Surat Terbuka: Proses Pembebasan Lahan di Desa Wadas Berpotensi Melanggar HAM 

Jakarta, 23 Mei 2023 

Kepada Yth 

Bapak Hadi Tjahjanto 

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) 

Jalan Sisingamangaraja No. 2, Kebayoran Baru,  

Jakarta Selatan, DKI Jakarta (12120) 

Perihal: Proses Pembebasan Lahan di Desa Wadas Berpotensi Melanggar HAM 

Dengan hormat, 

Melalui surat ini, Amnesty International Indonesia menyampaikan keprihatinan atas tekanan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap masyarakat di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, yang berupaya mempertahankan hak atas tanah mereka di tengah rencana pemerintah untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi penambangan batu andesit untuk mendukung proyek pembangunan Bendungan Bener. 

Berdasarkan informasi yang kami terima dari pendamping warga, LBH Yogyakarta, pemerintah daerah telah mengambil jalan pintas untuk menghadapi warga yang menyatakan tidak setuju terhadap rencana penambangan. Dalam surat tertanggal 10 Maret 2023, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo meminta Kepala Desa Wadas untuk mengimbau warga yang masih menolak untuk segera menyerahkan berkas tanah mereka untuk keperluan inventarisasi dan identifikasi. Jika tidak, pemerintah akan menerapkan mekanisme konsinyasi, yaitu penitipan uang ganti rugi melalui pengadilan. Mekanisme konsinyasi ini akan membuat warga yang menolak kehilangan hak atas tanah mereka secara hukum. 

Ancaman konsinyasi  terus bergulir di tengah upaya petugas untuk melakukan pengukuran tanah di wilayah tersebut. Bahkan, pengukuran dilaporkan dilakukan di lahan warga yang mempertahankan tanah kepemilikan mereka. Salah satu keluarga yang melakukan penolakan menyatakan bahwa mereka dipaksa untuk menyerahkan berkas tanah mereka setelah petugas melakukan pengukuran tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Mereka juga tidak mendapatkan informasi bahwa lahan mereka masuk ke dalam wilayah penetapan lokasi penambangan. 

Amnesty International Indonesia menilai bahwa ancaman konsinyasi merupakan bentuk tekanan terhadap warga yang  berupaya mempertahankan hak untuk tetap hidup di wilayah yang telah mereka tempati secara turun temurun.  

Konsinyasi tersebut juga tidak sesuai dengan Pasal 89 Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, peraturan pelaksana dari UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebut bahwa konsinyasi dapat dilakukan diantaranya jika pemilik tahan tidak diketahui keberadaannya atau jika terdapat ketidaksepakatan besaran ganti rugi. Dalam kasus di Desa Wadas, penolakan tidak didasarkan pada nominal uang ganti rugi yang ditawarkan, melainkan kepada dampak penambangan terhadap lingkungan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka. 

Sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional, warga Desa Wadas yang menolak memberikan tanah mereka untuk dijadikan lokasi penambangan memiliki hak untuk memberikan, atau tidak memberikan persetujuan yang didasarkan pada informasi di awal dan tanpa paksaan atas rencana penambangan. 

Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12/2005, menjamin hak dan kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lokal. Komentar Umum No. 34 tentang Pasal 19 ICCPR juga menjamin hak warga untuk menerima informasi dari badan publik, termasuk lembaga pemerintah. 

Selain itu, Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan menekankan bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam melalui konsultasi dalam rencana pembangunan yang berdampak terhadap mereka, dengan berdasarkan pada partisipasi yang aktif, bebas, dan bermakna. Prinsip mendasar dalam konsultasi yang menyeluruh dan partisipasi yang berdasarkan pemberian informasi di awal untuk masyarakat yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan juga diatur di dalam Pasal 2 (3) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani dan Kelompok Masyarakat Lainnya yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP). 

Pasal 9 UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum juga telah menegaskan prinsip penting bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. 

Sehubungan dengan hal di atas, kami mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk: 

  1. Tidak memberlakukan konsinyasi dalam kasus Wadas yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 
  1. Menghentikan segala bentuk tekanan terhadap warga Desa Wadas yang merupakan pelanggaran hak atas rasa aman; 
  1. Memastikan bahwa warga Desa Wadas dilibatkan secara bermakna, aktif, dan transparan di dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pembangunan yang dilakukan di wilayah tempat tinggal mereka; 
  1. Menjamin bahwa kebijakan pembangunan apapun tidak akan merugikan hak asasi warga, termasuk hak atas perumahan yang layak, hak atas penghidupan yang layak, serta hak atas lingkungan yang bersih dan sehat 

Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. 

Hormat kami, 

Wirya Adiwena 

Deputi Direktur 

Tembusan: 

  1. Gubernur Jawa Tengah  
  1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo 
  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
  1. Pimpinan Komisi II DPR RI