Samsul Bahri dan Samsir: Petani Pejuang Lingkungan Ditahan

Samsul Bahri dan Samsir, bapak dan anak yang tergabung dalam sebuah kelompok tani di Sumatera Utara, telah ditahan sejak 10 Februari 2021 dengan tuduhan yang diduga tidak benar. Para pendamping hukum menyebut penangkapan mereka sebagai bentuk kriminalisasi yang bertujuan untuk menghalangi kerja kelompok tani dalam merehabilitasi hutan mangrove dan membela hak atas tanah di wilayah hutan provinsi tersebut. Pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan termasuk di antara aktivis yang paling banyak dipersekusi di Indonesia. Banyak di antara mereka terus menghadapi intimidasi, ancaman, dan tuduhan yang diketahui bertujuan untuk mendiskreditkan kerja mereka.

AMBIL TINDAKAN: TULIS PERMOHONAN DALAM BAHASAMU SENDIRI ATAU GUNAKAN CONTOH SURAT INI

Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Edi Suranta Sinulingga

Kapolres Langkat

Jl. Proklamasi No. 53, Stabat, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara, Indonesia (20814)

Email: [email protected]


Kepada Yth.

Kapolres Langkat

AKBP Edi Suranta Sinulingga

Di Sumatera Utara

Dengan hormat,

Melalui surat ini, saya ingin mengekspresikan kekhawatiran saya terkait penahanan Samsul Bahri dan Samsir, bapak dan anak yang tergabung dalam Kelompok Tani Nipah. Saya merasa penangkapan ini menambah daftar panjang kasus serangan dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan, yang selama ini termasuk di antara aktivis yang paling banyak dipersekusi di Indonesia. Banyak di antara mereka terus menghadapi intimidasi, ancaman, dan tuduhan yang diketahui bertujuan untuk mendiskreditkan kerja mereka.

Samsul Bahri dan Samsir mendapat surat dari kepolisian pada 8 Februari 2021 untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus pemukulan seorang pria, yang disebut oleh saksi mata sebagai tuduhan yang tidak benar. Meski sebelumnya tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait tuduhan yang dilaporkan, mereka kemudian ditahan pada 10 Februari. Saya merasa resah dengan situasi ini, terutama dalam konteks kerja mereka sebagai pembela HAM yang menuntut hak atas tanah. Informasi yang didapat Amnesty International menyebut Samsul Bahri saat ini sedang sakit di tahanan karena kondisi diabetes dan kolesterol, dan ia membutuhkan pengobatan secara reguler.

Samsul Bahri dan Samsir adalah pembela HAM atas lingkungan yang secara damai berupaya melindungi dan mempromosikan HAM melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove untuk melestarikan ekosistem di daerahnya. Kriminalisasi keduanya tidak hanya melanggar hak-hak mereka, tetapi juga mengancam kerja-kerja dan hak-hak pembela HAM di Indonesia. Kriminalisasi ini juga membawa dampak negatif bagi kelompok tani, termasuk terhadap hak mereka atas lingkungan yang sehat. Mereka tidak boleh dipersekusi atas upaya yang mereka lakukan dan harus dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebut bahwa “setiap   orang   yang   memperjuangkan   hak   atas lingkungan   hidup   yang   baik   dan   sehat   tidak dapat  dituntut  secara  pidana  maupun  digugat secara perdata.”

Oleh karena itu, saya mendesak anda untuk:

  • Membebaskan Samsul Bahri dan Samsir dan menghentikan penyidikan, kecuali terdapat bukti yang cukup, kredibel, dan dapat diterima bahwa mereka telah melakukan pelanggaran yang diakui secara internasional, serta menjamin peradilan yang adil sesuai standar internasional;
  • Memastikan bahwa Samsul Bahri dan Samsir memiliki akses reguler dan tidak terbatas terhadap pengacara pilihan mereka, tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, dan diberikan akses terhadap fasilitas kesehatan dan perawatan medis jika mereka membutuhkan;
  • Mengambil langkah efektif untuk memastikan bahwa semua pembela HAM dan keluarga mereka, termasuk Kelompok Tani Nipah, dapat melakukan aktivitas mereka secara damai tanpa ketakutan ancaman, serangan, intimidasi, penahanan sewenang-wenang atau pemenjaraan, sejalan dengan Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009.

Dengan hormat,


TULIS SURAT SECEPAT MUNGKIN HINGGA22 April 2021

Hubungi kantor Amnesty setempat jika Anda ingin menulis surat sesudah tenggat.

BACKGROUND

Pada akhir 2017, Kelompok Tani Nipah mendapatkan legalitas hak pengelolaan hutan seluas 242 hektar di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, melalui skema perhutanan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Sejak saat itu kelompok tani terus bekerja untuk merehabilitasi hutan mangrove di daerah tersebut. Kelompok tani juga memprotes beroperasinya perusahaan sawit yang memiliki perkebunan di area lahan yang hak kelolanya dimiliki kelompok tersebut.

Tuduhan yang diajukan terhadap Samsul Bahri dan Samsir berawal dari perkara pada Desember 2020 ketika anggota Kelompok Tani Nipah mengerjakan proyek rehabilitasi lingkungan di lahan yang mereka kelola. Berdasarkan keterangan saksi yang dikumpulkan NGOs setempat, termasuk WALHI Sumatera Utara, LBH Medan, dan Srikandi Lestari, dua orang datang pada 18 Desember dan mengambil foto kegiatan mereka.

Samsul Bahri, ketua kelompok tani, mempertanyakan niat kedua orang tersebut berkunjung ke kawasan itu. Setelahnya, salah satu individu berjalan pergi dan menelepon temannya mengatakan bahwa “aku dipukuli” dengan suara keras agar orang lain dapat mendengarnya, sebelum melompat ke sungai. Kelompok Tani Nipah segera menyelamatkannya dengan perahu dan membawanya ke tempat aman sebelum memintanya untuk mengklarifikasi pernyataan yang sebelumnya dia buat dalam panggilan telepon. Pria itu kemudian mengatakan bahwa dia tidak dipukuli oleh anggota kelompok tani dan pernyataannya direkam dalam sebuah video oleh seorang anggota komunitas. Teman pria itu datang menjemputnya tidak lama setelah itu.

Hampir dua bulan kemudian, pada 8 Februari 2021, Samsul Bahri dan Samsir menerima surat panggilan dari Polsek Tanjung Pura untuk dimintai keterangan pada 10 Februari sebagai tersangka terkait tuduhan yang diajukan oleh salah satu pria yang melapor ke polisi dan menuduh Samsul dan petani lainnya menyerang dia pada 18 Desember 2020. Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. Tuduhan tersebut menimbulkan pertanyaan karena Samsul dan Samsir tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait laporan tersebut sebelumnya. Mereka ditahan sejak 10 Februari.

NGO setempat yang mengadvokasi kasus ini meyakini penangkapan tersebut berdasarkan pada tuduhan yang tidak benar terhadap Samsul Bahri dan Samsir, dan merupakan kriminalisasi yang bertujuan menghalangi kerja kelompok tani dalam merehabilitasi hutan mangrove dan menuntut hak mereka atas tanah. Dalam keterangannya kepada koalisi NGOs, Kapolres Langkat AKBP Edi Suranta Sinulingga membantah dugaan kriminalisasi dan mengklaim bahwa polisi telah mengumpulkan bukti atas pemukulan yang terjadi.

Pembela HAM atas lingkungan yang bekerja untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak lingkungan dan hak-hak terkait akses ke tanah di Indonesia semakin sering diserang dan dikriminalisasi ketika aktor ekonomi dan negara menganggap kegiatan mereka sebagai penghalang pembangunan. Salah satu kasus kriminalisasi yang banyak diberitakan terjadi pada tahun 2017, di mana aktivis lingkungan Heri Budiawan, yang juga dikenal sebagai Budi Pego, dihukum empat tahun penjara karena dituduh menyebarkan komunisme di tengah aktivitasnya memprotes kegiatan pertambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2020, Amnesty International mencatat penangkapan, penyerangan, dan intimidasi terhadap setidaknya 202 pembela hak asasi manusia di Indonesia, termasuk aktivis lingkungan yang membela hak atas tanah dan lingkungan yang sehat.