Surat Terbuka: Keberatan atas Deportasi Pencari Suaka Myanmar

Jakarta, 23 Juni 2023 

Kepada Yth. 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 
Prof. Yasonna Hamonangan Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D  
Jl. H.R. Rasuna Said Kav No. 4-5, Kuningan,  
Jakarta Selatan, Indonesia (12950) 

Dengan hormat, 

Melalui surat ini, Amnesty International Indonesia menyampaikan keprihatinan atas adanya laporan bahwa pihak berwenang Republik Indonesia telah mendeportasi seorang warga negara Myanmar yang mencari suaka di Indonesia pada tanggal 21 Juni 2023. Kasus deportasi ini bertolak belakang dengan komitmen Indonesia sebagai Ketua ASEAN (The Association of South East Asia Nations) untuk memperjuangkan kemanusiaan dan mengakhiri kekerasan yang berdampak terhadap keamanan warga sipil di Myanmar,  terlebih lagi di tengah rencana Indonesia untuk kembali mencalonkan diri sebagai anggota Dewan HAM PBB 2024-2026 

Amnesty International menerima laporan yang kredibel bahwa pada hari Rabu, tanggal 21 Juni 2023 dini hari, seorang laki-laki berkewarganegaraan Myanmar dengan inisial LHT (35) tiba di Bandara Soekarno-Hatta menggunakan dokumen perjalanan resmi pada pukul 02:00 WIB. LHT kemudian menyatakan kepada petugas imigrasi bahwa ia berniat mencari suaka di Indonesia karena ketakutan mendasar atas persekusi berdasarkan pandangan politik yang berbeda di negaranya. Namun, otoritas imigrasi dikabarkan menolak masuk LHT tanpa alasan yang jelas. Amnesty International juga menerima laporan bahwa pihak yang berwenang tidak memberikan akses kepada organisasi internasional yang memiliki mandat untuk mengurus pengungsi dan pencari suaka untuk bertemu dengan individu tersebut dan melakukan verifikasi secara langsung. Pihak imigrasi kemudian mendeportasi LHT pada hari yang sama dengan penerbangan pada pukul 21:11 WIB.

Sebagai pencari suaka dari Myanmar, di mana kejahatan perang serta dugaan kejahatan kemanusiaan berlangsung di tengah impunitas sejak kudeta militer pada Februari 2021, nyawa dan keselamatan LHT akan berada dalam ancaman ketika dia kembali ke Myanmar. Data yang dihimpun oleh the Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) Burma menyebut bahwa pihak militer Myanmar telah mengeksekusi setidaknya empat orang, menangkap setidaknya 23.399 orang, termasuk aktivis pro-demokrasi dan warga sipil, di mana 19.056 diantaranya masih dalam penahanan.  

Amnesty Internasional juga menemukan bahwa militer Myanmar telah melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya terhadap orang-orang yang ditahan karena menentang kudeta militer.  

Dalam pandangan Amnesty International, keputusan untuk mendeportasi pencari suaka dari Myanmar tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan hukum internasional yang seharusnya ditaati dan dihormati oleh pihak berwenang di Indonesia. 

Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia melindungi dan menjamin hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain dengan tujuan untuk menghindari persekusi. Selain itu, deportasi dalam hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement, yaitu prinsip yang mengatur bahwa tidak seorangpun dapat dikembalikan ke suatu negara di mana mereka akan dihadapkan pada bahaya yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm). Prinsip ini merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional yang berlaku secara universal dan harus diterapkan terhadap semua pengungsi dan pencari suaka yang kehidupan dan kesejahteraannya terancam di tempat asalnya. 

Pasal 3 Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia juga menegaskan bahwa prinsip non-refoulement berlaku absolut di dalam situasi di mana seseorang berisiko mengalami penyiksaan.  

Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12/2005, Indonesia berkewajiban untuk menjamin hak setiap individu untuk aman dari bahaya yang tidak dapat dipulihkan jika mereka kembali ke negara asalnya dengan tidak melakukan ekstradisi ataupun deportasi, terlepas dari status kewarganegaraan mereka sebagai pengungsi dan pencari suaka, ataupun individu tanpa kewarganegaraan, seperti disebutkan dalam Komentar Umum Komite HAM PBB No. 31. 

Selain itu, keputusan deportasi ini juga mencederai wajah keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023. Dalam berbagai pernyataan resmi, Pemerintah Indonesia menyebut bahwa keamanan dan keselamatan rakyat Myanmar “harus menjadi prioritas utama” dalam penyelesaian dan penanganan krisis di Myanmar. Sebagai bentuk nyata komitmen tersebut, Indonesia sebagai Ketua ASEAN seharusnya memberi perlindungan kepada setiap pengungsi dan pencari suaka yang berupaya menyelamatkan diri dari ancaman kekerasan dan persekusi di Myanmar yang membahayakan, di antaranya, hak mereka untuk hidup serta hak untuk terbebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.  

Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Amnesty International menerima informasi yang kredibel bahwa sepanjang tahun 2021 hingga Juni 2023, terdapat setidaknya empat kasus refoulement pengungsi dan pencari suaka luar negeri dari Pakistan, Somaliland, Palestina, dan Turki oleh otoritas imigrasi Indonesia. Pemerintah Indonesia juga tidak pernah menyampaikan alasan jelas saat melakukan deportasi.   

Keberulangan kasus pendeportasian pengungsi dan pencari suaka menunjukkan inkonsistensi sikap pemerintah Indonesia yang selama ini menyatakan komitmen perlindungan hak asasi manusia dalam berbagai forum internasional. Bahkan, keberulangan kasus seperti ini menimbulkan pertanyaan terkait komitmen pemerintah Indonesia terhadap isu kemanusiaan.  

Untuk itu, kami memohon Pemerintah Indonesia untuk menghentikan segera praktik deportasi bagi para pengungsi dan pencari suaka yang dilakukan oleh otoritas imigrasi Indonesia. Mereka seharusnya membantu Pemerintah Indonesia dalam menunaikan tanggung jawabnya memberikan dan memastikan akses pengungsi dan pencari suaka luar negeri yang datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan dari ancaman persekusi di negara asalnya, termasuk dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang memiliki mandat untuk mengurus pengungsi dan pencari suaka. 

Kami juga meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan hak asasi manusia pengungsi dan pencari suaka sesuai dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan hukum internasional, termasuk prinsip non-refoulement. 

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. 

Hormat kami, 

Wirya Adiwena 

Deputi Direktur 


Tembusan: 

  1. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 
  1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia 
  1. Direktorat Jenderal Imigrasi 
  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia