Dosen Dipidana Karena Pesan Whatsapp

Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala di Provinsi Aceh, dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta atas tuduhan pencemaran nama baik setelah menulis pesan di sebuah grup WhatsApp yang mengkritisi proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di universitas tersebut. Pada tanggal 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang ia ajukan dan menguatkan putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh. Amnesty International mendesak Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi karena ia dihukum semata-mata karena mengekspresikan pendapatnya.

AMBIL TINDAKAN: TULISKAN TUNTUTAN DALAM BAHASAMU SENDIRI ATAU GUNAKAN CONTOH SURAT INI

Ir. H. Joko Widodo

Presiden Republik Indonesia

Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18, Jakarta Pusat,
DKI Jakarta, Indonesia (10110)

Email: [email protected]

Twitter: @jokowi

Yth. Presiden Widodo,

Saya sangat prihatin dengan keputusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala di Aceh, dan menguatkan hukuman serta vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh. Dihukum semata-mata karena menggunakan haknya atas kebebasan berekspresi, Saiful Mahdi harus diberikan amnesti oleh Presiden.

Saiful Mahdi didakwa setelah menulis pesan di sebuah grup WhatsApp yang mengkritik apa yang dia duga sebagai kejanggalan dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk dosen di fakultas teknik universitas tersebut. Alih-alih didengar, dia dilaporkan oleh seorang petinggi kampus yang menganggap pernyataannya sebagai serangan. Dia didakwa dan kemudian dipidana berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), semata-mata karena kritik yang dia sampaikan.

Undang-undang tindak pidana siber yang kejam ini telah berulang kali digunakan oleh pihak berwenang atau individu untuk membungkam orang-orang yang berbeda pendapat atau bersuara kritis. Saiful Mahdi seharusnya tidak boleh dihukum hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai, sebagaimana dijamin di dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi juga dijamin di dalam Pasal 28 (3) UUD 1945, serta Pasal 23 UU No.39/1999.

Selain itu, saya khawatir bahwa hukuman terhadap Saiful Mahdi tidak hanya melanggar hak-haknya, tetapi juga merupakan ancaman serius terhadap kebebasan akademik di negara ini.

Oleh karena itu, saya mendesak Bapak Presiden untuk segera memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Saya juga meminta Anda dan pihak berwenang Indonesia lainnya untuk memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dihormati, dilindungi dan dipenuhi, termasuk dengan merevisi UU ITE sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum hak asasi manusia internasional.

Dengan hormat,


TULIS SECEPATNYA HINGGA: 14 September 2021

INFORMASI TAMBAHAN

Pada Maret 2019, Saiful Mahdi, dosen jurusan statistika pada fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala di Aceh, mengirimkan pesan yang mengkritik hasil tes CPNS bagi dosen fakultas teknik di sebuah grup WhatsApp. Di antaranya, ia mengatakan, “Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin,” dan “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble?”

Dia menulis pesan tersebut untuk menanggapi seleksi pegawai negeri sipil yang diadakan pada akhir tahun 2018 sebagai rekrutmen dosen di fakultas teknik universitas tersebut. Setelah tes berlangsung, Saiful Mahdi mendengar adanya dugaan penyimpangan dalam proses seleksi dari seorang dosen fakultas teknik yang telah bekerja di sana selama dua tahun dan mengikuti tes tersebut untuk mendapatkan status PNS. Ia menginformasikan kepada Saiful Mahdi bahwa seorang peserta ujian yang diduga tidak memenuhi kriteria administratif dapat mengikuti proses seleksi dan kemudian lulus ujian, sedangkan dirinya sendiri dinyatakan gagal meski mendapat nilai tertinggi di antara peserta ujian lainnya saat uji kompetensi.

Saiful Mahdi, yang telah bekerja di universitas tersebut selama 25 tahun, menganalisis nilai-nilai peserta tes dari fakultas teknik dan kemudian menyimpulkan bahwa ada kejanggalan dalam penilaian yang harus dipertanyakan ulang. Dia kemudian menulis kritik terhadap proses seleksi tersebut di sebuah grup WhatsApp yang beranggotakan sekitar 100 dosen universitas tersebut. Pesan yang dia tulis kemudian beredar di kalangan karyawan universitas dan akhirnya diketahui oleh dekan fakultas teknik, yang bukan merupakan anggota grup WhatsApp itu.

Dekan tersebut melaporkan Saiful Mahdi ke Senat, yang kemudian memanggilnya untuk dimintai klarifikasi pada tanggal 18 Maret 2019. Setelah itu, Senat mengirim surat kepada Saiful Mahdi pada tanggal 6 Mei 2019 yang menyatakan adanya pelanggaran kode etik dan meminta Saiful Mahdi untuk menulis surat permintaan maaf kepada jajaran pimpinan fakultas teknik terkait pernyataan yang ia buat. Namun, Saiful Mahdi menolak untuk meminta maaf dan mempertanyakan keputusan Senat karena dirinya belum pernah diperiksa dalam sidang etik atas kasus tersebut.

Pada tanggal 4 Juli 2019, Saiful Mahdi dipanggil oleh Kepolisian resor kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh dekan fakultas teknik. Setelah diperiksa, dia ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik dekan tersebut, meski Saiful Mahdi tidak pernah menyebut nama siapapun dalam pesan WhatsApp-nya. Kasus tersebut diadili dan pada tanggal 21 April 2020, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful Mahdi, meskipun tidak ada bukti yang dapat secara jelas menyatakan bahwa dia telah melanggar hukum. Dia mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, namun kemudian ditolak. Pada tanggal 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Saiful Mahdi dan menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh.

Saiful Mahdi dan tim kuasa hukumnya saat ini sedang mempersiapkan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi tersebut. Mereka juga berencana mengirimkan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo. Menurut hukum di Indonesia, Presiden hanya dapat memberikan amnesti setelah meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Presiden dapat memberikan amnesti tanpa adanya permintaan resmi apapun dari terpidana.

UU ITE, termasuk Pasal 27 terkait pencemaran nama baik, semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang yang secara damai menggunakan hak atas kebebasan berekspresi melalui sarana elektronik, seperti menulis pesan di aplikasi pesan instan atau berbagi pendapat di media sosial. Pihak berwenang Indonesia juga telah menyalahgunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia yang mengkritik pemerintah secara damai. Dari Januari hingga Juni 2021 saja, Amnesty International mencatat setidaknya 39 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena diduga melanggar UU ITE.