Mengenang Novel Matindas: Aktivis. Teolog. Pembela HAM.

OLEH USMAN HAMID

“Bukan berapa lama kita akan hidup, tetapi bagaimana kita mengisi kehidupan ini,“ itulah ungkapan Novel Matindas, aktivis Amnesty International yang meninggal dunia pada Minggu, 27 Maret lalu.

Novel adalah sosok aktivis yang membumi dan penuh semangat. Empat setengah tahun lalu, ia divonis dokter telah mengidap kanker dengan masa bertahan hidup selama dua bulan. Suatu vonis yang keliru. Vonis itu juga tidak membuatnya patah semangat.

Tak lama setelah mendapat vonis itu, ia bahkan melamar pekerjaan untuk posisi senior di kantor nasional Amnesty International di Jakarta. Meskipun mulai terlihat sulit untuk bicara, ia terlihat begitu semangat dalam wawancara tahap akhir. Ia lolos dalam seleksi yang ketat. “Jika kita mencari sosok manajer yang matang, berpengalaman, dan penuh dedikasi, maka Novel ialah orangnya,“ kata Tim O‘Connor, seorang aktivis senior di Amnesty International Australia.

Saya sempat ragu apakah kesehatannya memungkinkan untuk dia bekerja penuh. Seperti dokter yang memvonisnya, penilaian saya pun salah. Hari pertama bekerja, ia langsung turun lapangan menjenguk para tahanan politik Papua di penjara. Berkacamata hitam, ia mengirimkan fotonya bersama salah satu tahanan politik Papua di depan sebuah lembaga pemasyarakatan di Jakarta.

Terlahir di Manado, 8 November 1979, Novel memang mencintai Papua. Saya pertama kali bertemu Novel lebih dari sepuluh tahun silam, ketika kami sama-sama menghadiri sebuah pertemuan membahas situasi Papua yang diadakan di kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), di Jl. Salemba Raya No.10, Jakarta.

Ternyata Novel yang mengorganisir pertemuan itu. Ia dipercaya oleh PGI untuk menjabat Kepala Biro PGI untuk urusan Papua. Novel bekerja bersama aktivis pendeta senior seperti Gomar Gultom dan Henry Lokra. Belakangan, ia sangat dekat dengan aktivis senior Papua Ronald Tapilatu.

Sudah lama sekali Novel ingin mendorong transformasi konflik dan mewujudkan perdamaian di Papua. Terlalu banyak korban berjatuhan terutama warga sipil yang tak terlibat permusuhan langsung dalam konflik bersenjata di Papua. Tapi itu tidak meredam semangatnya. Bahkan sampai seminggu sebelum kematiannya, Novel masih berpartisipasi dalam rapat terkait peluncuran laporan terbaru Amnesty International tentang pelanggaran HAM di Papua.

Kedekatannya dengan perjuangan aktivis Papua terlihat dari ucapan Yones Douw, seorang pembela HAM senior asal Papua yang berkali-kali diteror karena membongkar pelanggaran HAM di Nabire, Paniai, Timika, dan Intan Jaya. Pekan lalu, Yones hadir dalam peluncuran laporan Amnesty tersebut dan ikut dengan perwakilan tim Amnesty untuk bertemu dengan berbagai lembaga negara. “Setelah dari Komisi III DPR, saya ingin menengok Novel,” kata Yones saat itu. “Tidak seperti biasa, satu pekan terakhir dia tidak jawab pesan saya.“

Novel juga sadar pentingnya kerja sama internasional. Karenanya ia menjalin hubungan erat dengan mitra internasional seperti United Evangelical Mission di Wuppertal, ICCO/Kerk di Actie di Belanda, Mission21 di Basel, dan Presbyterian Church di Amerika Serikat. Ia mendukung inisiatif Jaringan Damai Papua (JDP) untuk berkali-kali mendorong pemerintah agar mau memulai inisiatif dialog damai untuk Tanah Papua.

Ia juga sempat mendalami rekonsiliasi setelah konflik dan pembangunan perdamaian global ketika belajar di University of Winchester pada 2015-2018. Selepas dari bangku sekolah, ia mendalami kembali masalah konflik ini dengan magang di Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC), sebuah think tank yang dipimpin oleh Sidney Jones, seorang aktivis senior hak asasi manusia berkebangsaan Amerika Serikat.

Novel meyakini bahwa dialog damai para pihak berkonflik seperti TNI dan TPNPB/OPM akan mustahil tanpa menyoroti pentingnya perlindungan warga sipil. Oleh karena itulah ia dikenal sangat tekun dalam advokasi dan kampanye hak asasi manusia di mana ia bekerja dengan organisasi non pemerintah yang terkemuka di bidang HAM seperti KONTRAS, IMPARSIAL, Elsam, hingga Wahid Institute dan Maarif Institute.

Usahanya mewujudkan Papua damai memang belum berhasil mengingat kontak senjata antara OPM dan TNI hingga kini terus terjadi, bahkan meningkat dan menelan korban dari kedua pihak.

Sebelum pindah ke Amnesty, ia telah lama memimpin kerja-kerja kemanusiaan di Church World Service, sebuah LSM internasional berbasis agama yang berbasis di Amerika Serikat. CWS telah bekerja di Indonesia sejak 1950-an terutama di bidang bencana dan bantuan darurat, serta pembangunan perdamaian.

Di lembaga ini, Novel terlibat melatih para pengungsi, dan membantu mereka mendapatkan hak-hak mereka di Indonesia yang sayangnya belum juga meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Ia juga bekerja dengan badan PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR. Kerja-kerja kemanusiaan Novel tak lepas dari minatnya dan juga keyakinannya pada agama.

Novel adalah seorang demokrat pluralis. Selain melalui PGI, yaitu organisasi terbesar penganut agama Kristiani, ia juga tak sungkan untuk menjalin dengan dua organisasi keagamaan Islam terbesar Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah untuk mendorong perlindungan minoritas agama, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan perwujudan perdamaian di Tanah Papua.

Ia peminat filsafat dan agama. Ia pernah belajar filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (2001-2006). Ia mendalami teologi Kristen di sebuah lembaga pendidikan di Belanda, bernama Protestantse Theologische Universiteit (2007–2008).

Karena itu, yang kita juga perlu kenang dari almarhum adalah keimanannya pada Tuhan, keyakinannya bahwa Tuhan itu baik untuk semua manusia. Dalam caranya beriman, kita belajar bahwa beriman itu bukanlah sekadar berteologi, tapi bertindak secara nyata melawan siklus kekerasan dan ketidakadilan di kehidupan kita, termasuk yang terjadi di Tanah Papua.

Memang ada risiko. Mulai dari teror, tekanan, intimidasi, bahkan kematian. Tetapi sekali lagi, dalam iman Novel, kita belajar untuk tidak tunduk pada ketakutan. Seperti dalam iman Kristiani, kita tidak boleh dikuasai oleh ketakutan, sebab ketakutan adalah akar dari dosa. Iman Novel adalah iman untuk hak asasi manusia, keadilan, dan kemanusiaan.

Selain merupakan sebuah kehilangan besar bagi gerakan hak asasi manusia, kepergian Novel jelas suatu kehilangan atas seorang laki-laki yang begitu mencintai keluarga, pasangan, dan putera puterinya. Di tengah perjuangannya melawan derita kanker, ia tetap seorang ayah yang hebat.

Seakan tahu hidupnya tak akan lama, ia menyempatkan diri untuk membuat video berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Flo dan Fides, buah hati tercinta. Untuk ulang tahun ini, tahun depan, dan tahun-tahun yang akan datang. Ia juga menyiapkan video ucapan jika kelak putera puterinya lulus pendidikan tinggi, jika kelak putera-puterinya menemukan pasangan hidup dan menikah. Ia seperti ingin terus hidup dan berada di tengah-tengah keluarga, pasangan, dan putera puterinya. Benar-benar seorang suami dan ayah yang hebat.

Novel, terima kasih. Akan selalu kami kenang apa yang pernah engkau ucapkan, “Bukan berapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita hidup.“

Selamat jalan sang peziarah perdamaian dan kemanusiaan.