Vonis 7 Tahanan Nurani, Negara Gagal Tegakkan HAM Untuk Papua

Menanggapi vonis bersalah yang diputus Pengadilan Negeri Balikpapan terhadap tujuh tahanan hati nurani Papua, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Kami sangat menyayangkan putusan pengadilan tersebut. Walaupun putusannya jauh lebih ringan dibandingkan tuntukan Jaksa Penuntut Umum, tetap saja, seharusnya tujuh tahanan nurani tersebut dari awal tidak ditangkap, dipenjara dan dituntut secara hukum. Mereka seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan.”

“Di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini di mana tahanan menjadi salah satu tempat yang rawan penyebaran Covid-19, memenjarakan mereka tanpa adanya bukti kejahatan, bahkan hanya untuk satu malam, benar-benar bertentangan dengan hak asasi manusia.”

“Mereka tidak melakukan tindakan kriminal apapun seperti yang dituduhkan, mereka hanya mengikuti aksi protes damai, menggunakan hak-hak mereka untuk berekspresi, berkumpul dan mengemukakan pendapatnya untuk memprotes tindakan rasisme.”

“Itikad baik otoritas di negara ini sangat dinantikan. Dasar hukumnya jelas sudah ada. Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 telah mengatur tentang amnesti dan abolisi. Di era Presiden BJ Habibie, tahanan politik atau tahanan nurani Timor-Timur dibebaskan. Presiden Jokowi sendiri bahkan membebaskan lima tahanan nurani Papua di awal periode pertama kepemimpinannya.”

“Putusan ini telah menunjukkan kegagalan negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, juga kegagalan pemerintah dalam memenuhi janjinya untuk melindungi kebebasan berekspresi. Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman, sementara yang mereka lakukan dilindungi oleh hukum negara bahkan Konstitusi.”

“Negara harus menghentikan kriminalisasi terhadap orang Papua dengan penggunaan pasal makar. Tidak seorang pun harus menderita perlakuan ini karena menghadiri demonstrasi secara damai.”

“Sudah saatnya seluruh tahanan hati nurani Papua dan Maluku dibebaskan, apalagi di tengah wabah global Covid-19 ini. Hakim dan jaksa juga seharusnya peka pada situasi wabah sekarang ini, di mana situasi penjara sesak dan tidak sehat. Pertimbangan HAM harus menjadi fokus dari penanganan Covid-19.”

Latar belakang

Hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, menjatuhkan vonis bersalah kepada tujuh tahanan hati nurani Papua pada hari Rabu, 17 Juni 2020, yang mengikuti aksi protes damai menentang rasisme.

Ketujuh tahanan nurani tersebut adalah:

Buchtar Tabuni — vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 17 tahun)

Fery Kombo — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun)

Irwanus Uropmabin — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun)

Agus Kossay – vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun)

Stevanus Itlay — vonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun)

Alexander Gobay — vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun)

Hengky Hilapok – vonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun)

Mereka divonis bersalah melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Makar.

Sebelumnya mereka ditangkap karena mengikuti aksi unjuk rasa damai anti-rasisme di Jayapura, Papua, pada Agustus 2019 lalu. Aksi tersebut merupakan buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Penangkapan sewenang-wenang oleh polisi Indonesia telah membuat banyak orang Papua mendekam di penjara dan menjadi tahanan hati nurani. Hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan hati nurani Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Semuanya diancam atas tuduhan makar, padahal mereka hanya terlibat dalam aksi protes damai dan tidak melakukan tindakan kriminal apapun.

Padahal, pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang secara tegas menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 19, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.