SURAT TERBUKA: HENTIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI DI MYANMAR

Kepada Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Negara Anggotanya,

Ratusan orang telah terbunuh dan ribuan lainnya telah ditahan di Myanmar sejak kudeta militer tanggal 1 Februari 2021. Militer Myanmar tetap bergeming dari berbagai seruan komunitas internasional dan organisasi masyarakat sipil. Ada kekhawatiran bahwa negara itu akan menghadapi perang saudara besar-besaran dan rakyat Myanmar akan menghadapi lebih banyak pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan di bawah hukum internasional. Situasi di Myanmar bukan hanya masalah internal, ini adalah masalah HAM dan krisis kemanusiaan yang berdampak pada seluruh wilayah dan sekitarnya. Situasi di Myanmar sangat memprihatinkan dan membutuhkan tanggapan regional dan global yang cepat dan tegas. Kami yakin ASEAN memiliki peran penting untuk dimainkan dalam mengatasi krisis yang sedang berlangsung ini. Amnesty International mendesak ASEAN dan Negara anggotanya untuk bekerja sama dan segera mengambil tindakan untuk melindungi rakyat Myanmar. Setiap tindakan yang diambil ASEAN dan Negara Anggotanya setelah KTT darurat ini harus mematuhi hukum internasional, memenuhi komitmen internasional dan regional mereka, dan melindungi hak asasi manusia rakyat Myanmar.

Negara-negara Anggota ASEAN harus mematuhi Piagam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Piagam ASEAN), khususnya Pasal 1, yang mencantumkan di antara “Prinsip dan Tujuan” ASEAN tugas “untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental” (Pasal 1 (7)).

BUKAN MASALAH INTERNAL MYANMAR

Amnesty International menyadari bahwa salah satu prinsip inti dalam Piagam ASEAN adalah prinsip nir-intervensi dalam urusan internal Negara-negara Anggotanya. Namun, apa yang dihadapi ASEAN saat ini jelas bukan masalah internal Myanmar.

Militer Myanmar tampaknya beroperasi dengan asumsi impunitas total. Menurut pandangan Amnesty International, situasi saat ini adalah akibat langsung dari kegagalan yang lebih luas oleh komunitas internasional, termasuk ASEAN, untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas kejahatan di masa lalu. Jika tidak dihentikan, pelanggaran yang dilakukan oleh militer Myanmar akan mengakibatkan meningkatnya kekerasan dan konflik, memperburuk ketimpangan, kelaparan dan pemindahan massal, termasuk ke Negara Anggota ASEAN.

Kami juga mencatat bahwa cara Negara-negara Anggota ASEAN menggunakan prinsip nir-intervensi tidak sejalan dengan pemahaman yang telah lama dipegang tentang prinsip ini dalam komunitas internasional. Sekarang sudah menjadi prinsip yang mapan bahwa perlindungan dan perwujudan hak asasi manusia secara keseluruhan tidak semata-mata merupakan urusan internal negara, tetapi masyarakat internasional memiliki kepentingan, termasuk kepentingan hukum dalam realisasinya. Hal ini secara jelas dinyatakan dalam paragraf 4 dari Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA) 1993, yang menyatakan bahwa perlindungan semua hak asasi manusia merupakan perhatian yang sah dari komunitas internasional dan diuraikan lebih lanjut dalam paragraf 138 dan 139 dari Dokumen Hasil KTT Dunia 2005 yang menyatakan bahwa komunitas internasional, memiliki tanggung jawab untuk menggunakan cara-cara diplomatik, kemanusiaan dan damai lainnya yang sesuai untuk membantu melindungi penduduk dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG SEDANG TERJADI

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setidaknya 700 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta militer 1 Februari 2021[1]. Sementara banyak dari mereka yang terbunuh karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, ada juga contoh di mana para pengamat dibunuh oleh pasukan keamanan[2]. Puluhan anak juga telah dibunuh oleh pasukan keamanan termasuk seorang gadis berusia enam tahun yang ditembak mati di rumahnya.[3]

Pada 10 Maret 2021, setelah memeriksa lebih dari 50 klip dari tindakan kekerasan yang sedang berlangsung, Amnesty International menemukan bahwa militer Myanmar menggunakan taktik dan senjata yang semakin mematikan yang biasanya terlihat di medan perang, untuk melawan pengunjuk rasa damai dan pengamat di seluruh negeri. Otoritas militer Myanmar sebelumnya telah menyangkal bahwa mereka memiliki peran dalam pembunuhan orang-orang yang berpartisipasi dalam protes damai, dan mengklaim bahwa “ada orang-orang yang tidak bermoral [yang mungkin] ada di balik kasus-kasus ini.” Namun, Amnesty International telah mengkonfirmasi bahwa pasukan keamanan tampaknya menerapkan strategi sistematis yang terencana termasuk peningkatan penggunaan kekuatan mematikan, menggunakan senjata yang sama sekali tidak sesuai untuk mengawasi protes, seperti senapan mesin ringan RPD Tiongkok, senapan sniper MA-S, senapan semi-otomatis MA-1, dan senjata lain yang diproduksi di Myanmar. Banyak dari pembunuhan para pengunjuk rasa damai dan orang-orang yang berada di lokasi unjuk rasa, yang didokumentasikan oleh Amnesty International, merupakan tindakan eksekusi di luar hukum. Rekaman yang diperiksa oleh Amnesty International dengan jelas menunjukkan pasukan militer Myanmar terlibat dalam perilaku sembrono, termasuk menembakkan amunisi di daerah perkotaan.[4]

Amnesty International juga menerima laporan bahwa ada lebih dari 3.000 orang telah ditahan oleh militer. Di antara mereka yang ditahan ada lebih dari 100 kritikus yang telah didakwa atas “penghasutan” berdasarkan Pasal 505 (a) KUHP Myanmar.

Aktivis, pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan individu lain yang menentang tindakan keras militer yang brutal telah ditangkap dan didakwa dengan tuduhan palsu. Ada tuduhan bahwa mereka yang ditangkap dan ditahan tidak diberi hak untuk segera mendapatkan akses ke penasihat hukum pilihan mereka sendiri dan hak peradilan yang adil lainnya. Mereka yang ditahan juga diduga tidak diberi akses ke perawatan kesehatan dan obat-obatan yang mereka andalkan.

Amnesty International juga telah menerima laporan yang kredibel tentang perlakuan buruk dan penyiksaan. Sedikitnya ada dua orang tewas setelah diduga menjadi sasaran penyiksaan oleh militer saat di dalam tahanan. Kami juga telah menerima laporan bahwa mereka yang ditangkap dibawa ke fasilitas militer dan polisi untuk waktu yang lama sebelum secara resmi memasuki sistem penjara.

Banyak orang terluka dan tidak diberi akses ke perawatan medis. Pekerja medis telah diserang dan menjadi sasaran militer, yang mana melanggar prinsip netralitas medis.

MENINGKATNYA KEKERASAN DAN KONFLIK BERSENJATA

Amnesty International prihatin bahwa krisis yang semakin parah di negara tersebut berpotensi memicu kembali konflik dalam skala besar di sebagian besar atau semua negara etnis, yang – mengingat catatan militer yang menyedihkan – akan menjadi bencana besar bagi warga sipil. Konflik bersenjata antara organisasi etnis bersenjata (EAO) dan militer Myanmar telah membuat lebih dari 20.000 orang mengungsi sejak kudeta – terutama di Karen, Kachin, negara bagian Shan utara dan Wilayah Bago. Militer telah melancarkan serangan udara dan menggunakan artileri berat di daerah berpenduduk sipil di Kachin dan Karen States[5], menyebabkan kematian banyak warga sipil.

Amnesty International tetap sangat prihatin tentang kemungkinan dampak dari dimulainya kembali permusuhan di Negara Bagian Rakhine dan Chin, yang telah menjadi tempat pertempuran sengit antara militer Myanmar dan Tentara Arakan, sebuah kelompok bersenjata etnis Rakhine, sejak 2019. Saat ini ada sekitar 350.000 pengungsi internal di seluruh Myanmar akibat konflik bersenjata[6]. Selama bertahun-tahun, populasi Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah menjadi sasaran kampanye pembunuhan, kekerasan seksual dan pembakaran, yang mengakibatkan lebih dari 740.000 orang mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Rohingya yang tersisa di Myanmar terus hidup di bawah rezim apartheid, ditolak akses ke pendidikan, perawatan kesehatan dan kebebasan bergerak karena etnis mereka.[7]

MEMINTA PELAKU UNTUK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Pada tahun 2018, Amnesty International merilis laporan yang berisi bukti luas dan kredibel yang melibatkan Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan 12 orang lain yang disebutkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama pembersihan etnis populasi Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara. Laporan tersebut mendokumentasikan serangan yang meluas dan sistematis terhadap populasi Rohingya, termasuk dalam pembantaian besar-besaran di tiga kota – di desa Chut Pyin, Min Gyi dan Maung Nu. Ribuan perempuan, pria dan anak-anak Rohingya dibunuh – diikat dan dieksekusi mati; ditembak dan dibunuh saat melarikan diri; atau dibakar sampai mati di dalam rumah mereka. Perempuan dan anak perempuan Rohingya diperkosa di desa mereka dan saat mereka melarikan diri ke Bangladesh.

Penelitian Amnesty International menunjukkan bahwa komandan militer tertinggi, termasuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing, telah mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa suatu kejahatan terhadap kemanusiaan sedang dilakukan. Jenderal Senior Ming Aung Hlaing, serta komandan militer top lainnya, melakukan perjalanan ke Negara Bagian Rakhine utara secara langsung sebelum atau selama kampanye pembersihan etnis untuk mengawasi bagian-bagian dari operasi tersebut.

Amnesty International terus menyerukan kepada semua Negara, termasuk Negara Anggota ASEAN, untuk menerapkan bentuk yurisdiksi universal dan lainnya untuk menyelidiki siapa pun yang mungkin secara wajar dicurigai bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang atau kejahatan lain berdasarkan hukum internasional di Myanmar.

KESIMPULAN

ASEAN harus menggunakan KTT darurat pada tanggal 24 April 2021 sebagai kesempatan untuk menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa mereka akan memprioritaskan hak asasi manusia di Myanmar. Prinsip tersebut harus lebih kuat dari pengaruh Militer Myanmar supaya mereka berhenti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di negara itu dan menjelaskan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan menurut hukum internasional akan dimintai pertanggungjawaban. Hanya jika ASEAN dan Negara Anggotanya bertindak tegas untuk membantu mencegah krisis di Myanmar berkembang menjadi bencana besar, akan ada penderitaan yang tak terpikirkan di Myanmar, dan dampak serius bagi seluruh kawasan dan sekitarnya.

REKOMENDASI

Amnesty International mendesak ASEAN untuk:

  • Secara tegas mengutuk semua pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar dan terus mendesak pembebasan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang dan untuk mengakhiri penggunaan kekuatan yang mematikan terhadap anak-anak, pengunjuk rasa damai, dan orang lainnya.
  • Mengarahkan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk membuat pendekatan bersama yang memastikan bahwa semua interaksi dengan Myanmar dilakukan atas dasar dan untuk mengatasi pelanggaran HAM sesuai dengan mandar AICHR di Bagian 4.11 dalam Kerangka Acuan Kerja. Pendekatan ini harus diadopsi oleh ASEAN dan menjadi acuan dalam semua hubungan komunikasi di Myanmar, termasuk yang terkait situasi di Rakhine serta represi terhadap pihak oposisi kudeta militer.
  • Mendukung tugas mekanisme internasional yang independen, Kantor Komisaris tinggi HAM PBB, dan Pelapor Khusus PBB atas situasi HAM di Myanmar untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM di Myanmar.
  • Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menyampaikan situasi di Myanmar secara keseluruhan kepada Mahkamah Pidana Internasional
  • Mendukung desakan untuk Dewan Keamanan PBB memberlakukan embargo senjata global secara komprehensif untuk Myanmar
  • Mendukung desakan untuk Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi ekonomi terhadap pejabat-pejabat yang diduga bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional dan pelanggaran serius lainnya, termasuk di dalam konteks represi terhadap oposisi kudeta 1 Februari.

Amnesty International mendesak negara anggota ASEAN untuk:

  • Tidak mengembalikan siapapun ke Myanmar dalam keadaan saat ini, terlepas dari status imigrasi mereka, dan terus memberhentikan semua deportasi dan pemulangan hingga perlindungan HAM bisa dipastikan. Memulangkan siapapun di tengah keadaan saat ini akan melanggar prinsip non-refoulement, yang sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional melarang pemulangan siapapun, terlepas dari status imigrasinya, ke sebuah negara di mana terdapat alasan kuat untuk dipercaya bahwa mereka akan mengalami kerugian yang tak bisa diperbaiki karena pelanggaran HAM, setelah kembali.
  • Memastikan bahwa semua repatriasi atau pemulangan di masa depan hanya dilakukan dalam keadaan aman, secara sukarela dan bermartabat, serta dengan adanya perlindungan HAM yang jelas, termasuk hak untuk mendapatkan kewarganegaraan. Negara-negara harus memberikan penilaian individu kepada setiap orang untuk menilai kebutuhan atas perlindungan internasional.
  • Menggunakan yurisdiksi universal dan bentuk yurisdiksi lainnya untuk melakukan investigasi terhadap Jenderal Senior Min Aung Hlaing atas dugaan melakukan kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan kejahatan lainnya sesuai hukum internasional di Myanmar.

Hormat saya,

Yamini Mishra
Direktur Regional
Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik
Amnesty International


[1]  Assistance Association for Political Prisoners – Burma: Daily Briefing In Relation to the Military Coup, 2021 https://aappb.org/?cat=109

[2]  Save The Children: Myanmar: 43 children killed by armed forces, 2021 www.savethechildren.net/news/myanmar-43-children-killed-armed-forces-just- two-months-coup-began

[3]  BBC: Myanmar coup: Six-year-old shot ‘as she ran into father’s arms’, 2021 https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-56501871

[4]  Amnesty International: Myanmar: Amid surging death toll, end use of lethal force immediately, 2021 www.amnesty.org/en/latest/news/2021/03/myanmar-surging-death-toll/

[5]  Karen Women’s Organization, 2021 www.karenwomen.files.wordpress.com/2021/03/kwo-statement-regarding-the-attack-on-karen-civilians-27th- march-2021-eng-final.pdf

[6]  https://reliefweb.int/report/myanmar/myanmar-humanitarian-update-no-5-25-march-2021[7] Amnesty International: Caged Without a Roof, 2019 www.amnesty.org.uk/files/CagedwithoutaRoof-ApartheidMyanmar-AIreport.pdf