Kapan Polisi Boleh Gunakan Kekuatan Dan Senjata Api?

Akhir-akhir ini penggunaan kekuatan dan senjata api oleh aparat kepolisian kembali disorot karena banyaknya kasus di mana polisi dituduh menggunakan kekuatan yang berlebihan dan bahkan di luar hukum.

Selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober lalu, misalnya, Amnesty International Indonesia mencatat ada setidaknya 402 kasus kekerasan polisi di 15 provinsi, termasuk penembakan peluru karet yang tidak sesuai ketentuan terhadap para demonstran.

Selain itu, sepanjang 2020, Amnesty juga mencatat ada setidaknya 20 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan di Papua, dengan total 29 korban.

Komnas HAM juga sedang melakukan investigasi terhadap penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh anggota Polda Metro Jaya yang terjadi bulan ini.

Tentu saja polisi, sebagai aparat penegak hukum, dapat menggunakan kekerasan pada situasi-situasi tertentu. Tapi kapan sebenarnya mereka diperbolehkan menggunakan kekuatan dan senjata api serta prosedur apa saja yang harus diikuti?

Mari kita simak penjelasan berikut ini.

Apa saja prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam penggunaan kekuatan oleh aparat?                    

Menurut Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum(BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO) ada empat prinsip yang harus diikuti aparat penegakan hukum dalam menggunakan kekuatan:

  1. Asas Legalitas

Aparat hanya boleh menggunakan kekuatan jika tujuan yang hendak dicapai itu sesuai dengan hukum dan cara-caranya juga memenuhi hukum.

2. Asas Nesesitas (Keperluan)

Aparat harus menimbang apakah penggunaan kekuatan pada masyarakat sipil benar-benar diperlukan dan benar-benar tidak ada metode alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama.

3. Asas Proporsionalitas

Saat penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, kekuatan yang dilakukan oleh aparat harus proposional dengan tindak pelanggaran yang dilakukan.

4. Asas Akuntabilitas

Pemerintah dan institusi penegakan hukum harus menetapkan prosedur yang jelas untuk penggunaan kekuatan oleh aparat dan mengambil tindakan-tindakan remedial saat prosedur tersebut tidak diikuti.

Satu hal penting yang harus selalu diingat oleh para aparat penegak hukum adalah tetap bersikap hati-hati dan hanya menggunakan kekuatan dalam situasi yang sudah dirasa ekstrim dan diluar kendali. Jika mereka bisa menerapkan sikap ini, tentunya keempat prinsip tersebut dapat diterapkan dengan mudah, sehingga dampak buruk dan pelanggaran hak asasi manusia bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi.

Apa artinya dalam praktek?

Artinya, dalam setiap situasi polisi harus selalu mencoba mengunakan metode tanpa kekerasan terlebih dahulu, meningkatkan respons mereka secara bertahap, mencoba meminimalisir kerusakan dan cedera sejauh mungkin.

Bagaimana kalau penggunaan senjata api?

Seperti yang sudah dibahas di atas penggunaan kekuatan apapun oleh aparat harus selalu menjadi pilihan terakhir. Penggunaan senjata api, apalagi dengan tujuan mematikan, harus lebih berhati-hati lagi. Penggunaan senjata api terhadap orang lain harus selalu dianggap berpotensi mematikan, sehingga undang-undang seharusnya hanya memperbolehkan penggunaan senjata api oleh aparat saat ada ancaman serius kematian atau luka berat.

Dalam BPUFF pasal 9 juga telah dituliskan, bahwa aparat penegak hanya dapat menggunakan senjata api di situasi yang benar-benar ekstrim. Contohnya, digunakan sebagai perlindungan diri maupun melindungi orang lain yang nyawanya terancam atau dalam kondisi kritis karena perbuatan seseorang.

Penggunaan senjata api juga dapat dilakukan dalam prosedur penangkapan individu yang membahayakan orang lain dan melawan aparat, untuk mencegah individu tersebut dapat melarikan diri, itupun hanya jika tindakan-tindakan yang tidak ekstrim telah dilakukan dan gagal.

Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009, yang juga mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dari BPUFF, tertulis bahwa penggunaan kekuatan oleh anggota kepolisian termasuk penggunaan senjata api adalah tahap terakhir yang ditempuh dalam penegakan keadilan. Namun nyatanya implementasi dari peraturan tersebut masih belum sepenuhnya dilaksanakan, melihat banyaknya kasus penembakan yang terjadi terhadap masyarakat sipil.

Apa yang harus dilakukan polisi sebelum menggunakan senjata api?

Polisi harus mengidentifikasi diri mereka sebagai pihak berwajib yang membawa senjata api dan memberikan peringatan bahwa mereka akan menggunakan senjata tersebut. Polisi juga harus memberi waktu kepada individu yang ditarget untuk mematuhi peringatan tersebut.

Langkah-langkah ini hanya bisa dilewatkan jika target membahayakan nyawa aparat atau orang lain atau pada situasi di mana peringatan itu tidak tepat (misalnya saat polisi melakukan operasi yang membutuhkan elemen kejutan) atau situasi di mana peringatan itu jelas akan sia-sia (misalnya dalam serangan bunuh diri atau saat menghadapi orang yang mabuk atau sakit jiwa, kalau kondisi tersebut membuat orang itu tidak mau atau tidak bisa mengerti peringatan tersebut).

Apa yang harus dilakukan polisi setelah menggunakan senjata api?

Polisi harus segera memanggil bantuan medis bagi target tembakan senjata api untuk menangani luka akibat tembakan tersebut. Selain itu polisi juga harus menghubungi teman maupun keluarga korban untuk memberi kabar mengenai kondisi dari target yang tertembak.

Setelah kebutuhan korban telah terpenuhi, harus ada laporan yang lengkap mengenai aksi penembakan, termasuk bukti-bukti yang telah diamankan sehingga lebih mudah untuk melakukan investigasi mengenai kasus yang sedang terjadi dan mengapa akhirnya penembakan itu menjadi hal yang diperlukan. Pihak kepolisian juga wajib untuk mengizinkan dan kooperatif dalam investigasi terhadap setiap insiden penggunaan senjata api.

Apa yang perlu diperhatikan dalam investigasi penggunaan senjata api oleh polisi?

Investigasi yang dilakukan sifatnya harus segera, imparsial, menyeluruh dan mandiri. Artinya, investigasi hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berbeda dengan individu-individu yang terlibat dalam insiden penembakan.

Investigasi yang dilakukan harus bertujuan untuk menentukan apakah penggunaan senjata api sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional.

Pihak aparat juga harus bersikap kooperatif terhadap investigasi ini dengan menyimpan semua barang bukti yang ada secara aman. Bukti-bukti termasuk testimoni dari saksi, bukti forensik dan jika diperlukan bukti dari otopsi tentang luka yang didapat korban dan temuan-temuan medis.

Selain itu, sangat penting bagi pihak keluarga korban untuk dilibatkan secara penuh dalam proses investigasi dan juga harus dilindungi dari segala bentuk intimidasi. Temuan dari tim investigasi harus dibuat terbuka kepada publik agar ada aspek pengawasan dari masyarakat.

Jadi, apa kesimpulannya?

Kita semua memiliki hak-hak jika mengalami konfrontasi dengan aparat penegak hukum, dan polisi tidak bisa dengan otomatis dibenarkan saat menggunakan kekerasan.

Polisi memang diperbolehkan menggunakan kekuatan dan juga senjata api, tapi tidak dengan sewenang-wenang dan tidak dalam semua situasi – sebaliknya, penggunaan metode-metode kekerasan seperti itu hanya boleh menjadi alternatif terakhir, saat semua cara-cara lain sudah dicoba dan gagal.

Investigasi terhadap penggunaan kekerasan dan senjata api oleh polisi juga harus dilakukan dengan seterbuka mungkin agar aparat penegak hukum akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya.