Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender

Mulai dari merasa risih di-catcall di jalan, dilarang sekolah tinggi-tinggi karena dianggap tak perlu pendidikan tinggi, menjadi korban sunat perempuan hingga dinikahkan di usia dini, hak perempuan di seluruh dunia masih terancam. 

Sebenarnya, apa saja yang menjadi hak perempuan? Ini penjelasannya.

Apa itu hak perempuan?

Idealnya, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan gender lainnya. 

Jika sama saja, mengapa perlu ada perjuangan khusus untuk hak perempuan?

Banyak pelanggaran hak dan kesenjangan kesempatan yang dialami perempuan atau merugikan banyak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, upah lebih rendah, hingga kurangnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan memadai.

Selama ratusan tahun, gerakan hak perempuan berkampanye menghapus aturan, perilaku, stigma dan tradisi yang tidak berpihak pada perempuan.

Gerakan perempuan telah berkembang di era digital, seperti kampanye global #MeToo yang menyorot kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, dan juga #SahkanRUUPenghapusanKekerasanSeksual yang mendesak aturan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Kenapa hak perempuan penting untuk dilindungi?

Perempuan = manusia. Hak perempuan adalah hak asasi manusia!

HAM berlaku secara universal untuk semua orang. Artinya, semua orang berhak atas perlindungan hak asasi dan kebebasannya. Pemenuhan setiap hak kita juga harus setara untuk semua orang, dan bebas dari diskriminasi.

You is kind, you is smart, you is important - the help you is kind smart  important | Meme Generator

Apa saja pelanggaran hak perempuan yang kerap terjadi?

  • Kekerasan berbasis gender

Kekerasan berbasis gender adalah tindakan kekerasan yang dilakukan atas dasar identitas gender dan orientasi seksual. Kekerasan berbasis gender termasuk setiap perilaku membahayakan yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang.

Menurut Yayasan Pulih, KBG disebabkan ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan akibat ketimpangan kuasa dari konstruksi gender yang tidak setara. Gender pelaku dan penyintas mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat merespons atau mengecam kekerasan tersebut. 

Siapapun bisa menjadi korban KBG, termasuk laki-laki dan kelompok minoritas seksual. Tapi, dalam konteks KBG, baik fisik maupun seksual, perempuan dan kelompok LGBTI paling banyak menjadi korban.

Secara fisik, KBG bisa mengakibatkan luka  atau bahkan hilangnya nyawa. Selain itu, pelaku KBG juga bisa menyebabkan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, atau keguguran. 

Dari segi psikis penyintas, peristiwa traumatis dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pascatrauma, menyakiti diri sendiri atau pikiran untuk bunuh diri. Ditambah lagi, penyintas seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, dengan adanya stigma dan penolakan dari keluarga atau masyarakat. Di berbagai komunitas, penyintas KBG juga  dipaksa menikah dengan pelakunya.

Dampak kekerasan seringkali bertahan lama pada korban, baik secara fisik, psikologis maupun sosioekonomi. Konsekuensi dan prevalensi KBG menunjukkan bahwa KBG bukan hanya merupakan pelanggaran HAM, tapi juga masalah kesehatan masyarakat.

Negara bertanggung jawab melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender – bahkan kekerasan dalam rumah tangga secara tertutup sekalipun.

  • Kekerasan seksual

Kekerasan seksual termasuk salah satu jenis kekerasan berbasis gender. Kekerasan seksual adalah penyerangan terhadap seksualitas seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Kekerasan seksual menimbulkan rasa tidak nyaman dengan memposisikan korban sebagai objek, bukan manusia dengan kehendak atas tubuh, pikiran dan tindakan mereka sendiri.

Ada dua aspek penting dalam kekerasan seksual: pertama, aspek pemaksaan dan aspek tidak adanya persetujuan dari korban. Kedua, jika korban tidak/belum mampu memberikan persetujuan, misalnya kekerasan seksual pada anak atau individu dengan disabilitas.

Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas gender dan hubungan dengan korban. Artinya, tindakan berbahaya ini bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapapun termasuk istri atau suami, pacar, orangtua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus.

Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 perilaku yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, yaitu:

  • Perkosaan
  • Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
  • Pelecehan seksual
  • Eksploitasi seksual
  • Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
  • Prostitusi paksa
  • Perbudakan seksual
  • Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
  • Pemaksaan kehamilan
  • Pemaksaan aborsi
  • Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan dan sterilisasi
  • Penyiksaan seksual
  • Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
  • Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya sunat perempuan)
  • Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Meski siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual, perempuan paling banyak menjadi korban. Anggapan bahwa perempuan inferior karena jenis kelamin dan gender mereka menyebabkan perempuan lebih banyak jadi korban kekerasan seksual. 

Sudah nonton film 27 Steps of May? Film ini menceritakan May, seorang perempuan korban pemerkosaan yang harus melawan trauma kekerasan seksual. Saat berusia 14 tahun, masih mengenakan seragam sekolah, May pulang dari pasar malam dan menjadi korban pemerkosaan di perjalanan pulang. Sejak malam itu hingga delapan tahun setelahnya, May tidak pernah mengucap sepatah kata. May bahkan tak mau keluar dari kamar, apalagi rumah, bahkan saat rumah tetangganya sedang kebakaran. 

Setiap hari, para perempuan korban kekerasan seksual seperti May menghadapi trauma dan stigma negatif dari masyarakat yang kerap tidak berpihak pada perempuan. Jika ketidaksetaraan gender dibiarkan, ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan bisa melanggengkan kekerasan seksual dan merugikan kehidupan korban.

  • Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender

Di banyak negara di dunia, hak perempuan ditolak atas dasar orientasi seksual, identitas gender, atau karakteristik seks. Perempuan lesbian, biseksual, trans dan interseks serta orang-orang yang tidak mengkonfirmasi gender mereka menghadapi kekerasan, pengucilan, pelecehan, dan diskriminasi. Banyak juga yang mengalami kekerasan ekstrim, termasuk kekerasan seksual atau yang disebut “pemerkosaan korektif” dan “pembunuhan demi kehormatan”. Hak untuk mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan serta hak atas kesejahteraan mereka juga masih dilanggar.

Kelompok LGBTI di Indonesia juga masih terus diintimidasi karena identitas gender mereka. Arus Pelangi, organisasi pembela hak LGBTI mencatat, telah terjadi 1.850 kasus persekusi terhadap orang LGBTI di Indonesia selama kurun waktu 2006 hingga 2018. Pada 4 April 2020, Mira, seorang transpuan, dipukuli lalu dibakar hidup-hidup oleh lima pria setelah dituduh mencuri dompet dan ponsel milik seorang sopir truk.

  • Diskriminasi di tempat kerja

Seringkali, perempuan menjadi subjek diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Misalnya, kesenjangan upah. Gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama adalah hak asasi manusia, tetapi perempuan berkali-kali ditolak aksesnya ke upah yang adil dan setara. 

Saat ini, rata-rata perempuan di seluruh dunia hanya memperoleh sekitar 77% dari penghasilan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal ini menyebabkan kesenjangan ekonomi bagi perempuan, bisa menghambat perempuan untuk mandiri secara utuh, bahkan meningkatkan risiko kemiskinan di kemudian hari.

Bagaimana situasi hak perempuan saat ini?

Satu dari tiga perempuan di dunia menjadi korban kekerasan. Setiap hari, sekitar 137 perempuan di seluruh dunia dibunuh anggota keluarganya. 1 dari 5 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum ulang tahun ke-18. 15 juta anak di bawah umur menjadi korban pemerkosaan.

Panggilan ke saluran bantuan pelaporan kekerasan di banyak negara meningkat lima kali lipat selama pandemi COVID-19. Isolasi sosial, ruang gerak terbatas, dan ketidakamanan ekonomi meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan domestik.

Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, dalam 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792%. Tapi, walau Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual, payung hukum untuk kasus kekerasan seksual, RUU PKS, masih belum juga disahkan sejak 2012!

Kasus kekerasan terhadap perempuan juga meningkat 63% selama pandemi COVID-19, dengan mayoritas korbannya perempuan dewasa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebesar 59,82 persen. 

Selain itu, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, angka perkawinan anak meningkat sebesar 3 kali lipat, dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada 2020. Kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGO yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan juga meningkat dari 241 kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020.

Kapan perjuangan hak perempuan mulai dirintis?

Gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah ada sejak abad ke-4 SM. Masyarakat Yunani kuno menempatkan perempuan sebagai sosok lebih rendah dari laki-laki. Pemahaman ini menjadi alasan mengapa setiap ada pemilihan umum, perempuan tidak pernah dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki akal sehat seperti laki-laki dan tidak mampu membuat keputusan rasional. 

Bukan cuma itu, perempuan yang sudah menikah ditempatkan sebagai sosok yang harus tunduk kepada suaminya meski diperlakukan tidak adil. Hukum di Athena pun membiarkan seorang suami bertindak sesuka hati, bahkan untuk berselingkuh. Sebaliknya, jika perempuan yang berselingkuh, suami berhak membunuh istrinya.

Pada masa revolusi Prancis, The Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, salah satu aturan pelopor hak sipil yang disahkan tahun 1789, menyebut hak asasi manusia sebagai rights of all men (hak semua lelaki), bukan human rights (hak asasi manusia). Pernyataan ini secara tak langsung belum mengakui perempuan sebagai manusia dengan hak asasi.

Sebelum abad ke-18, perempuan masih belum dianggap sebagai manusia rasional dengan akal sehat yang berhak punya hak setara dengan laki-laki. Akibatnya, perempuan tidak punya hak untuk memilih dan dipilih dalam politik. 

Perempuan New Zealand merupakan yang pertama di dunia mendapat hak pilih pada 1893. Perjuangan hak sipil dan politik perempuan terus menjalar ke seluruh dunia. Perempuan Amerika dan Inggris berjuang hingga mendapat hak suara pada 1920, walau masih terbatas pada perempuan kulit putih. Dihadang diskriminasi rasial dan kekerasan, pengakuan hak sipil perempuan dan laki-laki kulit hitam serta orang Asia menyusul 45 tahun kemudian.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Deklarasi Universal HAM, aturan yang melindungi HAM secara universal dirumuskan. Hansa Mehta, perempuan asal India yang menjadi salah satu perumus DUHAM, mencetuskan perubahan kata dari ‘rights of all men’ menjadi ‘human rights’.

Bagaimana perjuangan hak perempuan di Indonesia?

Sebelum perjuangan Kartini pada akhir abad ke-19, perempuan bangsawan Nusantara sudah giat memperbaiki kondisi perempuan, meski terbatas di lingkungan mereka. Di Jawa, emansipasi perempuan di kalangan bangsawan mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta. Para pelopor saat itu prihatin terhadap terbatasnya akses pendidikan perempuan. 

Di Bandung, Dewi Sartika membuka akses pendidikan untuk perempuan dengan mengepalai sekolah pada 1904. Di Semarang, Kartini membuka Sekolah Kartini pada 1913. Di Manado, Maria Walanda Maramis mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama pada 1918.

Perjuangan hak perempuan Indonesia terus berkembang pesat. Pada 1928, Kongres Perempuan pertama dilaksanakan di Yogyakarta. Kongres tersebut menghasilkan komitmen penting perjuangan perempuan Indonesia: pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan hak memperoleh pendidikan, hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan kesejahteraan sosial melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita. 

Kapan lahir istilah feminisme?

Feminisme adalah gerakan yang bertujuan memperjuangkan hak dan kesempatan yang setara antara perempuan dengan laki-laki. Gerakan feminisme berkaitan erat dengan perjuangan hak perempuan karena melawan dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil terhadap perempuan.

Pada 1792, Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul “Mempertahankan Hak-hak Perempuan” (A Vindication of the Rights of Women) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar. Menurutnya, perempuan bukan manusia inferior. Kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki-laki tidak disebabkan oleh kurangnya kemampuan perempuan, tapi kurangnya kesempatan dan akses akibat stigma yang membatasi kebebasan perempuan untuk memilih dan mengembangkan kualitas hidupnya.

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat di seluruh dunia sejak publikasi John Stuart Mill, “Perempuan sebagai Subyek” (The Subjection of Women) pada tahun 1869. 

Kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan feminisme berkomitmen memastikan perempuan dapat menikmati HAM secara setara dengan laki-laki. Semua manusia, apapun jenis kelamin dan gendernya, berhak mengembangkan kemampuan pribadinya, mengejar karir dan membuat pilihan tanpa dibatasi stereotip kaku tentang peran gender. 

Faktanya, kurangnya kesempatan dan akses masih menghantui perempuan. Di Amerika Serikat, upah di industri kompetitif seperti sales awalnya dianggap objektif berdasarkan kinerja. Padahal, sebuah studi oleh Harvard Kennedy School tahun 2012 menemukan, pialang saham perempuan hanya menghasilkan kurang dari 66 sen dibandingkan dengan setiap dolar yang dihasilkan pialang saham laki-laki. Awalnya ada stereotipe seperti perempuan kurang percaya diri dan kurang bisa bekerja di bawah tekanan dibanding laki-laki. Tapi ternyata setelah diteliti, ketahuan bahwa perempuan biasanya ditugaskan bekerja untuk akun yang potensi keuntungannya jauh lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa perempuan tak hanya mengalami kesenjangan upah, tapi juga kesenjangan kesempatan.

Pada perkembangannya, ternyata, diskriminasi, ketidaksetaraan dan ketimpangan kuasa tak hanya terjadi berdasarkan gender dan jenis kelamin, tapi juga pada beragam identitas seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan praktik budaya. 

Misalnya, seorang perempuan kulit hitam dari kelas ekonomi menengah ke bawah lebih sulit mengakses layanan kesehatan di AS dibanding perempuan berkulit putih. 

Di Indonesia, perempuan masyarakat adat kerap mengalami diskriminasi karena tidak diakui sebagai warga negara dan tidak punya akte kelahiran. Ia dan keluarganya jadi tak punya akses untuk bersekolah, bekerja dan mendapat layanan kesehatan seperti anggota masyarakat lainnya. 

Saat wilayah adat dirusak pembangunan yang tidak ramah lingkungan, masyarakat adat kehilangan pekerjaan tradisional mereka. Di beberapa masyarakat adat, laki-laki merantau ke kota untuk bekerja jadi buruh dengan upah rendah demi bertahan hidup, dan perempuan adat harus menjadi orang tua tunggal, menyebabkan tingkat kemiskinan mereka lebih tinggi dibanding perempuan lain.

Sumber ilustrasi: iwda.org.au

Ketimpangan inilah yang menjadi asal-usul berkembangnya gerakan feminisme interseksional yang membela hak semua orang yang menjadi korban ketidaksetaraan akibat keragaman identitasnya.

Meski gerakan hak perempuan terus berubah dan mengangkat isu-isu berbeda sesuai konteks tempat dan zamannya, feminisme tetap melawan ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakadilan yang dialami semua orang dengan tetap memperhatikan perbedaan keadaan yang dialami laki-laki, perempuan, serta kelompok identitas lainnya, khususnya mereka yang terpinggirkan akibat diskriminasi dan kekerasan yang mengakar sejak masa lalu.

Laki-laki bisa menjadi feminis juga nggak?

Laki-laki yang juga percaya pada gagasan mengenai kesetaraan hak juga bisa mendukung gerakan feminisme. Faktanya, sistem yang patriarkal juga dianggap merugikan laki-laki karena tuntutan yang dibebankan kepada mereka. Misalnya, laki-laki dianggap harus selalu lebih superior secara ekonomi, dan tidak pantas mengungkapkan emosi seperti menangis. Ini  berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik mereka. 

Dibandingkan dengan perempuan, tekanan ekonomi dan mental membuat laki-laki tiga kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri di Australia, 3,5 kali lebih mungkin di AS dan lebih dari empat kali lebih mungkin di Rusia dan Argentina.

Apa saja aturan yang melindungi hak perempuan?

The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah perjanjian HAM internasional yang secara khusus mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan. CEDAW ditetapkan di sidang umum PBB pada 18 Desember 1979 dan berlaku pada 3 September 1981.

Konvensi ini mendefinisikan prinsip, norma dan standar untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang wajib dipenuhi negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia. 

Di Indonesia, aturan perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak perempuan di antaranya:

  • Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
  • Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
  • Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
  • Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO)
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Berbagai instrumen hukum tersebut masih mengandung banyak kekurangan. Misalnya, perlindungan dari kekerasan seksual, pencegahan, dan mekanisme pemulihan bagi korban juga belum diatur dalam payung hukum yang spesifik.

Apa saja manfaat memperjuangkan hak perempuan?

  • Melindungi hak perempuan menciptakan dunia lebih baik

Kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan merupakan kunci pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, serta perdamaian dan keamanan. 

Ketika masalah ketidaksetaraan gender seperti terbatasnya akses pendidikan dan pekerjaan bisa diatasi sebuah negara, kesejahteraan otomatis meningkat. Semua warga negara bisa menikmati buahnya.

  • Kesetaraan gender bisa menyelamatkan banyak nyawa

Dengan memperjuangkan kesetaraan gender, kita bisa menghapus kekerasan berbasis gender, menghapus kekerasan seksual, hingga menghentikan perdagangan manusia! 

Jika semua orang sudah dianggap manusia yang setara, misalnya, kita tidak akan mendengar lagi pekerja migran perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan penyiksaan.

Apa yang bisa kita lakukan untuk dukung hak perempuan?

  • Sebarkan kesadaran tentang hak perempuan ke orang sekitarmu.
  • Minta pemerintah sahkan aturan yang melindungi hak perempuan (jangan ragu desak hal yang sama berkali-kali dengan pendekatan kreatif dan bervariasi!).
  • Beri dukungan dan desak keadilan untuk para korban kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, dan diskriminasi.
  • Minta pemerintah lakukan aksi nyata untuk memulihkan hak korban.
  • Selalu berempati pada sudut pandang korban.
  • Ajak orang-orang dukung perjuangan korban melawan berbagai stigma, trauma, dan proses hukum yang belum ramah hak perempuan.
  • Dukung kerja-kerja forum penyedia layanan yang memperjuangkan hak perempuan: bagikan informasi, bantu donasi, dan lain-lain.

Sumber: Amnesty International, Komnas Perempuan, Yayasan Pulih, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Punya saran untuk Amnestypedia?

Yuk bantu dukung keadilan bersama!