Selangkah Lagi, Yuk Bebaskan Nuril!

Minta keadilan untuk Baiq Nuril!

Pada 5 Juli 2019, Mahkamah Agung Indonesia menolak peninjauan kasus yang diajukan Baiq Nuril Maknun, penyintas pelecehan seksual, dan menguatkan keputusan mendakwa Nuril bersalah karena mendistribusikan konten pornografi. Dihukum enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta (USD 34.644), Baiq Nuril Maknun mencari amnesti dari Presiden sebagai upaya terakhir meraih keadilan. Di bawah hukum Indonesia, presiden hanya dapat memberikan amnesti setelah mendapat pertimbangan parlemen. Permintaan pertimbangan tersebut secara resmi diajukan Presiden Joko Widodo pada 15 Juli 2019.

SEGERA BERTINDAK! – Mohon tuliskan tuntutan ini dengan kalimat Anda sendiri atau gunakan contoh yang dapat diunduh dari tautan di bawah ini

TULIS SURAT SECEPAT MUNGKIN HINGGA: 24 Agustus 2019

Hubungi kantor Amnesty setempat jika Anda ingin menulis surat sesudah tenggat.

Informasi Tambahan

Baiq Nuril Makmun, yang sekarang tinggal sebagai ibu rumah tangga di Labu Api, Bupati Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia, menyerahkan laporan resmi kepada polisi pada pertengahan November 2018 mengenai pelecehan seksual yang dideritanya. Dalam pekerjaannya sebagai tenaga honorer Sekolah Menengah Atas Negeri di Lombok, Nuril mengatakan ia menerima telepon berulang kali dari Kepala Sekolah yang membual tentang pengalaman seksualnya dan berusaha untuk berhubungan seks dengannya di sebuah hotel. Pada Agustus 2014, Baiq Nuril Maknun merekam percakapan dengan atasannya di telepon sebagai bukti pelecehan seksual yang dialaminya dan untuk menyangkal rumor bahwa Nuril berselingkuh dengannya. Nuril kemudian meninggalkan teleponnya dengan saudara lelakinya untuk disimpan dan mengambilnya kembali empat bulan kemudian, pada Desember 2014.

Tanpa sepengetahuannya, saudara lelakinya memutuskan untuk mendistribusikan rekaman itu ke salah satu rekannya untuk mendukung saudara perempuannya, dan rekan-rekan ini kemudian membagikannya kepada rekan-rekan lain yang melaporkan pelecehan sang kepala sekolah. Baiq Nuril Maknun, yang menjadi korban distribusi rekaman ini tanpa persetujuannya, kehilangan pekerjaannya, sementara pada saat yang sama, si kepala sekolah dipindahkan ke posisi di kantor pendidikan setempat. Kepala sekolah tersebut belum diselidiki pihak berwenang terkait tindakan pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap Nuril. Tapi ia lalu melaporkan Nuril kepada polisi dengan tuduhan membuat dan mendistribusikan konten porno secara ilegal sebagaimana ditentukan oleh Pasal 27 (1) dan Pasal 45 (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2008.

Baiq Nuril Maknun pada awalnya ditentukan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram. Pada 26 Juli 2015, jaksa mengajukan banding atas keputusan tersebut ke Mahkamah Agung. Pada 26 September 2018, Mahkamah Agung memutuskan Baiq Nuril Maknun bersalah dan menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta (USD 34.218). Karena kemarahan publik setelah putusan Mahkamah Agung, pada 19 November 2018 Kantor Kejaksaan Agung memutuskan untuk menangguhkan sementara waktu penjara, dua hari sebelum dia dijadwalkan untuk dijebloskan. Penangguhan ini akan memberi waktu bagi Baiq Nuril Maknun dan pengacaranya untuk melakukan peninjauan akhir menentang putusan. Pada 5 Juli 2019, Mahkamah Agung Indonesia menolak peninjauan akhir yang diajukan Baiq Nuril Maknun dan menguatkan keputusan kasasi yang memutuskannya bersalah karena mendistribusikan konten pornografi.

Pada 12 Juli 2019 Amnesty International Indonesia mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, melalui Menteri Sekretaris Negara, untuk memintanya memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun. Pada 15 Juli, Presiden Widodo mengirim surat kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta saran parlemen tentang usulan pemberian amnesti. Pasal 27 dan 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang yang secara damai menggunakan hak mereka berekspresi menggunakan sarana elektronik, misalnya, berbagi pendapat di media sosial, menulis posting blog, dan lain sebagainya. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) telah melaporkan bahwa sejak 2008, ada 245 tuduhan berdasarkan pasal-pasal tersebut, dan 35% dari tuduhan tersebut dibuat pejabat publik. Penggunaan Pasal 27 dalam kasus ini cenderung memiliki efek mengerikan yang mengkhawatirkan bagi para korban kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender yang mempertimbangkan melaporkan kejahatan yang mereka alami kepada pihak berwenang. Pasal-pasal kejam ini tidak tersentuh meskipun peninjauan kembali atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat sipil Indonesia.