Kebebasan berekspresi

Kamu sering merasa takut kritik pemerintah atau aparat di medsos? Setiap dengar kasus orang diciduk UU ITE, kamu ikut merinding? Itu tandanya kebebasan berekspresi kamu terancam, lho!

Sebenarnya, apa sih kebebasan berekspresi? Kenapa penting? Ini penjelasannya.

Apa itu kebebasan berekspresi?

Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Ini termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik. 

Hak ini juga berhubungan dengan kebebasan berserikat, yaitu hak membentuk dan bergabung dengan kelompok, perkumpulan, serikat pekerja, atau partai politik pilihanmu, serta kebebasan berkumpul secara damai, seperti ikut demonstrasi damai atau pertemuan publik.

Kebebasan berekspresi juga mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Dari mana konsep kebebasan berekspresi berasal?

Istilah kebebasan berekspresi ada sejak jaman Polis Athena di Yunani sekitar 2400 tahun lalu. Orang Yunani kuno mempelopori kata “parrhesia” yang berarti “kebebasan berbicara” atau “berbicara terus terang”. Tapi, jenis kebebasan berekspresi saat itu sebenarnya masih amat terbatas dan hanya berlaku bagi sekelompok kecil masyarakat yang berkuasa. 

Kemudian, warga Athena mengembangkan konsep kebebasan berekspresi untuk semua warga. Para pemimpin, filsuf, cendekiawan, seniman, pekerja, dan berbagai kelompok warga lainnya menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengembangkan pengetahuan dan mengkritik pemerintahan Polis. Konsep ini terus dikembangkan hingga menjadi konsep kebebasan berekspresi yang kita kenal sekarang.

Di Indonesia, kebebasan berekspresi sudah diperjuangkan sejak zaman penjajahan Belanda. Soewardi Soerjaningrat menulis artikel Als ik een Nederlander (Seandainya Aku Seorang Belanda) di koran De Expres. Tulisan ini berisi kritikan atas rencana pemerintah Belanda pada 1913 yang ingin merayakan kemerdekaan yang ke-100 dari jajahan Prancis, dan penduduk Hindia dipungut biaya secara paksa demi perayaan itu. 

Ki Hajar Dewantara: Als Ik Eend Nederland Was | Republika Online

Tulisan Soewardi dianggap menghasut. Belanda membungkam pendapat Soewardi dengan menangkap dan memenjarakannya. Beberapa bulan kemudian, ia diasingkan ke Belanda selama 6 tahun. Kebebasan berekspresi terus diperjuangkan orang Indonesia, termasuk saat memperjuangkan pembebasan dari penjajahan yang represif dan eksploitatif.

Apa saja aturan dasar yang mengatur kebebasan berekspresi kita?

Konsep modern kebebasan berekspresi yang kita kenal saat ini diatur dalam:

  • Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau di media cetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain pilihannya.”

Dalam konstitusi nasional, kebebasan berekspresi dilindungi dengan:

  • Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

  • Pasal 28 F UUD 1945

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Kedua pasal dalam konstitusi ini menegaskan cita-cita Indonesia menjadi negara hukum yang berkedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi HAM, termasuk hak atas kebebasan berekspresi. Undang-undang dasar harusnya menjadi acuan utama dan nafas produk hukum turunannya.

Kenapa kebebasan berekspresi penting?

Kalau kebebasan berekspresi dilindungi, kita bisa menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi. Dari mulai ikut webinar, kelas online, streaming serial dan dokumenter favorit, sampai baca berita dari media mancanegara. Kebebasan berekspresi juga memungkinkan kita mencari informasi seluas-luasnya, mengembangkan diri, hingga mendapat gambaran utuh tentang apa yang sedang terjadi di dunia dari sebanyak-banyaknya sumber.

Selain itu, kita bisa berkumpul dan berdemonstrasi menuntut hak kita dan orang lain. Kita juga bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, mendesak transparansi dan akuntabilitas pihak berwenang, bahkan mendorong pemberantasan korupsi dan penghapusan impunitas (ketiadaan hukuman bagi pelaku kejahatan), yang sangat penting bagi perlindungan HAM!

Apa jadinya kalau tidak ada kebebasan berekspresi?

Salah satu contoh ekstrem bisa disaksikan di film 1984, adaptasi dari novel George Orwell yang ditulis tahun 1949 menceritakan pemerintahan yang memaksa rakyatnya menerima versi tunggal kebenaran yang dibuat sesuai kepentingan partai yang berkuasa.

Dalam 1984, saat rezim Partai Bung Besar (The Big Brother Party) berkuasa, setiap aktivitas diawasi dengan teleskrin di setiap kamar dan tempat-tempat umum, setiap ucapan disadap, pikiran-pikiran warga negara dikendalikan, dan yang ‘berkhianat’, termasuk mempertanyakan ‘kebenaran’ versi pemerintah bisa dipenjara, disiksa hingga dibunuh. Kalau kebebasan berekspresi kita tidak dilindungi, distopia dalam 1984 bukan tidak mungkin terjadi. Hiii, ngeri!

Bagaimana kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia sekarang?

Sepanjang 2020, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang dibungkam, diintimidasi, dan dikriminalisasi saat menyampaikan pendapat secara damai.

Amnesty mencatat setidaknya 119 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sepanjang 2020, jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.

Made with Flourish

Selain kriminalisasi dengan UU ITE, pada tahun 2020 ada setidaknya 60 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami organisasi, aktivis, jurnalis dan akademisi per 30 November 2020.

Kebebasan sipil di Indonesia tahun 2020 juga menurun, bahkan terburuk sejak 10 tahun terakhir. Kebebasan sipil adalah salah satu indikator indeks demokrasi yang disusun oleh Economist Intelligence Unit (EIU), mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers. Dari skor 1-10, kebebasan sipil Indonesia jatuh di angka 5.59.

Sumber: Democracy Index 2010-2020, Economist Intelligence Unit (EIU)

Kalau kebebasan berekspresi memburuk, kebebasan pers, kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul, kebebasan berbicara, hak privasi, dan hak untuk hidup kita bisa terancam. Hiii, gawat!

Apa saja tanda-tanda bahaya kebebasan berekspresi kita terancam?

  • Akses informasi diabaikan atau dibatasi secara tidak sah

Pembatasan akses informasi tanpa alasan yang sah melanggar hak atas informasi. Kalau informasi dibatasi sewenang-wenang di luar hukum, ini bisa menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Pembatasan akses informasi secara tidak sah juga berisiko membahayakan hak warga di situasi genting. Misalnya, saat Li Wenliang, dokter asal Wuhan, Cina, memperingatkan tentang keberadaan virus Corona pada akhir 2019, ia malah ditangkap karena dituduh menyebar hoaks. Akibat pembatasan informasi, virus corona terus menyebar, bahkan akhirnya pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia!

  • Saat terjadi intimidasi fisik dan emosional

Orang-orang dengan pandangan yang bertentangan dengan penguasa, misalnya wartawan yang menginvestigasi isu-isu yang dianggap sensitif, kerap mendapat ancaman kekerasan bahkan dibunuh di beberapa negara.

Mereka kerap diinterogasi dengan sengaja dalam waktu lama untuk mematahkan nyali dan memberi tekanan mental. Beberapa interogasi panjang ini dilakukan dengan alasan “membantu penyelidikan resmi”. Terkadang ancaman ini dikombinasikan dengan serangan fisik yang mengakibatkan luka hingga terbunuh. 

Pembunuhan orang-orang yang memiliki suara menentang penguasa, termasuk jurnalis, merupakan bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi yang paling keji.

  • Saat adanya gugatan atas pencemaran nama baik menggunakan hukum pidana

Penyalahgunaan UU pencemaran nama baik bisa menimbulkan efek intimidatif dan bahkan membungkam kebebasan berekspresi.

Pencemaran nama baik (defamasi) terjadi ketika ada suatu tuduhan palsu dan berniat jahat kepada seseorang. 

Tentu kita berhak membela diri jika merasa telah dituduh secara tidak adil. Hukum tentang penghinaan atau pencemaran nama baik memang dibuat untuk melindungi reputasi orang yang namanya dicemarkan.Tapi, banyak negara menjadikan permasalahan pencemaran nama baik sebagai urusan pidana dan negara bertindak sebagai jaksa penuntut. 

Padahal pencemaran nama baik seharusnya hanya menjadi isu perdata antar perorangan. Individu bisa memilih apakah mereka akan menyelesaikannya secara hukum atau tidak. Dalam hal ini, delik pengaduan perdata sebenarnya sudah cukup untuk melindungi reputasi orang.

  • Saat ada aturan yang mengekang kebebasan mengkritik penguasa

Aturan hukum yang tidak adil, yang hanya melindungi status quo dan membungkam penentang pemerintahan punya efek ganda membungkam kebebasan berekspresi dan menciptakan pembenaran hukum untuk membungkam “suara-suara yang tidak patut” (inconvenient voices). 

Misalnya, di Indonesia, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pasal 106 KUHP tentang pidana makar sering digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi damai seseorang. Padahal, ketentuan pencemaran nama baik, ujaran kebencian berdasarkan SARA, dan penyebaran informasi melanggar kesusilaan dalam UU ITE multitafsir, rentan disalahgunakan dan dimanfaatkan mereka yang tidak suka dengan pernyataan orang lain, dan sudah memakan ratusan korban kriminalisasi. 

Contohnya, pasal 27 ayat (1) UU ITE: 

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Frasa “muatan yang melanggar kesusilaan” tak memiliki parameter dan batasan yang jelas sehingga justru berpotensi menjerat korban kekerasan seksual. Misalnya, dalam kasus kasus Baiq Nuril, ia terjerat UU ITE pasal 27 ayat 1 karena dianggap menyebarkan bukti rekaman audio pelecehan seksual terhadap dirinya.

Pasal 106 KUHP tentang makar juga bermasalah karena kesalahan penerjemahan dan penggunaannya. Kata ‘makar’ bermakna serangan, sehingga untuk disebut makar, seharusnya ada unsur serangan fisik yang terbukti membahayakan negara. Ekspresi secara damai bukan tindakan kriminal, karenanya tidak mengandung kekerasan.

Contohnya, mahasiswa Papua Fery Kombo dan enam orang lainnya dituntut dengan pasal makar tahun lalu. Padahal mereka melakukan aksi damai untuk memprotes rasisme terhadap kawan-kawan mereka sendiri, sehingga tidak bisa masuk ke definisi makar.

Kebebasan berekspresi ada batasannya nggak sih?

Meskipun hukum internasional melindungi kebebasan berekspresi, ada beberapa situasi saat ucapan dapat dibatasi secara sah di hadapan hukum, seperti jika ujaran atau ekspresi melanggar hak orang lain, mendukung kebencian dan memicu diskriminasi atau kekerasan.

Bagaimana cara yang benar untuk membatasi kebebasan berekspresi?

Pembatasan kebebasan berekspresi harus diatur hukum, melindungi kepentingan publik tertentu atau hak orang lain dan, jelas diperlukan untuk tujuan yang sah. 

Pembatasan berdasarkan asumsi atau perkiraan akan adanya gangguan publik bukan alasan sah untuk membatasi kebebasan berekspresi. 

Setiap pembatasan kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi harus diatur dalam undang-undang, dikomunikasikan dengan jelas, dan bisa dipahami setiap orang.

Apa yang bisa dilakukan untuk mendukung kebebasan berekspresi?

  • Sebarkan kesadaran tentang kebebasan berekspresi ke orang sekitarmu.
  • Minta pemerintah hapus peraturan yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, dan memastikan tak ada orang yang bisa dikriminalisasi dengan peraturan tersebut.
  • Minta pemerintah bebaskan korban kriminalisasi kebebasan berekspresi.
  • Menuntut akses ke informasi publik.
  • Mendesak pembatasan kekuasaan pemerintah dan perusahaan untuk mendapatkan informasi tentang individu dan organisasi.

Punya saran untuk Amnestypedia?

Yuk bantu dukung keadilan bersama!