Mengapa RKUHP Harus Ditolak?

Komisi III DPR RI dan Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sepakat untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam waktu dekat. Kini, kedua lembaga tersebut tinggal menunggu surat dari Presiden Joko Widodo.

Amnesty International Indonesia kembali menyatakan penolakan terhadap RKUHP karena banyak substansi di dalamnya yang bermasalah dan tidak mencerminkan semangat dekolonialisasi dan perlindungan HAM. Substasi RKUHP harus dirombak besar-besaran.

Inilah hal-hal yang perlu kamu ketahui tentang alasan mengapa substansi RKUHP harus dirombak penuh, bahkan harus ditolak jika substansinya tetap seperti ini.

Apa saja substansi RKUHP yang harus dikritisi?

Banyak pasal dalam RKUHP berpotensi multitafsir dan bersifat pasal karet. Pasal-pasal tersebut juga berpotensi besar membungkam kebebasan sipil, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan pers, bahkan melanggar hak untuk hidup.

Jika RKUHP disahkan, masyarakat tidak akan lagi bisa bersuara dan mengkritik pemerintah dan para pemangku kebijakan. Substansi RKUHP juga berpotensi melanggar hak privasi karena mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang dalam ranah privat mereka. Ini jelas pelanggaran HAM.

Pasal-Pasal mana yang tergolong kontroversial dalam RKUHP?

Beberapa dari banyak pasal dalam RKUHP yang berpotensi melanggar HAM antara lain:

1. Penghinaan terhadap Presiden (Pasal 218 dan 219)

Tiap orang yang menyerang kehormatan/harkat/martabat diri presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta.”

Pasal ini sangat represif terhadap masyarakat dan dapat mengancam kebebasan berpendapat. Kritik terhadap pemerintah itu sangat penting agar pemerintah dapat berbenah diri dan hati-hati dalam mengambil keputusan atas suatu kebijakan.

2. Perzinaan dan Kohabitasi (Pasal 417 dan 419)

Kedua pasal ini mempidanakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dan setiap orang yang hidup bersama seperti suami istri di luar perkawinan. Klausul dalam kedua pasal tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan persekusi dan penyalahgunaan wewenang. Yang paling penting, pasal tersebut dapat melanggar hak atas privasi yang dengan jelas dilindungi dalam hukum HAM internasional. Pemidanaan kohabitasi yang dilakukan dua orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan adalah bentuk serangan langsung dan pelanggaran terhadap privasi.

3. Pencabulan (Pasal 421)

“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Pasal ini akan memicu diskriminasi dan aturan hukum represif terhadap kelompok orientasi seksual yang berbeda, seperti LGBT. Masyarakat dan otoritas dapat sewenang-wenang memasuki ruang privasi individu dan mengkriminalisasi kelompok minoritas seksual.

5. Hukuman Mati (Pasal 98)

“Pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”
RKUHP jelas masih mengadopsi hukuman mati sebagai salah satu opsi hukuman pidana. Hukuman mati seharusnya dihapuskan secara total karena merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup. Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik. Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Banyak negara-negara yang sudah mulai meninggalkan hukuman mati.

6. Makar (Pasal 191-193)

Pasal ini mengatur bahwa setiap individu yang bermaksud merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau menggulingkan pemerintah yang sah dipidanakan dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun. Pasal makar sudah sangat tidak relevan karena telah menjadi ancaman besar bagi kebebasan berekspresi. Hingga kini, ratusan orang Papua telah ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar, padahal mereka hanya menggunakan haknya dalam melakukan aksi protes damai.

Lalu apa konsekuensinya jika RKUHP disahkan?

Draft RKUHP mengatur total 1.251 perbuatan pidana, dimana 1.198 diantaranya diancam dengan pidana penjara. Jumlah tersebut sangat berpotensi membuat penjara semakin menumpuk. Banyak masyarakat yang akan dikriminalkan dan dipenjarakan hanya karena menggunakan hak atas kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh aturan HAM internasional. Jika sudah demikian, maka penjara dan lapas akan semakin melebihi kapasitas.

Jika disahkan, RKUHP akan merugikan kelompok rentan dan minoritas. Diskriminasi terhadap perempuan dan minoritas seksual. Inklusivitas akan semakin jauh. Pelanggaran HAM akan semakin meningkat.

Jika disahkan, RKUHP akan membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta kebebasan pers. Rakyat tidak lagi dapat bersuara dan mengevaluasi kebijakan pemerintah. Rakyat dipaksa menerima segala peraturan yang dibuat walaupun itu merugikan dirinya, ini sama saja kembali pada masa kolonialisme. Dan ini jelas pelanggaran HAM.

Apa rekomendasi terhadap pembahasan RKUHP?

Amnesty mendesak DPR dan pemerintah untuk tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP karena aturan ini akan berdampak sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Sebelum disahkan, pasal-pasal kontroversial harus dirombak, bahkan dihapuskan. Secara khusus, pasal penghinaan presiden, pasal makar, dan aturan hukuman mati harus dihapuskan.

RKUHP jangan sampai masuk ke ranah privat. Sebaliknya, substansinya harus mengandung semangat untuk menghentikan kekerasan seksual. Membatasi, mengurusi bahkan mempidana hak privat seseorang ada sifat hukum kolonialisme. Sementara RKUHP harusnya bersifat dekolonialisme.

Pemerintah sebaiknya mengevaluasi lebih dulu bagaimana KUHP saat ini diterapkan. Banyak pasal di KUHP yang saat ini sudah tidak relevan dan harus dihapuskan. Banyak pula pasal yang tumpang tindih dengan undang-undang sektoral lain sehingga akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum.