Apa itu Pelanggaran HAM Berat?

Bulan September dikenal sebagai bulan kelam bagi HAM di Indonesia. Berbagai tragedi terjadi silih berganti, seperti peristiwa 30 September 1965, pembunuhan Munir, dan lain-lain. Hampir di semua peristiwa tersebut, korban dan keluarga masih belum menemukan titik terang walau sudah menunggu keadilan selama puluhan tahun. 

Tragedi yang mereka alami tersebut dikenal sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu serangan terhadap hak asasi manusia secara sistematis atau meluas yang menyebabkan korban jiwa, dan menimbulkan kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya.

Apa aja yang termasuk pelanggaran HAM berat?

Menurut standar HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the International Criminal Court (ICC). 

Empat kategori pelanggaran HAM berat tersebut yaitu:

  • Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada warga sipil, yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Bentuk perbuatannya dapat berupa:
    • pembunuhan di luar hukum;
    • penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; 
    • penghilangan paksa; 
    • perbudakan dan praktik serupa perbudakan; 
    • deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; 
    • perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot setara;
    • dan diskriminasi sistematis, khususnya berdasarkan ras, etnis, atau jenis kelamin, melalui aturan hukum dan kebijakan yang bertujuan mempertahankan subordinasi suatu kelompok.
  • Genosida, yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut. Bentuknya dapat berupa:
    • pembunuhan anggota kelompok; 
    • penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;
    • sengaja menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan;
    • mencegah kelahiran;
    • dan memindahkan anak-anak secara paksa.
  • Kejahatan perang, yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun sipil. Bentuknya dapat berupa:
    • menyerang warga sipil dan tenaga medis;
    • perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang setara;
    • menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
  • Agresi, yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap target serangan.

Dalam aturan hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menetapkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat.

Apa aja aturan yang melindungi kita dari pelanggaran HAM berat?

Khusus untuk perkara pelanggaran HAM berat, ada Statuta Roma, perjanjian internasional di bawah wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Sayangnya, sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.

Di tingkat nasional, ada Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur perlindungan HAM dan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur pengadilan bagi kasus pelanggaran HAM. 

Ada juga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai undang-undang lainnya yang secara spesifik melindungi kita dari berbagai bentuk kejahatan yang bisa mengancam hak asasi kita.

Apa aja kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum selesai?

Setidaknya 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum mendapat keadilan. Berkas dari sebagian besar kasus tersebut selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dalam 18 tahun terakhir karena dianggap kurang bukti. Ini beberapa di antaranya:

  • Peristiwa 1965 – 1966
    Setelah upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965, militer Indonesia – yang dipimpin Mayor Jenderal Suharto – melancarkan serangan sistematis terhadap tersangka komunis dan sejumlah kelompok kiri lainnya. Pihak berwenang Indonesia menelantarkan jutaan korban dan anggota keluarga korban peristiwa 1965 dan 1966 mengalami salah satu pembunuhan massal terburuk.
  • Tragedi Tanjung Priok (1984)
    Seorang tentara memasuki Masjid As-Sa’adah di Tanjung Priok tanpa melepas sepatu untuk menghapus brosur dan spanduk yang berisi kritik kepada pemerintah. Akibatnya, bentrokan terjadi antar warga dan aparat, dan empat orang warga ditahan. Saat warga beraksi mendesak pembebasan mereka yang ditahan, bentrok antara Jemaah As-Sa’adah dan aparat di Tanjung Priok menewaskan puluhan orang.

    Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. Namun para terdakwa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas tersebut juga menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan kepada
  • Penembakan Misterius 1982-1985
    Dalam peristiwa ini, terjadi pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban mencapai 10 ribu orang. Korban adalah mereka yang ditetapkan sebagai penjahat oleh pemerintah saat itu, maupun petani dan pegawai negeri sipil karena bernama sama dengan mereka yang dicatat sebagai penjahat.
  • Peristiwa Talangsari 1989
    Penyerbuan militer terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari, Lampung. Ratusan warga ditangkap, disiksa, ditahan, dan dituduh makar.
  • Peristiwa Geudong dan Pos Sattis Lain di Aceh 1989-1998
    Peristiwa ini terjadi saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer, ketika militer mengamankan wilayah sebagai reaksi atas berbagai insiden bersenjata antara militer, anggota Gerakan Aceh Merdeka, maupun warga sipil. Panglima ABRI menggelar operasi untuk memeriksa orang yang dianggap berhubungan atau mengetahui kelompok yang dianggap melakukan makar.
    Laporan Komnas HAM menyatakan, terjadi kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, perampasan  kemerdekaan  atau  perampasan  kebebasan  fisik  lain  secara  sewenang-wenang  dan  penghilangan  orang  secara  paksa. 
  • Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998
    Sejumlah mahasiswa dan aktivis dari berbagai organisasi hilang setelah menunjukkan sikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah alat teror negara melalui aparatur keamanan dan dilakukan di luar proses hukum.
  • Kerusuhan Mei 1998
    Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Akibat peristiwa ini, Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.
    Sepanjang kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Medan, dan Surakarta, terjadi penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pembunuhan, dan kekerasan seksual. Aparat keamanan mencoba mengendalikan keamanan dengan kekerasan. Para perusuh dihalau dengan rentetan senjata.
  • Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998 & 1999
    Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. 

    Peristiwa Semanggi I pada 11-13 November 1998 menewaskan 17 warga sipil dan melukai setidaknya 109 orang. Saat itu, masyarakat berdemonstrasi bersama mahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada momen Sidang Istimewa untuk mendesak penghapusan dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

    Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menewaskan 11 orang mahasiswa dan melukai 217 orang. Saat itu, mahasiswa memprotes pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dianggap memberi keleluasaan kepada tentara, yang diduga telah banyak melanggar HAM, untuk mengamankan negara dengan pendekatan militer.

    Berkas penyelidikan tiga kasus ini dijadikan satu oleh Komnas HAM. Ketiga tragedi dianggap bertautan satu sama lain dalam konteks kebijakan pemerintah menghadapi gelombang demonstrasi menuntut Reformasi. 

    Ada bukti awal yang cukup untuk menyatakan tiga kasus ini adalah pelanggaran HAM berat: terjadi pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik secara terencana, sistematis, dan meluas.
  • Peristiwa Simpang KKA 1999
    Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Pasukan militer menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe

    Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan akibat diduga ditembak aparat militer setidaknya 23 orang. Setidaknya 30 warga sipil juga jadi korban penyiksaan oleh aparat.
  • Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003
    Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua akibat terbunuhnya 5 anggota Brimob dan seorang warga sipil di PT Vatika Papuana Perkasa. Dalam peristiwa itu tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

    Kasus Wamena terjadi pada 4 April 2003 saat warga Papua sedang merayakan Paskah. Aparat melakukan penyisiran karena sebelumnya sekelompok masa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Saat penyerangan itu, dua anggota Kodim tewas. Dalam penyisiran ke 25 kampung, dilaporkan 9 orang tewas dan 38 orang luka berat.
  • Peristiwa Paniai 2014
    Peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Desember 2014. Warga Paniai ditembak aparat gabungan TNI dan Polri kala memprotes pemukulan yang diduga 11 anak Papua oleh personel militer di dekat markas militer dan polisi setempat.

    Keadaan memanas saat pengunjuk rasa mulai melemparkan batu dan kayu ke sekitar gedung markas militer dan polisi. Pasukan keamanan yang berjaga menembaki massa aksi dengan peluru tajam hingga menewaskan empat orang korban. Setidaknya 21 orang lainnya mengalami luka tusuk.

Apa aja hak korban pelanggaran HAM? 

  • Hak atas kebenaran

Negara wajib memberi informasi kepada para korban, keluarga korban, dan masyarakat umum tentang penyebab peristiwa pelanggaran HAM. Informasi ini harus mencakup alasan, situasi pelanggaran, kemajuan hasil investigasi dan proses hukum, serta identitas pelaku. Misalnya, dalam kasus penghilangan paksa, negara wajib menginformasikan keberadaan dan keadaan korban.

Hak atas kebenaran penting bagi korban serta keluarga korban pelanggaran HAM untuk memastikan akurasi fakta dan mencegah hilangnya bukti. Masyarakat juga memiliki hak atas informasi tentang sejarahnya sendiri sehingga mereka memahami dampak pelanggaran HAM. 

  • Hak untuk mengakses keadilan

Negara bertanggung jawab menjamin hak korban untuk mengakses keadilan dengan proses yang transparan, adil, dan tidak memihak. Negara harus melindungi korban dari gangguan terhadap privasi mereka dan memastikan mereka aman dari intimidasi dan pembalasan sebelum, selama, dan setelah proses pengusutan peristiwa pelanggaran HAM berat. Kepastian hukum penting untuk memutus rantai impunitas dan menjamin hak atas kebenaran dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.

  • Hak reparasi atas kerugian yang diderita

Negara wajib memenuhi hak atas reparasi bagi korban pelanggaran HAM dan kerugian yang diderita korban. Reparasi termasuk:

  • Restitusi, yaitu upaya mengembalikan korban ke situasi sebelum pelanggaran HAM berat terjadi.
  • Kompensasi, yaitu upaya mengembalikan kerusakan secara ekonomi.
  • Rehabilitasi, mencakup perawatan medis dan psikologis serta layanan hukum dan sosial.
  • Hak atas pemulihan, termasuk informasi yang relevan tentang mekanisme reparasi yang jelas

Negara wajib mengusahakan pengembalian situasi seperti sebelum pelanggaran HAM terjadi dengan bertanggung jawab atas kerugian seperti hilangnya kesempatan pekerjaan, pendidikan dan tunjangan bantuan sosial hingga bantuan psikologis.

Hak atas pemulihan termasuk langkah-langkah selain penggantian uang, seperti permintaan maaf kepada publik serta korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, termasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta yang benar.

Negara juga harus menginformasikan kepada masyarakat umum dan, khususnya, korban pelanggaran HAM berat, tentang hak dan pemulihan medis, psikologis, sosial, administrasi, dan semua layanan lainnya yang berhak diakses oleh korban.

Bagaimana cara mengadili suatu kasus pelanggaran HAM berat?

Penuntasan kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh, termasuk pemenuhan hak korban dan penghukuman pelaku secara efektif melalui pengadilan HAM sangat penting. Kalau kasus pelanggaran HAM tidak diusut tuntas, pelanggaran HAM serupa akan terus berulang.

Di Indonesia, mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat diatur dalam Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM akan melakukan penyelidikan dan menentukan unsur pelanggaran HAM dalam suatu kasus. 

Lalu, Jaksa Agung selaku penyidik menentukan tersangka, membuat tuntutan, dan memproses kasus di pengadilan. Kasus kemudian disidang di pengadilan HAM oleh 5 orang Majelis Hakim, 3 di antaranya dari tim Ad Hoc. Tim Ad Hoc dibentuk atas usul DPR dan disahkan melalui Keputusan Presiden. 

Tapi, pada praktiknya, pengadilan HAM belum dilaksanakan secara efektif di Indonesia. Misalnya, pada kasus Tanjung Priok (1984), pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. Tapi, para terdakwa melakukan banding ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas itu juga menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan kepada korban.

Di lingkup internasional, jika terjadi pelanggaran HAM, PBB telah mengakomodir beberapa mekanisme pelaporan:

  1. Prosedur pelaporan sesuai perjanjian internasional:
  • Komunikasi individu: seorang korban yang terdampak langsung oleh pelanggaran HAM berat dapat langsung mengadukan ke badan-badan perjanjian di bawah Dewan HAM PBB. Negara perlu meratifikasi perjanjian internasional terkait pelanggaran yang dialami orang tersebut.
  • Keluhan negara-ke-negara: Dilakukan oleh negara pihak terhadap negara pihak lainnya yang dianggap melanggar kewajiban perjanjian. Negara yang diadukan wajib memberi tanggapan.
  • Pertanyaan: Komite dapat menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara pihak perjanjian. Temuan dikirimkan ke negara tersebut beserta komentar dan rekomendasi. Negara pihak diminta menyampaikan pendapat tentang temuan komite dalam waktu paling lambat enam bulan setelah menerima temuan, untuk menginformasikan tindakan yang diambil untuk menanggapi penyelidikan tersebut. 
  1. Prosedur pengaduan di luar sistem badan perjanjian – melalui Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia dan Prosedur Pengaduan Dewan Hak Asasi Manusia

Khusus untuk empat kejahatan berat seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). 

Sayangnya, meski Indonesia kerap gagal menuntaskan pelanggaran HAM dan membawa semua aktor pelanggaran HAM untuk diadili di dalam negeri, Indonesia juga belum meratifikasi Statuta Roma.

Tapi, sebenarnya ada situasi terbatas ketika ICC memiliki kewenangan mengadili kejahatan yang dilakukan oleh warga negara dari negara-negara yang belum bergabung dengan Statuta Roma. Ini termasuk saat seorang warga negara dari negara non-anggota perjanjian melakukan pelanggaran HAM berat di wilayah negara anggota ICC.

Kenapa sulit menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat?

Kurangnya komitmen pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum di beberapa negara yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik sarat kepentingan menjadi hambatan-hambatan utama penuntasan kasus pelanggaran HAM. 

Relasi kuasa pihak-pihak yang berkuasa seringkali lebih kuat hingga menempatkan kepentingan politik di atas kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM terus terjadi, dan semakin banyak korban menderita.

Di Indonesia, bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM (penyelidik) dan Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Kejaksaan Agung kerap menyebut kurangnya bukti dalam penyelidikan, bahkan hilangnya dokumen investigasi, sebagai faktor yang menghambat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Selain itu, beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat malah menjadi pejabat pemerintah. Padahal, pelaku atau terduga pelaku tidak seharusnya terlibat aktif dalam menentukan kebijakan publik. Misalnya, jika mereka memanipulasi penegakan hukum untuk menguntungkan mereka atau membuat mereka bisa lolos dari hukuman, mereka jadi sulit dihukum. 

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah pelanggaran HAM berat kembali terjadi?

Kolaborasi internasional: 

  • Memperkuat mekanisme internasional untuk mencegah dan menuntaskan pelanggaran HAM berat secara transparan dan efektif
  • Membantu mendampingi negara anggota untuk menghentikan pelanggaran HAM di negaranya dengan persetujuan dari negara tersebut
  • Mendorong pengarusutamaan kebijakan, aturan, dan praktik penegakan hukum nasional yang transparan guna mencegah dan mengurangi pelanggaran HAM

Pemerintah: 

  • Menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM melalui pembuatan kebijakan, legislasi, regulasi, dan sistem pengadilan yang memadai dan efektif untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM
  • Menghapus atau merevisi aturan hukum yang berpotensi melanggar HAM
  • Mereformasi sistem penegakan hukum agar berorientasi HAM

Individu/masyarakat sipil: 

  • Meminta pertanggungjawaban pemerintah atas penuntasan kasus pelanggaran HAM berat agar keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai
  • Membantu dan mendukung korban dan keluarga korban melalui pesan solidaritas, aksi, dan lainnya.