Usut tuntas pembunuhan warga di Mimika yang diduga melibatkan anggota TNI

Menanggapi pembunuhan empat warga di Mimika yang diduga melibatkan anggota TNI, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Keji dan biadab. Tindakan mutilasi ini, jika benar adanya, sungguh berada di luar nalar kemanusiaan. Ini harus menjadi catatan tersendiri bagi negara. Mengapa kejadian semacam ini, pembunuhan di luar hukum, terus berulang di Tanah Papua.”

“Aparat penegak hukum harus melakukan investigasi yang menyeluruh, transparan dan tidak berpihak terhadap kasus ini dan memastikan bahwa semua pelaku, terlepas dari status atau posisi mereka, dibawa ke proses hukum yang adil, tanpa ancaman hukuman mati.”

“Jika ada anggota TNI yang terbukti terlibat dalam pembunuhan yang keji ini, mereka harus diadili melalui pengadilan umum, bukan hanya pengadilan militer atau sanksi internal.”

“Kami mendesak aparat untuk memastikan tidak adanya impunitas hukum dengan memproses kasus ini secara tuntas, dan tidak membiarkannya menggantung seperti banyak sekali kasus pembunuhan warga yang diduga melibatkan aparat keamanan.”

Latar belakang

Pada tanggal 28 Agustus, Direktur Kriminal Umum Polda Papua Kombes Pol Faizal Ramadhani mengatakan bahwa sembilan orang pelaku, enam di antaranya anggota TNI, diduga membunuh empat orang di Mimika dan memutilasi jenazahnya.

Dua jenazah telah ditemukan polisi pada tanggal 26 dan 27 Agustus, sementara dua jenazah lainnya masih dalam pencarian. Tiga orang terduga pelaku telah ditangkap oleh polisi sementara enam anggota TNI yang diduga terlibat telah diamankan oleh Subdenpom XVII/C Mimika.

Sejak Februari 2018 hingga Juli 2022, Amnesty mencatat ada setidaknya 61 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan aparat keamanan dengan total 99 korban.

Pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak untuk hidup, hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya. Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Pelaku tindak pelanggaran kriminal terkait HAM harus ditangani melalui sistem peradilan pidana dan bukan dengan penanganan internal atau ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan proses pengadilan tersangka di pengadilan sipil. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.