Surat Terbuka: Perihal : Pentingnya pembahasan menyeluruh RKUHP

Jakarta, 7 Juli 2022

Kepada Yth. 

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 

Dr. Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.Sos. 

Sekretariat Ketua DPR RI, Gedung Nusantara III 

Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270 

Perihal : Pentingnya pembahasan menyeluruh Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RKUHP) 

Dengan hormat, 

Melalui surat terbuka ini, perkenankan Amnesty International untuk menyampaikan dua permasalahan terkait dengan aspek formil dari proses pembahasan dan aspek materiil dari substansi RKUHP yang saat ini tengah berlangsung pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kami meyakini bahwa proses pembahasan undang-undang haruslah bersifat terbuka dan melibatkan masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan hukum yang berlaku. Kami juga percaya bahwa materi hukum pidana yang diatur di Indonesia haruslah menghormati hak asasi manusia. 

Persoalan pertama, dalam aspek formil, pembahasan RKUHP tampaknya belum mengikuti kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Amnesty International menyayangkan proses perumusan RKUHP oleh pemerintah yang tidak membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat. Salah satu petunjuk minimnya partisipasi publik yang bermakna adalah tidak dibukanya draf resmi yang terbaru dari RKUHP untuk bisa dipelajari dan mendapatkan masukan dari masyarakat saat dalam proses perumusan oleh pemerintah. 

Sebelumnya pada tanggal 18 September 2019, RKUHP telah melewati pembahasan tingkat I di mana DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui untuk mengesahkan RUU ini. Namun, setelah mendapat kritik dan penolakan massal dari masyarakat, utamanya kalangan mahasiswa dan pegiat masyarakat sipil, maka pada tanggal 20 September 2019, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa RKUHP membutuhkan pendalaman lebih lanjut. 

Tanpa pelibatan masyarakat yang bermakna, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan 12 kali sosialisasi RKUHP di sepanjang tahun 2021. Lalu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI pada tanggal 25 Mei 2022, pemerintah secara pihak menegaskan membatasi pembahasan 14 pasal di dalam RUU KUHP yang dianggap bermasalah dan perlu dikonsultasikan dengan kelompok masyarakat sipil. 

Persoalan kedua, dalam aspek materiil, kami menilai substansi RKUHP juga memiliki banyak pasal bermasalah. Kami menilai ada lebih dari 14 isu krusial di dalam RKUHP, selain yang telah dipaparkan oleh pemerintah ketika bertemu dengan Komisi III DPR RI. Di dalam isu bermasalah yang diusulkan pemerintah sendiri, terdapat beberapa pasal yang menyangkut hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang tidak dibahas secara khusus, padahal pasal-pasal tersebut berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal tersebut di antaranya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218, 219, dan 220), pasal penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240), pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan 

lembaga negara (Pasal 351 dan 352), pasal yang mengatur ancaman pidana berkaitan dengan penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi (Pasal 256), pasal penyebaran berita bohong (Pasal 263), hingga pasal terkait makar (Pasal 191-196). 

Hal lain seperti teknis penyesuaian dalam bentuk kodifikasi terhadap tindak pidana di luar KUHP, antara lain keharusan adanya harmonisasi dengan UU ITE, UU TPKS, UU Pers juga belum diatur secara komprehensif. 

Kami memandang, pemerintah dan DPR sebagai tim perumus RKUHP seharusnya membuka pembahasan secara menyeluruh dan memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat sesuai arahan Presiden Jokowi pada tahun 2019 dan tidak mengesahkan RKUHP secara tergesa-gesa. Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) -yang telah disahkan melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005- mengatur bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan untuk ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. 

Pengesahan yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk mempelajari draf yang diusulkan pemerintah jelas bertentangan dengan prinsip keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Oleh karena itu, kami mendesak Ketua dan segenap pimpinan DPR RI untuk: 

1. Memastikan agar DPR RI membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dengan memberi masukan dan kritik atas draf resmi terbaru RKUHP; dan 

2. Memastikan agar DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP sebelum kepentingan masyarakat terpenuhi secara utuh di dalamnya. 

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. 

Hormat kami, 

Usman Hamid 

Direktur Eksekutif