Memprotes perlakuan rasis bukanlah kejahatan

Bagaimana perasaanmu jika ada aparat keamanan yang memanggil anggota komunitasmu dengan sebutan rasis? Kamu memprotes kejadian tersebut dengan cara berdemonstrasi. Tapi alih-alih mengadili pelaku rasisme, aparat malah menangkapmu dan teman-temanmu yang terlibat dalam protes anti-rasisme dan menuduh kalian melakukan makar.

Itulah yang dialami Victor Yeimo, seorang aktivis Papua. Pada tanggal 9 Mei 2021, Victor ditangkap polisi karena dituduh makar berdasarkan pasal 106 dan 110  KUHP. Menurut polisi, Victor Yeimo ditangkap karena keterlibatannya dalam demonstrasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019.

Protes tersebut dilakukan menyusul pelecehan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019. Dalam insiden tersebut, asrama mahasiswa Papua dikepung oleh ormas dan aparat keamanan yang menuduh mereka merusak bendera Merah Putih. Sebuah video menunjukkan seseorang yang diduga anggota TNI meneriakkan kata “monyet” ke mahasiswa. Akibatnya, protes terjadi di berbagai kota di provinsi Papua dan Papua Barat. Selain sebagai reaksi terhadap kejadian di Surabaya, protes tersebut juga merupakan ungkapan sakit hati dan amarah terhadap rasisme yang telah lama dialami orang Papua selama puluhan tahun.

Victor Yeimo adalah seorang aktivis yang pernah memegang jabatan Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sampai tahun 2018. Saat ini dia adalah juru bicara internasional untuk KNPB dan Petisi Rakyat Papua (PRP). Victor sedang melewati proses persidangan di Jayapura dan jika terbukti bersalah, dia bisa menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup. 

Victor Yeimo tidak sendiri. Menurut data Amnesty International Indonesia, per Juli 2021 ada setidaknya 77 orang yang sudah masuk penjara karena dituduh makar.

Definisi “makar” sendiri sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi hukum di Indonesia. Makar” secara harafiah berarti perbuatan atau usaha yang menggunakan tipu daya, sehingga banyak yang memadankan kata “makar” dengan “treason” atau pengkhianatan. Tapi KUHP sebenarnya memiliki ketentuan lain yang mengatur tentang tindakan-tindakan pengkhianatan terhadap negara seperti pemberontakan dan usaha menggulingkan pemerintahan. Beberapa ahli menyatakan bahwa “makar” dalam pasal 106 merupakan terjemahan dari kata Belanda “aanslag,” yang berarti “serangan” dengan makna serangan fisik (sehingga bukan protes damai) untuk tujuan yang digambarkan dalam pasal tersebut.

Dalam praktiknya, pasal makar ini seringkali digunakan untuk memidanakan unjuk rasa damai, terutama yang melibatkan orang Papua yang mengekspresikan dukungannya terhadap penentuan nasib sendiri. Ini bertentangan dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum international. Konstitusi Indonesia sendiri bahkan melindungi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.

Hak atas kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 19 ICCPR: ‘Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan berekspresi pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)’. Pasal 20 juga mengatakan ‘Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.’

UUD 1945 Pasal 28 Ayat (3) menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Selanjutnya, Pasal 28I ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Namun kenyataannya hak-hak tersebut masih belum ditegakkan secara konsisten. Orang Papua masih sering mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah dan aparat keamanan.

Setiap orang, termasuk masyarakat Papua, berhak untuk mengekspresikan opini politik mereka secara damai tanpa perlu takut akan intimidasi, penahanan sewenang-wenang atau pemenjaraan. Penggunaan pasal makar untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang mengungkapkan aspirasinya secara damai berseberangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang tentunya sangat ironis di tengah fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan anggota Dewan HAM PBB. Diskriminasi dan represi ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi pada orang Papua atau aktivis lainnya.

Apa yang dilakukan Victor bukanlah kejahatan. Kebebasan berekspresi tidak boleh diberangus hanya karena sekelompok orang mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pandangan pemerintah. Jika terus dibiarkan, ini bisa terjadi kepada siapapun yang mengungkapkan aspirasinya.

Bagaimana perasaanmu jika ada aparat keamanan yang memanggil anggota komunitasmu dengan sebutan rasis? Kamu memprotes kejadian tersebut dengan cara berdemonstrasi. Tapi alih-alih mengadili pelaku rasisme, aparat malah menangkapmu dan teman-temanmu yang terlibat dalam protes anti-rasisme dan menuduh kalian melakukan makar.

Itulah yang dialami Victor Yeimo, seorang aktivis Papua. Pada tanggal 9 Mei 2021, Victor ditangkap polisi karena dituduh makar berdasarkan pasal 106 dan 110  KUHP. Menurut polisi, Victor Yeimo ditangkap karena keterlibatannya dalam demonstrasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019.

Protes tersebut dilakukan menyusul pelecehan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019. Dalam insiden tersebut, asrama mahasiswa Papua dikepung oleh ormas dan aparat keamanan yang menuduh mereka merusak bendera Merah Putih. Sebuah video menunjukkan seseorang yang diduga anggota TNI meneriakkan kata “monyet” ke mahasiswa. Akibatnya, protes terjadi di berbagai kota di provinsi Papua dan Papua Barat. Selain sebagai reaksi terhadap kejadian di Surabaya, protes tersebut juga merupakan ungkapan sakit hati dan amarah terhadap rasisme yang telah lama dialami orang Papua selama puluhan tahun.

Victor Yeimo adalah seorang aktivis yang pernah memegang jabatan Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sampai tahun 2018. Saat ini dia adalah juru bicara internasional untuk KNPB dan Petisi Rakyat Papua (PRP). Victor sedang melewati proses persidangan di Jayapura dan jika terbukti bersalah, dia bisa menghadapi hukuman maksimal penjara seumur hidup. 

Victor Yeimo tidak sendiri. Menurut data Amnesty International Indonesia, per Juli 2021 ada setidaknya 77 orang yang sudah masuk penjara karena dituduh makar.

Definisi “makar” sendiri sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi hukum di Indonesia. Makar” secara harafiah berarti perbuatan atau usaha yang menggunakan tipu daya, sehingga banyak yang memadankan kata “makar” dengan “treason” atau pengkhianatan. Tapi KUHP sebenarnya memiliki ketentuan lain yang mengatur tentang tindakan-tindakan pengkhianatan terhadap negara seperti pemberontakan dan usaha menggulingkan pemerintahan. Beberapa ahli menyatakan bahwa “makar” dalam pasal 106 merupakan terjemahan dari kata Belanda “aanslag,” yang berarti “serangan” dengan makna serangan fisik (sehingga bukan protes damai) untuk tujuan yang digambarkan dalam pasal tersebut.

Dalam praktiknya, pasal makar ini seringkali digunakan untuk memidanakan unjuk rasa damai, terutama yang melibatkan orang Papua yang mengekspresikan dukungannya terhadap penentuan nasib sendiri. Ini bertentangan dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum international. Konstitusi Indonesia sendiri bahkan melindungi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.

Hak atas kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 19 ICCPR: ‘Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan berekspresi pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)’. Pasal 20 juga mengatakan ‘Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.’

UUD 1945 Pasal 28 Ayat (3) menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Selanjutnya, Pasal 28I ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Namun kenyataannya hak-hak tersebut masih belum ditegakkan secara konsisten. Orang Papua masih sering mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah dan aparat keamanan.

Setiap orang, termasuk masyarakat Papua, berhak untuk mengekspresikan opini politik mereka secara damai tanpa perlu takut akan intimidasi, penahanan sewenang-wenang atau pemenjaraan. Penggunaan pasal makar untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang mengungkapkan aspirasinya secara damai berseberangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang tentunya sangat ironis di tengah fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan anggota Dewan HAM PBB. Diskriminasi dan represi ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi pada orang Papua atau aktivis lainnya.

Apa yang dilakukan Victor bukanlah kejahatan. Kebebasan berekspresi tidak boleh diberangus hanya karena sekelompok orang mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pandangan pemerintah. Jika terus dibiarkan, ini bisa terjadi kepada siapapun yang mengungkapkan aspirasinya.