Surat terbuka kepada Presiden RI: Usut pembungkaman kebebasan berekspresi saat KTT G20 di Indonesia

Kepada Yth.
Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18, Kota Jakarta Pusat
DKI Jakarta, Indonesia (10110)

Dengan hormat,

Melalui surat ini, Amnesty International menyesalkan terjadinya rangkaian dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, jelang dan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusut seluruh dugaan pelanggaran HAM yang terkait penyelenggaraan KTT G20 di Bali.

Berdasarkan informasi kredibel yang kami terima, rangkaian dugaan pelanggaran HAM terjadi pada insiden berikut ini:

  1. Pada 8 November 2022, anggota tim pesepeda Greenpeace Indonesia yang mengkampanyekan krisis iklim jelang KTT G20 mengalami intimidasi dan teror dalam perjalanan menuju Bali. Menurut informasi yang Amnesty International terima, aparat keamanan diduga memantau pergerakan dan aktivitas tim pesepeda Greenpeace Indonesia tanpa landasan hukum dan tujuan yang jelas, dan secara berlebihan. Sekelompok masyarakat lokal di Probolinggo juga memaksa tim pesepeda Greenpeace Indonesia untuk membuat surat pernyataan yang menjelaskan bahwa Greenpeace Indonesia tidak akan melakukan aktivitas kampanye apapun selama KTT G20 berlangsung.
  2. Pada 12 November 2022, sekelompok orang yang diduga terdiri dari elemen aparat keamanan dan petugas desa membubarkan paksa rapat internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di sebuah villa di Sanur, Bali, dengan alasan kebijakan daerah yang membatasi kegiatan publik menjelang KTT G20. Sekelompok orang tersebut diduga berupaya memeriksa ponsel dan laptop peserta rapat tanpa surat perintah penggeledahan resmi. Beberapa anggota YLBHI sempat tidak diperbolehkan keluar villa dan mobil yang digunakan YLBHI untuk meninggalkan villa dibuntuti oleh beberapa pengendara sepeda motor.
  3. Pada 14 November 2022, Greenpeace memproyeksikan tulisan ‘No Energy Transition Without Democracy’ (Tidak Ada Transisi Energi Tanpa Demokrasi) ke sebuah tebing di pantai Melasti, Bali, untuk mendesak para kepala negara yang menghadiri KTT G20 meningkatkan komitmen mereka menangani krisis iklim. Pada 16 November 2022, seorang mahasiswa yang mengunggah pesan dukungan terhadap kampanye Greenpeace tersebut mengalami serangan digital berupa penyebaran informasi pribadi tanpa persetujuan (doxing).
  4. Di hari yang sama, sekelompok orang yang diduga terdiri dari kelompok masyarakat adat dan aparat keamanan mengintimidasi dan menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam menanggapi aksi damai menolak KTT G20 yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali. Seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai ketua adat mengancam akan memobilisasi masyarakat setempat jika mahasiswa tidak menghentikan aksi. Setelah itu, beberapa orang merebut paksa atribut aksi dari mahasiswa dan menyerang peserta aksi damai.
  5. Aparat keamanan juga menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam merespons aksi serupa oleh mahasiswa BEM se-Kota Jayapura, Papua, dengan memasuki kompleks kampus, menembakkan gas air mata, memukul, dan menendang. Setidaknya sebanyak tujuh mahasiswa dikabarkan ditangkap dan ditahan, dan belasan lainnya mengalami luka-luka hingga surat ini ditulis.

Sebagai negara pihak dalam berbagai instrumen HAM internasional, pemerintah Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Sebagai Negara Pihak Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), pemerintah Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi  hak ataskebebasan berekspresi sebagaimana termaktub di Pasal 19 ICCPR, kebebasan berkumpul secara damai di Pasal 21 ICCPR, dan kebebasan berserikat di Pasal 22 ICCPR. Pembatasan yang sah terhadap kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai hanya dapat dilakukan jika berlandaskan pada undang-undang yang dirumuskan dengan memenuhi aspek-aspek partisipasi bermakna, memiliki tujuan yang jelas dan perlu, serta tidak berlebihan (Prinsip-prinsip Siracusa).

Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah menjamin perlindungan atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, di antaranya pada Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945. Kepolisian juga memiliki beberapa peraturan yang mengakui dan melindungi HAM, terutama kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul. Misalnya, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mewajibkan polisi untuk melindungi HAM dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah. Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa melarang polisi bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa.

Atas dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap HAM di atas, Amnesty International mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan kepada publik bahwa terdapat dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap hak kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai jelang dan saat KTT G20. Presiden Joko Widodo juga harus memastikan agar penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM dilaksanakan dengan segera, secara efektif, independen, dan imparsial, dan menjamin adanya tuntutan hukum terhadap para pelaku pada pengadilan sipil jika ada bukti-bukti yang layak dan cukup dalam persidangan yang memenuhi standar-standar peradilan yang adil tanpa adanya penerapan hukuman mati.

Amnesty International juga mendesak Presiden Joko Widodo menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang efektif dan menyeluruh sesuai dengan standar-standar internasional. Presiden Joko Widodo juga harus meninjau penggunaan kekuatan dan senjata api oleh polisi dan aparat keamanan lainnya, termasuk taktik menghadapi kerumunan massa, penangkapan, dan penahanan, agar mematuhi standar-standar internasional, seperti Kode Etik PBB bagi Petugas Penegak Hukum dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Wirya Adiwena
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia

Tembusan:

  1. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
  2. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia
  3. Kepala Kepolisian Republik Indonesia