Serba-serbi Hak LGBTQIA+

Di seluruh dunia, orang-orang diserang karena siapa yang mereka cintai, cara mereka berpakaian, dan identitas gender mereka.

Lalu, kenapa penting memperjuangkan hak LGBT? Ini penjelasannya.

Apa itu hak LGBT?

Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, ekspresi gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, hak asasi manusia kita harus dihormati tanpa diskriminasi.

Jika sama saja, mengapa perlu ada perjuangan khusus untuk hak orang LGBTQIA+ atau yang juga kita kenal sebagai orang LGBT?

Di banyak tempat, orang LGBT menjadi sasaran pelanggaran HAM karena mereka berbeda dan dianggap tidak sesuai dengan norma gender yang ditetapkan secara budaya. Akibatnya, mereka berisiko tinggi mengalami kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan eksploitasi.

Mulai dari cemoohan dan intimidasi, penolakan pekerjaan atau perawatan kesehatan yang layak, hingga ancaman, ujaran dan kejahatan kebencian, berbagai perlakuan diskriminatif yang dihadapi orang LGBT sangat merugikan, bahkan bisa mengancam jiwa.

Siapa yang termasuk LGBT?

Untuk memahami siapa saja yang termasuk LGBT, mari pahami lebih dulu apa itu orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik seks atau sexual orientation, gender identity, expression, and sex characteristics (SOGIESC).

Sumber grafis: instagram.com/kamusqueer

Orientasi seksual seseorang mengacu kepada ketertarikan emosional, seksual, dan romantisme yang dirasakan seorang individu terhadap individu lain. Orientasi seksual setiap orang bersifat pribadi dan mereka berhak memutuskan bagaimana – dan jika – mereka ingin mendefinisikannya. Bagi sebagian orang orientasi seksual bisa berubah seiring waktu. 

Orientasi seksual orang LGBT termasuk lesbian (perempuan yang tertarik secara seksual/ romantis/ emosional pada perempuan), gay (laki-laki yang tertarik secara seksual/ romantis/ emosional pada laki-laki), biseksual (tertarik pada laki-laki dan perempuan), panseksual (tertarik pada individu, tanpa memandang jenis kelamin), dan aseksual (tidak tertarik secara seksual pada siapapun).

Identitas gender merupakan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri di masyarakat sebagai perempuan, laki-laki, atau gender non-biner (tidak mengidentifikasi diri dengan gender tertentu). 

Identitas gender orang LGBT termasuk non-biner (gender di luar laki-laki dan perempuan), yaitu agender (tanpa gender), transgender termasuk transpuan/waria (seseorang yang identitas gendernya perempuan, walau secara biologis lahir sebagai laki-laki), dan transpria (seseorang yang identitas gendernya perempuan, walau secara biologis lahir sebagai perempuan).

Beberapa orang transgender memutuskan untuk melakukan transisi, yang merupakan proses menjalani hidup mereka sebagai jenis kelamin yang mereka identifikasi. Tidak ada proses transisi tunggal. Beberapa orang mungkin mengadopsi kata panggilan baru, mengubah nama mereka, mengajukan permohonan pengakuan gender yang sah, dan/atau menjalani operasi transisi jenis kelamin sesuai gender mereka atau terapi hormon.

Menjadi transgender tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual seseorang. Seseorang bisa menjadi transpria dan menjadi gay – atau menjadi transpuan dan menjadi lesbian.

Ekspresi gender merupakan bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, bisa secara maskulin, feminin, atau androgini (memiliki tampilan luar maskulin dan feminin sekaligus, atau berganti-ganti).

Karakteristik seks berkaitan dengan kromosom (kumpulan DNA dalam sel), gonad (kelenjar kelamin yang memproduksi hormon), dan faktor biologis lainnya. Ketika bayi baru lahir, biasanya seorang dokter akan langsung menentukan gender bayi tersebut berdasarkan karakteristik kelaminnya, namun mengesampingkan jumlah kromosom, gonad, dan sebagainya. Ini akan berdampak pada anak tersebut ketika memasuki usia dewasa. Anak yang seharusnya laki-laki dapat saja menunjukkan tanda-tanda tumbuh payudara, atau mengalami menstruasi, ketika ia memasuki usia remaja. Kondisi seperti ini disebut interseks.

Orientasi seksual, identitas gender, ekspresi, dan karakteristik seks adalah bagian dari diri kita dan tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasi atau melecehkan siapapun.

Apa itu queer?

Dalam perjuangan hak LGBT, dikenal pula istilah queer, yaitu istilah payung bagi mereka yang mengidentifikasi diri bukan bagian dari cisgender heteroseksual (orang yang mengidentifikasi gender mereka sesuai jenis kelamin biologis dan tertarik pada lawan jenis), atau memilih tidak terkotakkan dalam label tertentu. 

Awalnya, istilah queer digunakan kelompok LGBT-phobic (orang yang tidak menyukai/ takut terhadap orang LGBT) untuk mengolok-olok dan memberi label negatif, karena dari segi bahasa Inggris kata ini bermakna ‘aneh’. 

Sekarang, gerakan LGBT secara vokal menggunakan kata queer dalam kampanye mereka, sebagai bagian dari upaya melawan stigma dan stereotip negatif terhadap orang LGBT.

Tidak benar LGBT itu ‘penyakit’!

American Psychiatric Association (APA) telah menghapus homoseksual dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) sejak 1973. 

Tak hanya itu, World Health Organization (WHO) sejak tahun 1990 juga menghapus homoseksual dari klasifikasi penyakit dan menyatakan homoseksual tidak bisa dianggap sebagai kondisi patologis, kelainan, atau penyakit. Penelitian secara biologis dan psikologis menunjukkan bahwa orientasi seksual adalah bagian intrinsik dari karakteristik pribadi manusia. 

LGBT juga banyak dikaitkan dengan tingginya angka penularan HIV. LGBT dianggap sebagai sumber peningkatan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) dan HIV. Padahal, penularan HIV dan IMS disebabkan oleh perilaku beresiko yang bisa terjadi baik pada orang heteroseksual maupun homoseksual, bukan pada orientasi seksualnya itu sendiri.

Kenapa hak LGBT harus dilindungi?

Orang LGBT = manusia. Hak LGBT adalah hak asasi manusia!

Sama seperti semua orang, LGBTI punya hak asasi manusia yang setara dan non diskriminatif yang harus dihormati dan dilindungi.

Setiap orang harus bisa merasa bangga dengan identitas mereka dan siapa yang mereka cintai. Kita semua berhak mengekspresikan diri secara bebas. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia melindungi hak setiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas.

Mengakhiri homofobia dan transfobia akan menyelamatkan nyawa. Pelecehan anti-LGBT menempatkan orang LGBT pada risiko bahaya fisik dan psikologis yang lebih tinggi. Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan.

Dengan merangkul orang-orang LGBT dan memahami identitas mereka, kita bisa belajar menghapus banyak batasan yang dipaksakan stereotip gender. Stereotip ini merusak seluruh masyarakat, mendefinisikan dan membatasi bagaimana orang diharapkan menjalani hidup mereka. Misalnya, stereotip bahwa LGBT adalah penyakit yang bisa menular, sehingga membuat mereka didiskriminasi di lingkungan sekolah, pekerjaan, dan lain-lain. Menghapusnya membuat setiap orang bebas untuk mencapai potensi penuh mereka, tanpa batasan sosial yang diskriminatif.

Orang-orang LGBTI, terutama transgender dan orang-orang non-konformis gender, sering menghadapi risiko dikucilkan secara ekonomi dan sosial. Memperjuangkan undang-undang yang lebih inklusif bagi orang-orang terlepas dari orientasi seksual dan identitas gender mereka memungkinkan mereka mengakses hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pekerjaan.

Gimana sejarah hak LGBTIQ di luar dan di Indonesia?

Sejarah Pride Month

Amerika Serikat merayakan Pride Month sepanjang Juni, sebagai peringatan atas kerusuhan Stonewall pada Juni 1969, yang memicu gerakan perjuangan hak-hak LGBT di negara itu dan menyebar ke seluruh dunia.

Pada tahun 1969 hubungan homoseksual adalah tindakan ilegal di New York (dan hampir semua pusat kota lainnya). Kerusuhan Stonewall, juga disebut pemberontakan Stonewall, adalah serangkaian konfrontasi kekerasan yang dimulai pada dini hari tanggal 28 Juni 1969, antara polisi dan aktivis hak-hak LGBT di luar Stonewall Inn, sebuah bar gay di bagian Greenwich Village, New York. Sembilan polisi memasuki Stonewall Inn, menangkap karyawan karena menjual alkohol tanpa izin, mengganggu banyak pelanggannya, membersihkan bar, dan—sesuai undang-undang kriminal New York yang mengizinkan penangkapan siapa pun yang tidak mengenakan setidaknya tiga jenis pakaian yang sesuai dengan gendernya—menahan beberapa orang.

Kali ini orang-orang yang berkeliaran di luar bar tidak mundur atau berpencar seperti yang hampir selalu mereka lakukan di masa lalu. Mereka melawan kesewenang-wenangan polisi. Sekitar 400 orang terlibat kerusuhan. Barikade polisi berulang kali dilanggar, dan bar dibakar. Kerusuhan di luar Stonewall Inn meningkat dan berlangsung selama lima hari berikutnya. 

Meskipun kerusuhan Stonewall tidak dapat dikatakan sebagai awal gerakan hak orang LGBT, peristiwa ini menjadi salah satu simbol perlawanan terhadap diskriminasi yang mengilhami solidaritas orang LGBT di seluruh dunia selama beberapa dekade. 

Sejarah Gerakan LGBT di Indonesia

Di Indonesia, gerakan LGBT dimulai sejak berdirinya organisasi transgender pertama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD), yang difasilitasi oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, pada 1969. Istilah wadam sebagai singkatan dari “wanita Adam” diprotes oleh seorang pejabat negara karena dianggap membawa-bawa Nabi Adam. Istilah ini diganti menjadi “waria” atau “wanita pria”, dan istilah transgender atau transpuan dan transpria juga umum digunakan saat ini.

Pada masa Orde Baru, gerakan LGBT masih sangat dibatasi ruang geraknya. Pada Maret 1982, Lambda Indonesia, organisasi gay pertama di Indonesia sekaligus di Asia berdiri di Solo. Tanggal berdirinya Lambda Indonesia, 1 Maret ,diperingati sebagai Hari Solidaritas LGBT Nasional yang menjadi simbol lahirnya gerakan LGBT di Indonesia. Lambda Indonesia berperan penting dalam mengorganisasi pertemuan sosial dan memfasilitasi peningkatan kesadaran masyarakat mengenai keberadaan dan hak orang LGBT. Tapi Lambda bubar pada 1986.

Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) berdiri pada 14 April 1982, dan Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dibentuk pada 1985, yang berganti nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS) pada 1988.

Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) berdiri pada 1986 di Pasuruan, Jawa Timur, sebagai penerus Lambda Indonesia. Namanya kemudian dipersingkat menjadi GAYa Nusantara (GN). GAYa Nusantara adalah organisasi LGBT tertua di Indonesia yang masih terus bertahan hingga sekarang.

Pada 1993, organisasi, aktivis, dan individu yang mendukung hak LGBT mengadakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) di Kaliurang. GAYa Nusantara dimandatkan untuk mengkoordinasi jaringan lesbian dan gay Indonesia. Di tahun yang sama, Kementerian Kesehatan mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan melalui Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993. Pada Oktober 1999, GAYa Nusantara menjadi salah satu pendiri Jaringan Asia Pacific Rainbow (APR), sebuah jaringan komunitas LGBTQ se-Asia Pasifik. 

Pada November 2006, pertemuan Komisi Ahli Hukum Internasional, organisasi HAM global International Service for Human Rights, dan ahli-ahli HAM dari seluruh dunia di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta menghasilkan Prinsip-prinsip Yogyakarta, yang merupakan prinsip internasional pertama yang melindungi hak asasi manusia orang LGBT dan mengintegrasikannya dalam hukum HAM internasional. Pada 2013, Komnas HAM menetapkan hak LGBT sebagai topik diskusi pleno untuk pertama kalinya.

Meski organisasi dan kelompok pembela hak LGBT terus berkembang di Indonesia, diskriminasi dan intimidasi terhadap orang LGBT masih sering terjadi hingga saat ini. Beberapa pasal dalam Qanun Jinayat mengkriminalisasi hubungan seks sejenis konsensual dengan ancaman hukuman cambuk 100 kali. Aparat-aparat kepolisian dari Polres Aceh Utara menggerebek lima salon kecantikan dan menahan 12 orang transpuan/waria, menggunakan kekerasan dan hukuman yang merendahkan. Karena penggerebekan ini, ketakutan tercipta di antara para transpuan yang bekerja di salon-salon kecantikan di Aceh. 

LGBT adalah ‘budaya barat’?

Anggapan LGBT merupakan budaya barat sebenarnya sudah dibantah melalui banyak penelitian empirik tentang keragaman gender dan penerimaannya di masyarakat. Banyak budaya Indonesia yang mengenal dan mengakui ragam gender dan orientasi seksual. 

Di Makassar, suku Bugis sudah sejak dulu sudah menerima keragaman gender di luar sistem biner gender pada umumnya. Dalam tradisi Bugis dikenal 5 gender yang terdiri dari perempuan (makunrai), laki-laki (uruane), orang yang mendekati perempuan (calabai), orang yang mendekati laki-laki (calalai), dan orang yang berkelamin dan bergender ambigu/para-gender yang disebut Bissu. Konsep lima gender ini bahkan termaktub dalam kitab La Galigo, kitab kuno berbentuk puisi tentang mitos penciptaan dari peradaban Bugis.

Selain itu, di kebudayaan Jawa dikenal istilah wandu yang merujuk pada seseorang yang laki-laki yang feminin. Wandu diterima dengan baik sebagai bagian dari masyarakat. Fakta ini mematahkan asumsi dan konspirasi bahwa keragaman gender dan seksualitas adalah “budaya liberal” yang bersumber dari Barat.

Gimana situasi hak LGBT saat ini?

Kondisi dunia

Stigma negatif yang dilekatkan pada orang LGBT kerap berujung pada pengusiran, pengucilan, ancaman kekerasan hingga penghilangan nyawa mereka.

Di banyak negara, menjadi lesbian, gay, biseksual, transgender atau interseks (LGBTI) berarti hidup dengan diskriminasi setiap hari. Diskriminasi ini dapat didasarkan pada orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender (bagaimana seseorang mengekspresikan gendernya melalui pakaian, rambut, atau rias wajah), atau karakteristik seks (misalnya, alat kelamin, kromosom, organ reproduksi, atau kadar hormon).

Terkadang, permusuhan yang ditujukan kepada orang-orang LGBT didukung pemerintah yang seharusnya melindungi mereka. Kampanye yang disponsori pemerintah Chechnya mengarah pada penargetan pria gay.Sejak 2017, beberapa di antara mereka diculik, disiksa, dan bahkan dibunuh. Di Bangladesh, aktivis LGBT disiksa sampai meninggal oleh kelompok bersenjata pada April 2016. Tapi, polisi setempat selaku aparat penegak hukum dan pemerintah dikabarkan tidak terlalu tertarik memberikan keadilan kepada keluarga korban. Di banyak wilayah sub-Sahara Afrika, sejak era kolonial hingga sekarang, orang LGBT terus hidup dalam ketakutan akan ketahuan, kemungkinan untuk diserang dan dipenjara karena identitas mereka atau bahkan dibunuh.

Aktivitas seksual sesama jenis adalah kejahatan di 70 negara, dan dapat membuat seseorang dijatuhi hukuman mati di sembilan negara, termasuk Iran, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman. 

Di Bangladesh, Barbados, Guyana, Sierra Leone, Qatar, Uganda, dan Zambia, orang LGBT hidup di bawah bayang-bayang hukuman penjara, termasuk seumur hidup

Di beberapa negara, transgender dapat diakui gendernya secara hukum. Namun, dalam banyak kasus mereka harus menjalani proses yang merendahkan martabat manusia, termasuk mendapatkan diagnosis psikiatris yang merendahkan dan menjalani sterilisasi permanen, yang melanggar hak asasi mereka. Hanya tujuh negara yang tidak memiliki proses yang memalukan ini: Argentina, Belgia, Kolombia, Denmark, Irlandia, Malta dan Norwegia.

Meski terus mengalami serangan, perjuangan hak LGBT mengalami kemajuan di berbagai negara. Hingga Mei 2019, pernikahan sesama jenis diakui di 27 negara, termasuk: Argentina, Kanada, Irlandia, Malta, Afrika Selatan, dan Uruguay. Taiwan baru-baru ini berjanji untuk melegalkan pernikahan sesama jenis, meskipun belum memberlakukan ini dalam undang-undang, dan Amnesty menyerukan Jepang untuk mengikutinya.

Kondisi di Indonesia

Di Indonesia, penelitian berjudul Kriminalisasi Merayap yang diterbitkan Outright Action International pada 2016 menemukan kebanyakan masyarakat Indonesia tak menganggap diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT sebagai kejahatan

Organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak LGBT, Arus Pelangi, mencatat dalam rentang 2006 hingga 2018 terdapat 1.850 orang LGBT yang menjadi korban persekusi. Pada 2020, Mira, seorang transpuan, dipersekusi di Cilincing, Jakarta Utara, hingga akhirnya meninggal. Mira dituduh mencuri meskipun tidak ditemukan barang bukti, dan ia dibakar hidup-hidup.

Bahkan ketika undang-undang yang diskriminatif terhadap orang LGBT tidak benar-benar ditegakkan, keberadaan aturan tersebut justru memperkuat prasangka dan diskriminasi terhadap orang-orang LGBT, membuat mereka tidak memiliki perlindungan dari pelecehan, pemerasan, dan kekerasan.

Baru-baru ini pembuatan dokumen identitas seperti KTP, KK, dan akta kelahiran akan dipermudah untuk waria. Direktorat Jenderal Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri akan memfasilitasi kemudahan membuat dokumen tersebut. Meski masih mewajibkan pemiliknya memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan sesuai jenis kelamin saat lahir kecuali sudah ditetapkan oleh pengadilan untuk adanya perubahan jenis kelamin, waria diharapkan bisa mengakses layanan kesehatan seperti program vaksinasi Covid-19, layanan BPJS, dan berbagai fasilitas publik lainnya yang selama ini sulit diakses tanpa adanya dokumen identitas yang sah.

Apa saja aturan yang melindungi hak LGBTIQ?

Kita semua berhak mengekspresikan diri dengan bebas. Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melindungi hak setiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas.

Pasal 26 ICCPR juga menyatakan semua orang setara di mata hukum dan harus dilindungi dari segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul, maupun status lainnya.

Setiap orang harus bisa merasa aman, apapun identitas mereka dan siapapun yang mereka cintai. Menjadi diri sendiri dan mencintai orang lain bukan tindakan kriminal.

Dalam konstitusi di Indonesia, UUD 1945, pasal 28I ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

Pasal ini mewajibkan negara melindungi semua warga negara dari tindakan diskriminasi, termasuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan identitas gender, ekspresi, dan orientasi seksual

Prinsip Yogyakarta juga menerapkan standar hukum hak asasi manusia internasional untuk isu-isu yang mempengaruhi orang-orang LGBT. Prinsip-prinsip Yogyakarta mengatur hak-hak khusus serta tugas dan kewajiban Negara untuk memastikan bahwa orang-orang LGBT bisa menjalankan dan menikmati hak-hak tersebut.

Bagaimana cara menjadi sekutu yang baik untuk mendukung orang LGBT?

1. Selalu gunakan nama pilihan dan kata ganti yang mereka pilih

Gunakan nama dan kata ganti yang digunakan oleh orang LGBT. Jangan tanya “nama asli” mereka, karena ini menyiratkan bahwa nama yang mereka pilih tidak valid. Hal yang sama berlaku ketika menanyakan seseorang apa “jenis kelamin sebenarnya”.

2. Identitas gender dan ekspresi gender adalah dua hal yang berbeda

Identitas gender mencerminkan bagaimana seseorang mendefinisikan gendernya sendiri, sedangkan ekspresi gender adalah bagaimana mereka memilih untuk merefleksikannya dalam penampilan fisik mereka. Penting untuk mengenali dan tidak mengandaikan identitas gender seseorang berdasarkan cara mereka berpakaian. Cara orang berpakaian mungkin tidak selalu mencerminkan identitas gender mereka, atau jenis penampilan yang biasanya dikaitkan dengan identitas gender mereka, tetapi ini tidak membuat identitas mereka menjadi kurang valid.

3. Dukung semua spektrum dalam komunitas LGBT

Komunitas LGBT sangat beragam – penting untuk mengenali dan menghormati pengalaman dan kehidupan semua orang LGBT. Menjadi ally berarti menghargai pengalaman orang LGBT dengan mengakui penindasan yang dialami orang LGBT dan membela hak mereka. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, mendukung perlindungan hukum terhadap pekerja seks, dan orang LGBT penyandang disabilitas, yang rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.

4. Dukung, pahami, hormati, dan pelajari keberagaman gender

Gender jauh lebih beragam dari sekedar menjadi laki-laki, perempuan, jenis kelamin ketiga, atau lainnya. Penting untuk diketahui bahwa tidak semua orang LGBT merasa sebagai bagian dari gender biner. Semua identitas gender valid dan harus didukung secara setara. Jika identitas seseorang berada di luar biner, atau mereka tidak memiliki identitas gender sama sekali, itu tetap valid dan ini adalah cerminan dari betapa beragamnya identitas gender itu.

5. Selalu bantu temanmu

Pergi ke kamar mandi atau ruang ganti bisa jadi sulit bagi orang trans dan non-biner. Satu hal praktis yang dapat dilakukan adalah mendukung teman trans dan non-biner dengan menemani mereka, jika mereka mengizinkan. Ini memastikan orang trans dan non-biner tidak harus menghadapi potensi transfobia sendirian.

6. Lawan homofobia dan transfobia

Mungkin sulit untuk berdiskusi dengan teman dan keluarga saat mereka membuat komentar homofobik dan transfobik. Tapi, penting untuk membahas dan mendiskusikan pernyataan mereka. Bagi orang LGBT, ini bisa menjadi pengalaman yang sangat menguras tenaga dan menyusahkan. Mendapati dukungan orang benar-benar dapat membantu memastikan bahwa pengalaman mereka tidak diremehkan.

7. Edukasi dirimu

Sungguh luar biasa ketika orang ingin mempelajari lebih lanjut tentang pengalaman orang LGBT, dan bagaimana menjadi ally yang lebih baik. Namun, penting untuk diketahui bahwa mereka bukan ensiklopedia berjalan. 

Kamu bisa belajar lebih lanjut lewat sumber di internet melalui organisasi seperti Stonewall, Mermaids, Gendered Intelligence, Queer Indonesia Archive, dan banyak lagi. Dukung seniman LGBT dengan menghadiri acara mereka, atau berdiskusi dengan pembicara dan aktivis dan apresiasi kontribusi mereka dalam membela HAM.

8. Dengarkan dan pelajari istilah-istilah LGBT

Mungkin awalnya kamu takut mempelajari terminologi dan bahasa yang sesuai. Tapi jangan khawatir. Jika kamu membuat kesalahan atau dikoreksi oleh seseorang, segera minta maaf dan berusaha untuk belajar lebih lanjut. Ini bukan berarti kamu homofobik atau transfobik, kecuali jika kamu melakukannya dengan sengaja untuk tidak mengakui identitas seseorang. Ini adalah kurva pembelajaran yang kita semua lalui untuk menjadi ally yang lebih baik.

9. Jangan beritahu identitas seseorang tanpa persetujuan

Orang LGBT masih menghadapi bahaya jika terang-terangan membuka identitas gender mereka. Jadi penting untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang identitas gender seseorang tanpa persetujuan mereka. Hal ini menghilangkan hak orang tersebut untuk memilih siapa yang akan diberi tahu dan seberapa banyak yang harus diceritakan.

10. Desak perlindungan terhadap orang LGBT dari intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan

Lindungi individu dari kekerasan homofobik dan transfobik serta cegah penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Desak penetapan aturan hukum tentang kejahatan kebencian yang mencegah kekerasan terhadap individu berdasarkan orientasi seksual, dan sistem yang efektif untuk melaporkan tindakan kekerasan bermotivasi kebencian, termasuk secara efektif menyelidiki, menuntut pelaku, dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.

Desak pencabutan aturan hukum yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi orang LGBT, dan perlindungan bagi orang LGBT untuk tidak ditangkap atau ditahan berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender mereka dan tidak menjalani pemeriksaan fisik yang merendahkan yang dimaksudkan untuk menentukan orientasi seksual mereka.

Sumber: Amnesty International, OHCHR, Kamus Queer, Queer Indonesia Archive, Jurnal Perempuan

Punya saran untuk Amnestypedia?

Yuk bantu dukung keadilan bersama!