan kredibel yang dihadirkan di dalam persidangan yang dapat secara jelas menunjukkan keterlibatan mereka dalam tindak pidana apapun. Mereka dihukum atas tuduhan yang diduga tidak benar, yang diyakini menyasar aktivitas mereka sebagai pejuang hak asasi manusia atas lingkungan.

Sebagai orang-orang yang secara damai berupaya melestarikan lingkungan dan membela hak akses atas tanah, Syamsul Bahri dan Samsir sudah seharusnya dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebut bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Kriminalisasi keduanya tidak hanya melanggar hak-hak mereka, tetapi juga mengancam kerja-kerja dan hak-hak pembela hak asasi manusia di Indonesia.

Saya percaya bahwa Syamsul Bahri dan Samsir seharusnya tidak dihukum sejak awal. Oleh karenanya, dengan putusan yang sudah menetapkan mereka untuk tidak dipenjara, saya merasa resah dengan keputusan banding oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena saya khawatir atas kemungkinan bahwa mereka akan dipenjara secara keliru. Selain itu, penyebaran COVID-19 di penjara juga dapat membahayakan kesehatan mereka, terutama Syamsul Bahri, yang juga menderita diabetes dan kolesterol yang membutuhkan pengobatan secara rutin.

Oleh karena itu, saya mendesak Anda untuk segera memastikan bahwa permohonan banding dicabut. Saya juga mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk memastikan bahwa semua pembela hak asasi manusia di Indonesia dapat melakukan aktivitas mereka secara damai tanpa ketakutan akan serangan, intimidasi, persekusi, penahanan sewenang-wenang atau pemenjaraan, sesuai dengan Pasal 66 UU No. 32/2009.

Dengan hormat,


TULIS SECEPATNYA HINGGA: 28 Agustus 2021

INFORMASI TAMBAHAN

Syamsul Bahri dan Samsir ditahan pada tanggal 10 Februari 2021 dan berada di tahanan selama 14 hari hingga penangguhan penahanan mereka dikabulkan oleh Kepolisian Resort Langkat pada 24 Februari 2021. Pengadilan Negeri Stabat di Sumatera Utara memulai persidangan pada tanggal 29 Maret 2021 dan membacakan putusan pada tanggal 31 Mei 2021, yang menyatakan Syamsul Bahri dan Samsir bersalah karena melakukan kekerasan. Keduanya dihukum dua bulan kurungan, namun mereka tidak dipenjara dengan masa percobaan selama empat bulan. Hukuman tersebut lebih ringan dibanding tuntutan JPU, yaitu enam bulan kurungan. Keluarga dan kuasa hukum mereka awalnya menerima putusan tersebut, namun kemudian mereka memutuskan untuk mengajukan kontra memori banding setelah JPU mengajukan banding.

Pada akhir tahun 2017, Kelompok Tani Nipah mendapatkan legalitas hak pengelolaan hutan seluas 242 hektar di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, melalui skema perhutanan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Sejak saat itu kelompok tani terus bekerja untuk merehabilitasi hutan mangrove di daerah tersebut. Kelompok tani juga memprotes beroperasinya perusahaan sawit yang memiliki perkebunan di area lahan yang hak kelolanya dimiliki kelompok tersebut.

Tuduhan yang diajukan terhadap Syamsul Bahri dan Samsir berawal dari perkara pada bulan Desember 2020 ketika anggota Kelompok Tani Nipah mengerjakan proyek rehabilitasi lingkungan di lahan yang mereka kelola dengan skema perhutanan sosial. Berdasarkan keterangan saksi yang dikumpulkan organisasi non-pemerintah (NGO) setempat, termasuk WALHI Sumatera Utara, LBH Medan, dan Srikandi Lestari, dua orang datang pada 18 Desember dan mengambil foto kegiatan mereka.

Syamsul Bahri, ketua kelompok tani, mempertanyakan niat kedua orang tersebut berkunjung ke kawasan itu. Setelahnya, salah satu individu berjalan pergi dan menelepon temannya mengatakan bahwa “aku dipukuli” dengan suara keras agar orang lain dapat mendengarnya, sebelum melompat ke sungai. Kelompok Tani Nipah segera menyelamatkannya dengan perahu dan membawanya ke tempat aman sebelum memintanya untuk mengklarifikasi pernyataan yang sebelumnya dia buat dalam panggilan telepon. Pria itu kemudian mengatakan bahwa dia tidak dipukuli oleh anggota kelompok tani dan pernyataannya direkam dalam sebuah video oleh seorang anggota komunitas. Teman pria itu datang menjemputnya tidak lama setelah itu.

Pada tanggal 8 Februari 2021, Syamsul Bahri dan Samsir menerima surat panggilan dari Polsek Tanjung Pura untuk dimintai keterangan pada tanggal 10 Februari sebagai tersangka terkait tuduhan yang diajukan oleh salah satu pria yang melapor ke polisi dan menuduh Syamsul dan petani lainnya menyerang dia pada tanggal 18 Desember 2020. Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP tentang tindak pidana kekerasan. Proses hukum tersebut menimbulkan pertanyaan karena Syamsul dan Samsir tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait laporan tersebut sebelumnya.

NGO setempat yang mengadvokasi kasus ini meyakini penangkapan tersebut berdasarkan pada tuduhan yang tidak benar terhadap Syamsul Bahri dan Samsir, dan merupakan kriminalisasi yang bertujuan menghalangi kerja kelompok tani dalam melestarikan hutan mangrove dan menuntut hak akses atas tanah. Berdasarkan keterangan tim kuasa hukum, tidak terdapat bukti yang cukup dan kredibel yang dihadirkan di dalam persidangan yang dapat secara jelas menunjukkan keterlibatan mereka dalam tindak pidana apapun, dalam hal ini kekerasan, yang disebut oleh saksi mata sebagai tuduhan yang tidak benar.

Pembela HAM atas lingkungan di Indonesia semakin sering diserang dan dikriminalisasi ketika aktor ekonomi dan negara menganggap kegiatan mereka sebagai penghalang implementasi dari kebijakan pembangunan. Salah satu kasus kriminalisasi yang banyak diberitakan terjadi pada tahun 2017, di mana aktivis lingkungan Heri Budiawan, yang juga dikenal sebagai Budi Pego, dihukum empat tahun penjara karena dituduh menyebarkan komunisme di tengah aktivitasnya memprotes kegiatan pertambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

Dari bulan Januari hingga Juni 2021, Amnesty International mencatat penangkapan, penyerangan, dan intimidasi terhadap setidaknya 107 pembela hak asasi manusia di Indonesia, termasuk aktivis lingkungan yang membela hak atas tanah dan lingkungan yang sehat.