Perginya Musisi Peduli HAM

[TEMPO/STR/Nurdiansah; ND2019012423]

Glenn bukan musisi biasa. Ia adalah musisi pembela HAM. Ia ingin Indonesia merangkul masa depan, di mana semua orang dengan beragam suku bangsa dan bahasa yang hidup di nusantara dapat menikmati hak-hak asasi mereka.

oleh Usman Hamid


Menjelang Jumat Agung, Indonesia kehilangan seorang musisi yang peduli pada hak-hak asasi manusia. Lahir di Maluku, 30 September 1975, sosok bernama lengkap Glenn Fredly Deviano Latuihamalo ini meninggal dunia di Jakarta (8/4/2020). Kebijakan jarak sosial akibat wabah penyakit yang membuat pemakamannya tak bisa dihadiri banyak kerabat tak mengurangi tingginya penghormatan kepada almarhum.


Pertama kali saya mengenal dan mendengarnya bicara hak asasi manusia (HAM) adalah saat peluncuran album Slank The Big Hip, di Jakarta, 2008. Saat itu saya dan aktivis Kontras, seperti M Harits, Indria Fernida, dan Edwin Partogi (sekarang Wakil Ketua LPSK), tengah mengurus rencana menghadirkan Slank pada acara satu dasawarsa Kontras. Percakapan berlanjut, kami mengundangnya bertandang dan mengikuti berbagai kegiatan HAM para korban. Ia menyapa semua korban dari 1965 hingga 1998.


Secara khusus, ia mendukung perjuangan ibu-ibu yang anaknya hilang pada 1997-1998, baik karena diterjang peluru maupun dihilangkan paksa. Ia teman sekolah Ucok Munandar Siahaan, salah satu yang dihilangkan. Berkali-kali ia memeriahkan aksi Kamisan sebagai solidaritasnya kepada mereka dan Sumarsih yang kehilangan putranya, Wawan, dalam tragedi Semanggi 1998.


Ketika mengisi program- program pendidikan HAM, salah satunya Sekolah HAM Mahasiswa yang diurus aktivis-aktivis Kontras, seperti Puri Kencana dan Papang Hidayat, serta digelar tiap tahun sejak 2009 ini, ia bercerita pengalaman konflik Ambon dan ketertinggalan bagian timur Indonesia. Pasca-konflik mereda, ia resah melihat ada warga diserang karena perbedaan keyakinan agamanya, atau ketika umat beragama kesulitan mendirikan rumah ibadah.


Ia menjalin solidaritas sesama musisi, salah satunya Franky Sahilatua dan cukup vokal mengkritik pemerintah yang mengutamakan pencitraan, tetapi enggan membentengi hak-hak atas kemerdekaan berpikir, beragama, dan berkeyakinan dari ancaman intoleransi yang menguat pada 2008.

Ia semakin jauh mendalami isu HAM ketika pamannya, Raymond ”Ongen” Latuihamalo, menjadi saksi kunci dalam pembunuhan Munir Said Thalib. Ia menceritakan betapa hal itu menyebabkan adanya teror-teror yang dihadapi keluarga, khususnya sang ayah sebagai kakak langsung Ongen. Meski sempat bersaksi pada sidang kasus Munir, Ongen meninggal mendadak pada 2012.


Ia kerap membantu Suciwati melalui kegiatan Omah Munir. Pada 2012, ia dan Butet Kertaradjasa menggalang ratusan seniman untuk melukis sudut- sudut kota kelahiran Munir, Batu. Pada tahun yang sama, ia ikut mempersiapkan peluncuran Change.org Indonesia yang membawanya semakin aktif dalam mengampanyekan isu-isu perubahan sosial.
Di sini ia benar-benar memanfaatkan teknologi untuk tujuan positif, menyelamatkan Kepulauan Aru dari eksploitasi. Ia berhasil. Pemerintah tidak lagi melanjutkan rencana tersebut.


Belakangan, dalam percakapan dengan Riri Riza dan Marcus Mietzner di kantor Amnesty International (AI), ia dikritik keras Suciwati karena menjalin relasi dengan orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kasus pembunuhan suaminya.

Peduli situasi dunia


Kepeduliannya juga tinggi pada situasi HAM dunia. Saya punya suatu cerita soal keinginannya yang belum tercapai. Suatu siang, 3 Mei 2017, Glenn mengirimkan rekaman dirinya menyanyikan ”Imagine”, karya John Lennon, dengan genre jazz. Lewat surat elektronik (surel) ia berpesan: ”lagu ’Imagine’ ini sudah aku rekam sejak tahun lalu, rencana untuk masuk di album baruku rilis tahun depan.
Lagu ini bisa jadi kampanye AI bila diizinkan pemakaiannya oleh Yoko Ono. Mengingat geopolitik dunia, terutama Asia, yang memanas, semoga lagu ini jadi pengingat perdamaian dunia….”
Ia memang telah mempersiapkan lama, setahun sebelum kantor nasional AI diresmikan di Indonesia. Sebagai musisi dengan nama besar, ia bisa saja memasukkannya ke dalam album, yang akan menambah kemasyhuran. Namun, ia sadar.  Bermusik bukan sekadar berestetika. Bermusik juga bicara etika. Karena itu, ia memohon izin Yoko melalui AI mengingat kedudukannya sebagai anggota board of trustee dari organisasi hak asasi manusia yang bermarkas di ibu kota Inggris ini.


Ia tahu, Yoko pemilik royalti lagu ini. Meski belum mendapat izin, Glenn senang ketika mendengar Yoko mengizinkan lirik lagu ”Imagine” untuk penerbitan sebuah buku visual anak- anak sepanjang 32 halaman, berisi ilustrasi Jean Jullian, dan terbit atas kerja sama Amnesty Inggris dan penerbit Frances Lincoln Limited.
Selain kata pengantar, Yoko memberikan royalti buku ini untuk gerakan HAM. Dukungan bagi gerakan HAM semacam inilah yang diimpikan Glenn jika kelak mendapatkan izin untuk menyanyikan lagu ”Imagine” dalam versi dan interprestasinya.

Bermusik untuk kemanusiaan


Bagi Glenn, bermusik tidak sekadar gaya hidup, tetapi mengalami dan memilih jalan hidup. Ia tak hanya bicara syair dan makna lagu. Semangat aktivisnya terasa saat merencanakan rekaman itu demi kampanye AI di Indonesia dan di tingkat global dan kawasan.


Ia resah dengan yang disebutnya ”geopolitik dunia yang memanas”, yakni merebaknya politik kebencian. Ini jelas terlihat di Amerika Serikat, di mana Donald Trump dengan retorika yang memecah belah, mendiskriminasi orang berdasarkan keyakinan mereka, dan sempat mengancam akan menghidupkan lagi penggunaan penyiksaan atas nama keamanan.


Di India, sejumlah politisi era pemerintahan Narendra Modi menggunakan retorika Islamofobia yang menyulut kekerasan sektarian terhadap minoritas Muslim. Di Asia Tenggara, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memimpin ”perang antinarkoba” berdarah yang menewaskan ribuan orang—kebanyakan miskin—dalam eksekusi di luar proses hukum.


Di mata Glenn, Indonesia tidak kebal dari naiknya politik populisme yang anti-HAM semacam itu, yang memecah belah warga dengan mempromosikan rasa takut. Ia tak rela jika kemajuan HAM yang diraih 20 tahun terakhir diterjang gelombang politik kebencian dunia.


Ketika mendukung Jokowi pada Pilpres 2014, ia tak sedang ingin menjadi politisi. Ia hanya merasa harus ada perubahan dari masa sebelumnya. Setelah Jokowi terpilih, ia secara tertutup aktif melobi Presiden agar membebaskan Johan Teterissa, guru sekolah yang dipenjara dengan tuduhan separatis hanya karena membentangkan kain benang raja dalam tarian cakalele pada 2007.


Bertempat di Cilandak, ia mengungkapkan keresahannya atas tahanan politik Maluku kepada saya dan aktivis yang turut bergabung. Ia bukan sedang membela saudara tanah kelahiran. Ia membela kemerdekaan berpikir dan berkeyakinan sekalipun untuk memerdekakan wilayah. Sebuah pikiran yang dianggap subversif dan kerap dihadapkan senjata.

Ketika dilihatnya tak ada kemajuan, ia dibantu Haeril Halim mulai terbuka mendesak Jokowi membebaskan tahanan politik melalui artikelnya, ”Amnesty for prisoners of conscience is urgent” di The Jakarta Post, (17/9/2018). Mengutip John Dewey, ia percaya bahwa ”jika Anda ingin membangun konsepsi masyarakat, cari tahu siapa yang ada di penjara”.


Dengan latar belakang ini, Glenn bukan musisi biasa. Ia adalah musisi pembela HAM. Ia ingin Indonesia keluar dari bayang-bayang kejahatan HAM berat masa lalu. Ia ingin Indonesia merangkul masa depan, di mana semua orang dengan beragam suku bangsa dan bahasa yang hidup di kepulauan yang luas, termasuk Maluku, tempatnya dilahirkan, dapat menikmati hak-hak asasi mereka secara setara.


Ia ingin dunia yang berakhir dengan cerita cinta pada martabat manusia.
Sebagai manusia, ia tentu punya kelemahan. Ia bukanlah langit yang tak retak.
Selamat jalan Glenn.
(Usman Hamid, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia)

Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Kompas tanggal 11 April 2020. Silahkan mengunjungi tautan berikut: https://kompas.id/baca/opini/2020/04/11/perginya-musisi-peduli-ham