Apa itu Kekerasan Polisi?

Kekerasan polisi kerap menjadi polemik di masyarakat. Satu sisi, sebagian masyarakat merasa terancam dengan penggunaan kekuatan berlebihan. Tetapi ada juga yang beranggapan polisi perlu bertindak “tegas” saat menertibkan suasana keruh, misalnya kala ada demonstrasi.

Untuk memahami isu ini lebih jauh, mari kita simak apa yang dimaksud dengan kekerasan polisi, dan sejauh mana penggunaannya bisa melanggar HAM. 

Simak selengkapnya di bawah ini, yuk!

Apa itu penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat?

Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan polisi.

Penggunaan kekuatan berlebihan mencakup pemukulan, penyiksaan dan perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia, pelecehan, penggunaan alat anti huru-hara secara sembarangan dan tidak proporsional dengan ancaman kekerasan saat mengamankan aksi demo, hingga pembunuhan di luar hukum. 

Kenapa penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat adalah isu HAM?

Jika polisi menggunakan kekuatan berlebihan, orang-orang bisa menjadi korban penyiksaan, perlakuan buruk, bahkan kehilangan nyawa. 

Misalnya, George Floyd tewas akibat kekerasan berlebihan yang diduga berdasarkan diskriminasi rasial polisi AS. 

Di Indonesia, sebanyak 402 orang dikabarkan terluka akibat kekerasan oleh polisi saat aksi #ReformasiDikorupsi di berbagai provinsi di Indonesia.

Apa penyebab kekerasan aparat?

Di negara yang punya catatan kekerasan polisi yang tinggi, ada beberapa faktor penyebab kekerasan aparat, di antaranya peraturan nasional yang tidak memadai, diskriminasi yang mengakar, situasi yang mengancam keamanan seperti kerusuhan atau konflik, dan impunitas.

Pemerintah yang tidak menghormati hak asasi manusia lainnya seperti kebebasan berekspresi juga cenderung menghasilkan perilaku kekerasan aparat saat mengamankan aksi protes damai.

Impunitas atau tidak adanya penegakan hukum atas pembunuhan oleh polisi seringkali berujung pada kekerasan mematikan yang terus berulang. 

Aturan apa saja yang melindungi kita dari kekerasan aparat?

Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup yang tak boleh dirampas. 

Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Segala bentuk penyiksaan telah secara tegas dilarang dalam berbagai instrumen perlindungan HAM, contohnya dalam Pasal 7 ICCPR.

Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO) juga mengatur prinsip yang perlu diikuti aparat penegak hukum dalam menggunakan kekuatan: asas legalitas, keperluan, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Larangan penyiksaan juga sudah diatur dalam konstitusi Indonesia. Hak untuk hidup dan untuk tidak disiksa dilindungi dalam Pasal 28I UUD 1945 serta Pasal 4 dan Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mewajibkan setiap anggota polisi untuk menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip HAM. 

Gimana situasi kekerasan aparat saat ini?

Di AS, 1.126 orang dikabarkan dibunuh oleh polisi pada 2020. Pada 2019, polisi di Rio de Janeiro membunuh 1.810 orang, atau rata-rata 5 orang dibunuh setiap harinya. 

Di Indonesia, berdasarkan catatan Amnesty, polisi adalah terduga pelaku serangan terhadap pembela HAM terbanyak sepanjang 2021. Dari Januari hingga Juni 2021, anggota polisi diduga telah melakukan aksi kekerasan dan intimidasi terhadap pembela HAM di tujuh kasus dan mengakibatkan delapan korban.

Sepanjang Juni 2020 – Juni 2021 juga ada setidaknya 17 kasus penyiksaan yang diduga melibatkan anggota polisi dengan 30 korban.

Data pemantauan Amnesty International juga mencatat adanya setidaknya ada 14 kasus dugaan pembubaran aksi, penangkapan dan kekerasan terhadap 108 mahasiswa Papua yang menyampaikan pendapatnya, baik di wilayah Papua (lima kasus, 17 korban) maupun di luar Papua. Mereka hanya menyuarakan ketidakadilan yang selama ini mereka alami, termasuk mengenai kekayaan alam tempat tinggal mereka yang dieksploitasi.

Gimana seharusnya aparat mengamankan protes?

Kekerasan aparat dalam pengamanan demonstrasi adalah bentuk dari pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. 

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah. 

Dalam Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) pasal 7 ayat (1), polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa.

Ini 5 hal yang harus dilakukan polisi saat mengamankan aksi:

1. Berkomunikasi: komunikasi langsung harus menjadi pendekatan pengamanan utama. Konflik harus dicegah melalui dialog dan diselesaikan melalui de-eskalasi. Tak ada percakapan baik yang dimulai dengan gas air mata.

2. Tetap netral: Polisi, sebagai individu bebas untuk setuju atau tidak setuju dengan pesan para pengunjuk rasa. Tapi, saat mengamankan aksi, mereka harus melepaskan pendapat pribadi mereka.

3. Asumsikan semua aksi adalah damai: Polisi pada umumnya harus menganggap protes akan berjalan damai. Mengasosiasikan aksi dengan kekerasan dan muncul mengendarai kendaraan militer dapat mengintimidasi peserta aksi damai.

4. Memungkinkan aksi untuk dilihat dan didengar: Tak hanya diminta untuk tidak membungkam protes, polisi juga seharusnya bertugas memungkinkan pengunjuk rasa menjangkau audiens mereka.

5. Mediasi konflik: Jika ada kelompok aksi yang bertentangan, polisi bertugas mencegah kekerasan oleh pihak manapun, sambil tetap mengizinkan masing-masing pihak mengekspresikan pendapatnya secara damai.

Tiga catatan penting tentang penggunaan alat pengendali huru-hara oleh polisi saat mengamankan protes:

1. Gas air mata atau meriam air untuk membubarkan protes hanya boleh digunakan jika peserta dapat meninggalkan lokasi protes, dan saat cara-cara yang lebih spesifik menargetkan pelaku kekerasan gagal menahan kekerasan.

2. Sebelum menggunakannya, polisi harus memberitahukan massa aksi agar bersiap meninggalkan lokasi dan memberi waktu yang cukup untuk pergi. Senjata berbahan kimia, seperti gas air mata, jika digunakan tidak sesuai prosedur bisa menyebabkan cedera serius dan bahkan kematian.

3. JANGAN PERNAH gunakan senjata api untuk membubarkan kerumunan.

Kalau ada peserta aksi yang memprovokasi kekerasan, apakah polisi boleh gunakan kekerasan?

Dalam Perkapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (No.1/2009),  senjata api hanya boleh digunakan dalam situasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan mengacu ke prinsip legalitas (semua tindakan kepolisian harus sesuai hukum yang berlaku), kebutuhan (menggunakan kekuatan hanya jika diperlukan dan mendesak), proporsionalitas (ancaman yang dihadapi dan kekuatan yang digunakan harus seimbang), kewajaran (mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat), dan mengutamakan pencegahan.

Jika ada peserta aksi yang menginisiasi kerusuhan, saat polisi menangkap pun, yang tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, yaitu tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan diberi perlakuan tak manusiawi lainnya.

Apa mekanisme penangkapan orang yang dianggap bersalah?

Polisi harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan jika mereka yang diduga bersalah ditangkap, polisi harus melalui tahapan penggunaan kekuatan secara proporsional dulu sesuai kebutuhan, bukan langsung pakai senjata api apalagi sampai menyebabkan kematian.

Penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan saat menangkap individu yang melakukan serangan yang sangat membahayakan orang lain dan aparat. 

Polisi harus mengidentifikasi diri mereka sebagai pihak berwajib yang membawa senjata api dan memberi peringatan bahwa mereka akan menggunakan senjata tersebut. Polisi juga harus memberi waktu kepada individu yang ditarget untuk mematuhi peringatan tersebut.

Senjata api hanya dapat ditembakkan ke pelaku jika tindakan yang tidak ekstrim seperti pemberitahuan lisan dan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi telah dilakukan dan gagal. Jika harus melumpuhkan pelaku yang berniat kabur atau menyerang orang lain, tembakan juga dianjurkan menarget bagian tubuh yang tidak menimbulkan akibat fatal.

Langkah-langkah ini hanya bisa dilewatkan jika target membahayakan nyawa aparat atau orang lain atau pada situasi saat peringatan itu tidak tepat untuk digunakan (misalnya saat polisi melakukan operasi tersembunyi yang membutuhkan elemen kejutan) atau situasi saat peringatan itu akan sia-sia (misalnya dalam serangan bunuh diri atau saat menghadapi orang yang mabuk atau sakit jiwa, kalau kondisi tersebut membuat orang itu tidak mau atau tidak bisa mengerti peringatan tersebut).

Selain itu, penahanan tanpa akses kepada orang lain, atau penahanan incommunicado, dapat memfasilitasi praktik penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya dan penghilangan paksa. Bahkan dalam hal tertentu, penahanan incommunicado sendiri sudah merupakan bentuk penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

Di masa pandemi, orang tetap turun ke jalan dan berdemonstrasi. Bukannya wajar polisi membubarkan mereka, agar tak ada penyebaran virus?

Demonstrasi sebagai salah satu bentuk kebebasan berkumpul sebenarnya bisa dibatasi untuk melindungi kesehatan publik. Tapi, orang-orang turun ke jalan untuk memperjuangkan hak mereka, seperti hak atas pekerjaan yang aman, adil, dan layak, atau mendesak perlindungan hak perempuan dari kekerasan berbasis gender, karena hak mereka terancam atau telah dilanggar, hingga mereka harus mengorbankan kesehatan mereka.

Seperangkat hak, misalnya hak sipil dan politik, tidak bisa dipisahkan dan saling bergantung. Kemajuan dalam hak sipil dan politik mempengaruhi pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Misalnya, kalau masyarakat memperjuangkan hak atas jaminan sosial selama pandemi melalui kebebasan berekspresi, hak tersebut nantinya juga berdampak ke hak atas kesehatan. Melanggar salah satu hak bisa berdampak buruk pada pemenuhan hak lainnya.

Alih-alih membubarkan massa aksi dengan menggunakan kekerasan, kapanpun demonstrasi terjadi, polisi tidak boleh menggunakan kekuatan berlebihan dan sewenang-wenang.

Gimana kalau polisi jadi korban penyerangan?

Negara, termasuk aparatnya, wajib melindungi HAM warganya sebagai pemangku kebijakan (duty bearer) atas pemenuhan HAM. Masyarakat adalah pemegang hak (rights holder).

Kalau ada masyarakat yang menyerang aparat, polisi harus menggunakan prosedur hukum yang transparan dan menghormati HAM untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Apa yang harus dilakukan kalau polisi melakukan tindak pidana?

Tak seorang pun berada di atas hukum, terutama mereka yang punya kewajiban menegakkannya. Semua kasus penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi harus diselidiki secara menyeluruh, independen, tidak memihak dan transparan dan jika bukti menunjukkan bahwa pembunuhan itu melanggar hukum, petugas polisi yang bertanggung jawab harus dituntut secara pidana.

Di Indonesia, jika polisi melakukan tindakan kriminal seperti korupsi, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan, polisi tersebut telah melanggar disiplin dan kode etik profesi polisi sekaligus melakukan tindak pidana. Berdasarkan bukti yang cukup, tersangka harus diproses secara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik lembaga. 

Proses peradilan pidana bagi anggota Polri dilakukan di peradilan umum. Jika terbukti bersalah, pelaku tidak hanya dipenjara, tetapi juga bisa diberhentikan tidak dengan hormat.

Apa yang bisa dilakukan untuk cegah aparat menggunakan kekuatan berlebihan?

Setiap negara punya peraturan nasionalnya sendiri dan tidak ada cara universal yang bisa digunakan secara spesifik untuk situasi di setiap negara.

Amnesty International membuat pedoman yang bisa menjadi panduan bagi polisi untuk menghentikan praktik kekerasan berlebihan. Beberapa rekomendasi utamanya adalah:

–  Atur mekanisme penggunaan kekuatan dan penggunaan senjata api oleh polisi secara memadai di dalam undang-undang.

–  Prinsip ‘melindungi kehidupan’ dan menghormati HAM harus menjadi landasan utama hukum-kekuatan hanya bisa digunakan untuk melindungi dari ancaman kematian atau cedera serius yang bisa terjadi jika ada serangan agresif dari warga sipil.

–  Dalam aksi protes, polisi harus memfasilitasi penyampaian pendapat, tanpa kekerasan. 

–  Segala bentuk penyiksaan oleh polisi, termasuk terhadap tahanan, harus dilarang dan diatur dalam undang-undang.

–    Jika penggunaan kekuatan oleh polisi menyebabkan cedera atau kematian, harus ada penyelidikan yang cepat, menyeluruh, independen, dan tidak memihak. Mereka yang bertanggung jawab harus diadili di pengadilan dengan peradilan yang adil.