Sulitnya Menjadi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia

Amnesty International Indonesia

“Sebagai korban perkosaan yang dilakukan oleh mantan pacar dan sepupu sendiri, dan masih memiliki trauma hingga detik ini, gue sangat butuh RUU PKS sah menjadi UU agar perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual dan penyelesaian kasus dapat berjalan maksimal,” ungkap D, seorang penyintas kekerasan seksual, kepada Amnesty.

Harapan tinggallah harapan. Pada tanggal 2 Juli 2020 lalu, DPR menghapus RUU PKS dari daftar prioritas legislasi nasional tahun ini. Berita yang sungguh mencengangkan. Rupanya, alasan yang dikemukakan anggota dewan juga tak kalah mencengangkan. “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit,” begitu kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, dua hari sebelum RUU PKS resmi ditarik.

Benarkah RUU ini sulit untuk disahkan? Satu hal yang pasti, perjalanan RUU PKS merebut hati wakil rakyat sangatlah sulit. Sejak diusulkan tahun 2012 oleh Komnas Perempuan, DPR baru meminta naskah akademik RUU ini untuk diserahkan empat tahun kemudian. Lalu, baru di tahun 2017 RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR. Namun pada akhir 2018, DPR memutuskan agar RUU PKS ditunda pembahasannya hingga selesai Pemilu 2019. Nyatanya, RUU PKS malah dioper ke anggota dewan periode 2019-2024, hingga terlempar dari Prolegnas (program legislasi nasional) tahun ini.

Padahal jika ditengok dari tingkat urgensinya, RUU PKS lebih dari sekedar layak untuk masuk prioritas legislasi. Indonesia, hingga sekarang ini, belum memiliki payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual. RUU PKS melindungi korban kekerasan seksual, dengan mayoritas perempuan, yang selama ini selalu disalahkan. Belum lagi jika kita melihat Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang diterbitkan Maret lalu.

Ada setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang sebagian besar bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Bahkan, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Argumen lain, kekerasan seksual juga tidak terdampak oleh pandemi COVID-19. Sepanjang April-Maret 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosisasi Perempuan Untuk Keadilan (LBH Apik) mencatat adanya 97 kasus kekerasan seksual, dengan bentuk terbanyak kekerasan dalam rumah tangga (33 kasus), kemudian kekerasan gender berbasis daring (30 kasus), pelecehan seksual (8 kasus) dan kekerasan dalam hubungan pacaran (7 kasus).

Sekali lagi, apakah benar – benar sulit untuk mengesahkan undang – undang yang seharusnya dapat melindungi jutaan perempuan dari kekerasan seksual?

Dan jangan lupa, kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, perempuan, laki – laki, muda, tua, berkuasa, atau tidak berkuasa. Pelaku kekerasan seksual-pun beragam, dan banyak dari pelaku justru berada di lingkungan terdekat korban, bahkan orang – orang yang dipercayai korban. Seperti yang terjadi di Depok, Jawa Barat, di mana seorang pengurus gereja Katolik diduga mencabuli belasan anak. Walaupun sang pelaku sudah dijerat pasal pencabulan anak, RUU PKS dapat memberikan reparasi dan pemulihan pada korban (yang kebanyakan berumur 11 – 15 tahun).

Konon, kesulitan untuk mengesahkan RUU PKS muncul karena anggota dewan belum satu suara terhadap judul RUU tersebut. Dalam berbagai kesempatan, anggota DPR dari lintas komisi, terutama Komisi VIII, berdebat tentang substansi, judul, dan pemidanaan tanpa melihat permasalahan – permasalahan ganda yang dialami oleh para korban kekerasan seksual.

Banyak sekali korban kekerasan seksual, seperti D, mengalami trauma mendalam. Stres, depresi, dan bahkan gangguan kesehatan seperti penyakit jantung adalah beberapa gejala – gejala traumatis yang dialami oleh para korban kekerasan seksual. Tidak sedikit dari korban yang merasa jijik, dan bahkan menyalahkan diri mereka sendiri karena kekerasan yang sudah mereka alami. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini juga diperparah dengan kebudayaan pro pelaku, bahwa kasus kekerasan seksual adalah salah korban sendiri.

Dengan adanya RUU PKS, stigma negatif terhadap korban bisa berkurang. Tak hanya itu, RUU ini juga diharapkan mengurangi jumlah pelecehan seksual dan budaya victim blaming terhadap korban kekerasan seksual. RUU PKS akan melindungi lebih banyak korban kekerasan seksual, yang saat ini hanya dikategorikan sebagai korban pemerkosaan dan pencabulan, dengan menjerat 15 kategori perbuatan lain yang belum tercakup dalam KUHP.

Tugas negara adalah memulihkan martabat korban pelanggaran hak asasi; bagaimana negara dapat melakukan hal tersebut jika mereka menyulitkan keputusan yang seharusnya mudah?