SURAT TERBUKA BERSAMA KEPADA MENTERI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT MICHAEL POMPEO MENGENAI KUNJUNGAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA, PRABOWO SUBIANTO KE WASHINGTON D.C.

13 Oktober 2020

Tanggal 13 Oktober, Amnesty International USA, Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Public Interets Lawyer Network (Pil-Net), Asia Justice and Rights (AJAR), Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Imparsial, Public Virtue Institute, Setara Institute, Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan LBH Pers di Indonesia mengirimkan surat bersama kepada Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo, berisi kekhawatiran mengenai keputusan Departemen Luar Negeri AS untuk memberikan visa kepada Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, yang akan berkunjung ke Washington D.C. untuk menemui Menteri Pertahanan Mark Esper dan Ketua Kepala Gabungan Staf Mark Milley pada tanggal 15 Oktober. Prabowo Subianto adalah mantan Jenderal Indonesia yang selama puluhan tahun dilarang untuk memasuki Amerika Serikat karena adanya tuduhan keterlibatan pelanggaran hak asasi manusia.

Juru Bicara:

Kordinator KontraS Fatia Maulidyanti
Public Interest Lawyer Network Erwin Natosmal
Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
Direktur Imparsial Al Araf
Sekjen Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti
Direktur Public Virtue Ahmad Taufiq
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid

Unduh versi Bahasa Inggris di sini.


13 Oktober 2020

Yang terhormat,
Michael R. Pompeo
Menteri Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri
2201 C Street, NW
Washington, D.C. 20520

Perihal: Keputusan Departemen Luar Negeri AS untuk mencabut pelarangan kunjungan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah berlangsung selama 20 tahun bisa melanggar Hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi hak asasi manusia.

Yang terhormat Menteri Pompeo,

Kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran kami terhadap keputusan Departemen Luar Negeri AS yang memberikan visa kepada Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, untuk datang ke Washington D.C. menemui Menteri Pertahanan Mark Esper dan Ketua Kepala Gabungan Staf AS Mark Milley pada tanggal 15 Oktober. Prabowo Subianto adalah seorang mantan jenderal Indonesia yang sudah dilarang untuk memasuki wilayah Amerika Serikat sejak tahun 2000 karena tuduhan keterlibatannya secara langsung dalam pelanggaran hak asasi manusia. Keputusan Kementerian Luar Negeri untuk mencabut larangan masuk terhadap Prabowo Subianto secara tiba-tiba bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS selama 20 tahun terakhir.

Undangan untuk Prabowo Subianto harus dibatalkan jika memberikan kekebalan terhadap kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Jika dia memang berniat datang ke Amerika Serikat, Pemerintah AS memiliki kewajiban, setidaknya berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 5 Ayat 2 untuk menyelidiki, dan jika mendapatkan bukti yang cukup bahwa dia bertanggung jawab atas kejahatan penyiksaan tersebut, harus membawanya ke pengadilan atau mengekstradisinya ke negara lain yang bersedia menggunakan yurisdiksi terhadap tuduhan kejahatannya. Dengan membebaskan dia berpergian ke Amerika Serikat untuk menemui pejabat senior AS bisa melanggar Hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi hak asasi manusia di Indonesia.

Prabowo Subianto merupakan mantan menantu mendiang Presiden Soeharto, pemimpin berlatar belakang militer yang memerintah di Indonesia selama 31 tahun dari 1967 sampai 1998. Prabowo Subianto bertugas sebagai komandan pasukan khusus di bawah Soeharto dan terlibat dalam kejahatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penculikan aktivis pro-demokrasi selama beberapa bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto. Penyelidikan independen resmi yang diberikan mandat untuk menyelidiki pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia di tahun 1998 menyimpulkan bahwa Prabowo Subianto sebagai komandan pasukan khusus sadar akan pelanggaran tersebut, dan bertanggungjawab secara penuh atas penculikan aktivis pro-demokrasi di tahun 1997-1998. Tuduhan terhadap Prabowo Subianto tidak pernah diadili di pengadilan.

Keputusan Pemerintah AS di tahun 2000 yang memasukkan Prabowo Subianto ke daftar hitam karena pelanggaran hak asasi manusia merepresentasikan komitmen yang sangat penting terhadap hak asasi manusia. Kebijakan Pemerintah AS selama 20 tahun terakhir telah membawa harapan dan pertolongan bagi korban yang mengalami penyiksaan dan perlakuan buruk lain di bawah satuan yang dipimpin Prabowo Subianto.

Di bawah Hukum Leahy, Pemerintah AS dilarang menggunakan dana untuk membantu pasukan keamanan negara lain di mana terdapat informasi terpercaya yang mengimplikasikan bahwa pasukan keamanan tersebut melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan pemerkosaan berdasarkan peraturan yang melanggar hukum. Dalam Hukum Leahy Departemen Luar Negeri AS terdapat pengecualian yang mengijinkan bantuan ke sebuah unit jika Menteri Pertahanan memutuskan dan melaporkan kepada Kongres bahwa negara dari unit pasukan keamanan tersebut mengambil langkah yang efektif untuk membawa anggota yang bertanggung jawab ke depan hukum.

Sehubungan dengan Indonesia, selama dua dekade terakhir, Pemerintah AS memberlakukan pelarangan bantuan militer terhadap militer Indonesia dan pasukan khusus Kopassus, setelah mereka melakukan pelanggaran HAM berat dalam operasi militer di Timor Timur, atau kini Timor Leste. Prajurit Kopassus juga terlibat dalam penghilangan paksa (1997-1998) dan pembunuhan aktivis Papua, serta pemimpinnya Theys Eluay di tahun 2001. Meski pada akhirnya beberapa tentara dihukum di pengadilan militer, pemimpin mereka belum pernah diadili. Penyintas pelanggaran serius, yang dilakukan oleh Prabowo Subianto, sudah menunggu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan keadilan, akuntabilitas dan reparasi.

Secara singkat, selama dua dekade terakhir Pemerintah Indonesia belum mengambil langkah efektif untuk membawa Prabowo Subianto ke depan hukum. Dia belum pernah bertanggungjawab, dan sampai hari ini masih terus menyangkal tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga, situasi ini tidak memenuhi persyaratan pengecualian Hukum Leahy.

Kami mendesak Anda untuk mengklarifikasi bahwa visa yang diberikan kepada Prabowo Subianto tidak memberikan kekebalan dalam bentuk apa pun, dan memastikan jika dia datang ke Amerika Serikat, dia akan secepatnya diperiksa dengan benar, dan jika buktinya mencukupi, membawanya ke pengadilan meminta pertanggungjawaban atas kejahatan di bawah hukum internasional. Jika visa yang diberikan kepada Prabowo Subianto memberikan kekebalan selama di Amerika Serikat, visa tersebut harus dicabut untuk memastikan bahwa Amerika Serikat memenuhi kewajiban domestik dan internasional untuk memastikan mereka yang bertanggungjawab atas penyiksaan akan dibawa ke depan hukum. Terima kasih atas perhatian anda untuk masalah yang penting ini.

Atas nama organisasi Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini,

Joanne Lin
National Director, Advocacy and Government Affairs
Amnesty International USA
202/281-0017; [email protected]

Usman Hamid
Executive Director
Amnesty International Indonesia

Erwin Natosmal Oemar
National Secretariat
Public Interest Lawyer Network (Pil-Net)

Fatia Maulidiyanti
Executive Director
The Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS)

Galuh Wandita
Director
Asia Justice and Rights (AJAR)

Bivitri Susanti
The Solidarity Action Committee for Munir (KASUM)

Al Araf
Director
Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)

Ahmad Taufiq
Executive Director
Public Virtue Institute