Surat terbuka kepada Menteri Hukum dan HAM RI: Protes atas Deportasi Pengungsi Perempuan Somaliland

Jakarta, 14 Januari 2022

Kepada Yth.
Menteri Hukum dan HAM RI
Yasonna Hamonangan Laoly
Jl. H.R. Rasuna Said Kav No. 4-5, Kuningan,
Jakarta Selatan, Indonesia (12950)

Dengan hormat,

Melalui surat terbuka ini, izinkan Amnesty International Indonesia menyampaikan protes atas keputusan Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta yang mendeportasi seorang pengungsi perempuan berumur 35 tahun asal Somaliland yang sedang hamil dan dalam kondisi kesehatan yang lemah. Dalam pandangan Amnesty International, keputusan deportasi ini melanggar prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan hukum internasional yang seharusnya ditaati dan dihormati oleh pihak berwenang di Indonesia.

Menurut informasi yang diterima Amnesty, pengungsi tersebut tiba di Indonesia pada tanggal 9 Januari dini hari. Setelah tiba, dia ditahan di detensi imigrasi Bandara Soekarno-Hatta hingga dia dideportasi pada tanggal 13 Januari menggunakan pesawat Emirates Airline EK357 pada pukul 17.40 WIB. Pada masa penahanan dan deportasi, pengungsi tersebut sedang dalam keadaan hamil 36 minggu dan terlihat dalam kondisi tidak sehat serta mengalami pembengkakan di badannya.

Amnesty juga menerima laporan bahwa pengungsi perempuan ini tidak diberikan akses ke rumah sakit maupun bantuan medis yang layak oleh petugas imigrasi selama berada dalam penahanan. Padahal, dia sudah mulai merasakan nyeri persalinan dan sempat tidak lagi bisa merasakan pergerakan janinnya. Sejak masa penahanan hingga dia dideportasi, organisasi internasional yang memiliki mandat untuk mengurus pengungsi tidak diberikan akses oleh pihak yang berwenang untuk mendampingi dan bertemu langsung dengan pengungsi tersebut.

Pengungsi perempuan ini datang ke Indonesia menggunakan dokumen perjalanan resmi dan memiliki kartu identitas resmi sebagai pencari suaka di Indonesia yang terdaftar di UNHCR sejak tahun 2016. Dia adalah penyintas kekerasan seksual dan sebelumnya meninggalkan Somaliland karena kondisi domestik yang tidak stabil. Pada Desember 2021, pengungsi tersebut kembali ke Somaliland atas tekanan dari keluarganya. Di sana dia mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang membahayakan kondisi fisik, psikologis, dan kehamilannya, sehingga memutuskan untuk kembali mencari suaka ke Indonesia. Namun, pihak imigrasi kemudian mendeportasi pengungsi tersebut tanpa memperhatikan kondisi kesehatannya dan resiko yang akan dia hadapi ketika kembali ke Somaliland.

Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain untuk menghindari persekusi. Dalam pandangan Amnesty International, deportasi ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement. Sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional yang berlaku secara universal, prinsip tersebut mengatur bahwa tidak ada seorangpun yang boleh dikembalikan ke suatu negara di mana mereka akan dihadapkan dengan bahaya yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm). Prinsip ini harus diterapkan terhadap semua pengungsi dan pencari suaka yang kehidupan dan kesejahteraannya terancam di tempat asalnya.

Minimnya transparansi pihak berwajib dalam proses keputusan mendeportasi pengungsi ini juga sangat disayangkan, mengingat kondisi kesehatan pengungsi tersebut yang lemah. Dengan mendeportasi pengungsi perempuan ini, pihak berwenang di Indonesia telah menempatkan dia di dalam ancaman yang membahayakan nyawanya di tengah kerentanan fisik dan psikologis yang dia alami, terlebih lagi di tengah dugaan bahwa dia adalah korban kawin paksa dan kekerasan domestik.

Selain itu, tidak dipenuhinya hak pengungsi tersebut atas akses layanan kesehatan yang layak merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilindungi dalam hukum internasional. Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) — yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11/2005 — menjamin hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan yang dapat dicapai, baik jasmani maupun rohani. Secara spesifik, Pasal 12 (2) (d) menyebut bahwa setiap negara pihak dari konvensi tersebut harus mengambil langkah untuk menjamin layanan medis dan perhatian medis untuk semua orang di kondisi sakit.

Keputusan pihak berwenang Indonesia untuk mendeportasi pengungsi perempuan ini adalah tindakan yang tidak berdasar dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Hal ini juga merusak reputasi Indonesia dalam lingkup internasional, terlebih lagi dengan posisi Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022 dan Presidensi G20. Oleh karena itu, kami mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan kepada publik secara transparan terkait alasan deportasi pengungsi perempuan asal Somaliland yang sedang hamil dan dalam kondisi kesehatan yang lemah. Kami juga mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan hak asasi manusia pencari suaka dan pengungsi sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan hukum internasional, termasuk prinsip non-refoulement.


Hormat kami,


Wirya Adiwena
Deputi Direktur