Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang Terhadap Tiga Pemuda Maluku

Tiga aktivis pro-kemerdekaan asal Maluku: Pieter, Alexander, dan Benjamin, telah ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat dan dituduh melakukan tindak pidana makar karena menyimpan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) “Benang Raja” di kediaman pribadinya. Atas tuduhan ini, mereka diancam dengan pidana penjara hingga 20 tahun. Pihak berwajib di Indonesia seringkali menggunakan ketentuan KUHP, khususnya Pasal 106 dan 110 KUHP, untuk mengadili puluhan aktivis politik pro-kemerdekaan damai di Maluku dan Papua hanya karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai.

AMBIL TINDAKAN: TULISKAN TUNTUTANMU DALAM BAHASAMU SENDIRI ATAU GUNAKAN CONTOH SURAT INI

Jenderal (Pol). Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Jalan Trunojoyo No. 3 Jakarta Selatan
Indonesia 12110

Yth, Jenderal (Pol.) Listyo Sigit Prabowo,

Saya menuliskan surat ini untuk menyampaikan keprihatinan saya yang mendalam terhadap tiga aktivis pro-kemerdekaan bernama Pieter Likumahua, Alexander Workala dan Benjamin Naene yang telah ditangkap dan dituduh melakukan tindak pidana makar, karena diduga terafiliasi dengan Republik Maluku Selatan (RMS).

Sungguh mengkhawatirkan bahwa pada 7 April 2021, sebanyak 20 orang TNI memasuki kediaman Alexander Workala tanpa membawa surat perintah. Alexander kemudian dibawa ke Polsek Seram Bagian Barat (SBB), diduga hanya berdasarkan dua barang bukti berupa bendera dan sebuah buku. Keesokan harinya, pada 8 April 2021, pihak kepolisian tiba di rumah Pieter Likumahua untuk dibawa sebagai saksi. Setelah penyelidikan berlangsung, ia ditangkap atas tuduhan memberikan bendera Benang Raja kepada Alexander. Benjamin Naene yang saat itu menemani Pieter juga ditangkap dan ditahan setelah mengaku kepada polisi bahwa ia merupakan anggota RMS.

Saya merasa sangat prihatin bahwa ketiga pemuda Maluku tersebut dituduh melanggar Pasal 106 KUHP hanya karena menjalankan hak asasi mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai. Oleh karena itu, dengan segala hormat saya meminta Anda untuk:

  • Segera bebaskan Pieter Likumahua, Alexander Workala, dan Benjamin Naene, serta lepaskan mereka dari segala tuntutan;
  • Memastikan bahwa mereka memiliki akses tetap dan tidak terbatas ke keluarganya masing-masing dan penasihat hukum sesuai pilihannya, sesuai dengan standar internasional tentang pengadilan yang adil, dan
  • Memastikan bahwa mereka dilindungi dari praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, serta mendapatkan akses ke perawatan medis yang memadai berdasarkan permintaan atau jika diperlukan.

Hormat saya,


TULIS SECEPATNYA HINGGA: 19 September 2021

INFORMASI TAMBAHAN

Pada 7 April 2021 sebanyak 20 TNI menggerebek rumah Alexander Workala. Setelah menemukan buku dan “Benang Raja”, bendera Republik Maluku Selatan (RMS), Alexander dibawa oleh pasukan ke Polsek Seram Bagian Barat (SBB). Di kantor polisi, Alexander dipukuli di bagian kepala. Pada malam itu juga ia diperiksa dan mengaku sebagai aktivis Republik Maluku Selatan (RMS), serta mendapat bendera tersebut dari Pieter Likumahua. Pihak kepolisian kemudian menuduhnya telah melakukan tindak pidana makar. Ia membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa dirinya hanya mengkampanyekan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) dari Indonesia dengan cara damai.

Keesokan harinya,  8 April 2021, polisi mendatangi rumah Pieter untuk meminta keterangan terkait kasus Alexander. Namun, setelah investigasi yang dilakukan selama satu malam, Pieter ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Polsek SBB. Benjamin Naene yang mendampingi Pieter juga ditangkap, dan ditahan setelah mengaku kepada polisi bahwa dirinya adalah aktivis Republik Maluku Selatan (RMS). Keduanya dituduh melakukan tindak pidana makar.

Pada 30 Juni, pihak kepolisian menginformasikan penasihat hukum bahwa waktu penahanan Pieter akan diperpanjang hingga 6 Agustus untuk kepentingan penyelidikan. Hal ini sangat disayangkan karena dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Polisi seharusnya segera membebaskan Pieter, Alexander, dan Benjamin.

Pasal-pasal makar dalam KUHP masih sering diterapkan dengan definisi yang tidak ketat sehingga tidak lagi menyangkut tujuan awal pasal tersebut. Pada Juni 2007, Johan Teterissa dan 22 orang Maluku lainnya ditangkap dan dipenjara karena ikut serta dalam demonstrasi damai yang berlangsung pada Hari Keluarga Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah di Ambon, Maluku. Mereka didakwa atas tindak pidana makar berdasarkan pasal 106 dan 110 KUHP setelah melakukan tarian perang tradisional dan mengibarkan bendera “Benang Raja” di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mereka kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Pulau Jawa, lebih dari 2.500 km dari Maluku. Mereka dilaporkan mendapat siksaan selama dalam tahanan, dan tidak menerima perawatan kesehatan yang layak untuk mengobati luka-luka yang mereka derita. Salah seorang tahanan, Yusuf Sapakoly, meninggal karena gagal ginjal di sebuah rumah sakit di Ambon setelah akses bantuan medis yang memadai ditolak oleh sipir. Pada April 2014, Simon Saiya, aktivis lain yang dikabarkan sebagai Presiden RMS, ditangkap setelah memimpin konvoi peringatan HUT RMS saat mengibarkan bendera Benang Raja di kawasan Wainitu, Maluku. Ia divonis 3 tahun penjara, namun meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Ambon pada 2016.

Pihak berwajib di Indonesia seringkali menggunakan ketentuan KUHP, khususnya Pasal 106 dan 110 KUHP, untuk mengadili puluhan aktivis politik pro-kemerdekaan damai di Maluku dan Papua hanya karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul yang dilakukan secara damai.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun atas status politik provinsi atau wilayah mana pun di Indonesia, atau negara bagian mana pun, termasuk seruan untuk kemerdekaan. Namun, Amnesty International percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga mencakup ekspresi yang bersifat politik.