Nasib Malang Pengungsi Rohingya dan Mengapa Kita Harus Bergerak

Cerita mengenai etnis Rohingya dari Myanmar tak pernah jauh dari gambaran suram, menyedihkan, dan menyayat hati.

Dalam berbagai pemberitaan, mereka dilaporkan terombang-ambing di laut di dalam sebuah kapal reyot yang kelebihan muatan.

Laki-laki, perempuan, dan anak-anak Rohingya berada dalam bahaya setelah terusir dari rumah mereka sendiri di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Dua pekan lalu, sebuah kapal yang membawa ratusan orang Rohingya menepi di Bangladesh setelah gagal mencapai Malaysia. Mereka adalah orang-orang yang mampu bertahan sementara puluhan dari mereka dikabarkan meninggal karena kelaparan di laut selama perjalanan berbulan-bulan.

Masih ada kapal-kapal lainnya yang terapung di perairan lepas, menunggu nasib mujur untuk diperbolehkan menepi. Masa depan mereka tak pasti, apalagi di tengah wabah COVID-19 seperti sekarang ini.

Lewat tulisan ini, kami mencoba menjelaskan ihwal nasib buruk mereka, potret kehidupan tanpa kepastian yang mereka jalani dan mengapa kita -sebagai sesama makhluk beradab -harus bergerak demi keselamatan mereka.

Siapakah orang Rohingya?

Rohingya adalah minoritas etnis Muslim di Myanmar. Hingga saat ini, lebih dari satu juta orang Rohingya -sebagian besar -tinggal di Negara Bagian Rakhine, barat Myanmar, dekat perbatasan dengan Bangladesh.

Hampir semua dari mereka telah dicabut kewarganegaraannya dan tidak memiliki klaim kewarganegaraan yang wajar di negara manapun. Myanmar menegaskan bahwa tidak ada kelompok seperti Rohingya di negaranya, dan mengklaim bahwa Rohingya adalah “imigran ilegal” dari Bangladesh. Penolakan untuk mengakui mereka sebagai warga negara membuat sebagian besar dari mereka tak memiliki kewarganegaraan.

Nihilnya status kewarganegaraan mereka juga memungkinkan pihak berwenang di Myanmar untuk sangat membatasi kebebasan bergerak mereka, dan secara efektif memisahkan mereka dari masyarakat yang lain. Akibatnya, mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan, sekolah, dan pekerjaan. Diskriminasi sistematis ini sama dengan apartheid, diskriminasi rasial yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional.

Mengapa banyak orang Rohingya berakhir di Bangladesh sebagai pengungsi?

Sejak Agustus 2017, lebih dari 740.000 orang Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, setelah militer melakukan kekerasan brutal terhadap mereka.

Selama kampanye -yang diluncurkan sebagai respon terhadap serangan terkoordinasi di pos-pos keamanan oleh kelompok ‘Arakan Rohingya Salvation Army’ (ARSA) pada 25 Agustus 2017 -ini, pasukan keamanan Myanmar membunuh ribuan orang Rohingya, memperkosa perempuan dan anak perempuan, menyeret laki-laki dan anak laki-laki ke fasilitas penahanan di mana mereka disiksa, dan membakar ratusan rumah serta desa, sesuatu yang layak disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Beberapa tahun setelah kekerasan tersebut, orang Rohingya terus melarikan diri melintasi perbatasan dalam jumlah yang lebih kecil, melarikan diri dari penganiayaan dan hal ini meningkatkan konflik bersenjata di negara bagian Rakhine. Pada Oktober 2018, seorang perwakilan dari misi pencarian fakta PBB mengatakan “hal itu menyerupai genosida yang sedang berlangsung” di Myanmar.

Saat ini, jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh diperkirakan mencapai hampir 1 juta orang.

Mengapa orang Rohingya masih melarikan diri dengan kapal?

Hidup dalam kondisi apartheid di Myanmar dan terhambat oleh kurangnya peluang mata pencaharian di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, orang Rohingya telah berupaya mencapai Malaysia, Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain. Tidak adanya visa, dokumen perjalanan dan pembatasan ketat terhadap pergerakan mereka yang membuat perjalanan darat hampir mustahil, seringkali menjadikan kapal sebagai pilihan terbaik dan satu-satunya.

Meskipun Pemerintah Bangladesh telah menampung para pengungsi ini, mereka tidak memberikan status pengungsi yang luas -membuat orang Rohingya tidak memiliki status hukum di kedua sisi perbatasan.

Di Bangladesh, orang Rohingya hidup berdesakan di tempat penampungan yang sebagian besar terbuat dari terpal tipis dan bambu. Bazar Cox, tempat sebagian besar pengungsi Rohingya berada, sangat padat dengan kepadatan 40.000 orang per kilometer persegi.

Pihak berwenang Bangladesh telah memberlakukan pemblokiran internet di kamp-kamp pengungsi, membuat komunitas ini semakin terisolasi dan tidak dapat mengakses informasi penting tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dalam pandemi, bahkan ketika COVID-19 mengancam akan menewaskan banyak orang di kamp-kamp yang sempit.

Mengapa orang Rohingya tidak bisa kembali ke Myanmar?

PBB telah berulang kali menyatakan bahwa kondisi di Myanmar tidak kondusif bagi para pengungsi untuk kembali. Kondisi di Myanmar semakin memburuk akibat pertempuran antara kelompok ARSA -kelompok yang menyerukan otonomi lebih besar bagi etnis Budha Rakhine -dengan militer Myanmar, yang meningkat pada Januari 2019.

Orang Rohingya memiliki hak asasi -yang tidak dapat diganggu gugat -untuk kembali dan tinggal di Myanmar – karena itu adalah rumah mereka, dan jika mereka menginginkannya, mereka harus diizinkan untuk kembali. Namun Pemerintah tidak diperbolehkan melakukan pemulangan kecuali hal tersebut berlangsung aman, sukarela, berkelanjutan dan bermartabat bagi para pengungsi Rohingya. Hukum internasional, khususnya prinsip non-refoulement atau larangan bagi suatu negara untuk menolak atau mengusir pengungsi, melarang negara memulangkan warganya ke tempat di mana kehidupan atau kebebasan mereka akan menghadapi risiko serius.

Pada Januari 2020, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Myanmar untuk mengambil “langkah sementara” untuk mencegah tindakan genosida terhadap komunitas Rohingya setelah Gambia mengajukan perkara yang menuduh Myanmar melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.

Namun, Pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu yang dituduh melakukan genosida terhadap Rohingya dan kejahatan perang terhadap minoritas di negara bagian Rakhine, Kachin dan Shan Utara. Karena itu, Dewan Keamanan PBB harus merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Apakah mungkin untuk menolong pengungsi Rohingya tanpa meningkatkan risiko wabah Covid-19?

Banyak negara dapat menanggulangi COVID-19 dengan melakukan tes terhadap seseorang pada saat kedatangan dan menempatkan orang itu di karantina untuk waktu yang terbatas sebelum mengizinkan mereka memasuki negara itu. Karantina wajib di perbatasan diberlakukan untuk pendatang baru di banyak negara.

Pencabutan larangan masuk atau penutupan perbatasan bagi pencari suaka telah dilakukan oleh lebih dari 20 negara di Eropa. Banyak negara juga telah mengeluarkan dokumen untuk para pengungsi dan pencari suaka, untuk memastikan masa tinggal yang sah dan akses ke layanan publik.

Apa yang harus dilakukan saat ini untuk krisis Rohingya?

Pemerintah Asia Selatan dan Asia Tenggara harus segera meluncurkan operasi pencarian dan penyelamatan bagi orang Rohingya yang terdampar di laut, membawa makanan dan obat-obatan serta memungkinkan pendaratan yang aman. Pihak berwenang tidak boleh memutarbalikkan kapal mereka secara paksa. Respons terhadap pandemi COVID-19 seharusnya tidak menjadi alasan untuk melarang pengungsi Rohingya mendarat dengan aman dan mencari suaka.

Komunitas internasional juga harus lebih aktif mendukung Bangladesh dan berbagi tanggung jawab serta tanggungan keuangan untuk menampung hampir satu juta pengungsi di saat ekonomi Bangladesh sudah berada di bawah tekanan dari perlambatan global akibat pandemi.

Semua negara bisa membantu melindungi para pengungsi melalui solusi yang disebut pemukiman kembali, dan berbagai strategi aman dan legal lainnya. Membuka peluang bagi para pengungsi ini akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan ke negara tuan rumah yang baru dengan cara yang aman dan terorganisir.

Mengapa Pemerintah harus membantu pengungsi, pencari suaka dan imigran?

Pandemi COVID-19 tidak bisa menjadi alasan untuk tidak membantu orang Rohingya.

Setiap harinya, laki-laki, perempuan, dan anak-anak Rohingya terdampar di atas kapal, dan hidup mereka dalam bahaya.

Negara-negara yang menampung para pengungsi, pencari suaka, dan imigran mendapat manfaat dari kontribusi individu yang merasa bersyukur telah diberikan tempat perlindungan dan ingin memulai kehidupan baru. Pengungsi bisa berkontribusi positif bagi perekonomian jika mereka diizinkan untuk bekerja. Orang-orang yang ramah dari negara lain juga bisa memperkuat negara tuan rumah dengan menjadikan mereka lebih beragam dan fleksibel di dunia yang cepat berubah.

Kita tidak boleh lupa bahwa beberapa orang yang paling inspiratif dan berpengaruh dalam seni, ilmu pengetahuan, politik dan teknologi adalah pengungsi, pencari suaka dan imigran. Mereka diizinkan untuk membangun kembali kehidupan mereka di negara baru dan berkembang.

Untuk menghindari situasi seperti krisis Laut Andaman tahun 2015, ketika sejumlah besar orang Rohingya tak terselamatkan dan kehilangan nyawanya, ada kebutuhan kemanusiaan yang mendesak untuk menyelamatkan kapal yang masih terkatung-katung. Kita harus memperluas rasa kemanusiaan dan kasih sayang kepada para pengungsi di masa kritis ini.