Usut Segala Bentuk Kekerasan dan Penembakan di Nduga, Tanah Papua

Merespons terus berlanjutnya berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan bersenjata yang merenggut nyawa di Papua, seperti yang terakhir terjadi di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, Koordinator Kampanye Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani, mengatakan:

“Kami mengungkapkan duka cita yang mendalam atas meninggalnya tiga warga sipil, termasuk aparatur sipil negara, di Kabupaten Nduga yang menjadi korban penembakan. Ini adalah kabar duka bagi kita semua saat bangsa ini tengah merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-78,” kata Zaky.

“Kejadian ini mencuatkan keprihatinan atas kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua dan dampaknya terhadap warga sipil yang tidak bersalah. Kekerasan semacam ini tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun.”

“Penembakan itu tidak saja merupakan sebuah tragedi, namun juga dikhawatirkan akan menghambat proses penyelesaian konflik yang lebih luas secara damai di Papua bila tidak diusut secara tuntas.

“Maka kami menyerukan kepada polisi maupun pihak-pihak yang terkait, termasuk Komnas HAM, untuk mengusut tuntas kekerasan bersenjata yang membunuh warga sipil itu melalui penyelidikan yang independen, serta meminta pihak berwenang di Papua untuk meningkatkan perlindungan atas warga sipil.

“Kami juga tidak henti-hentinya menyerukan kepada lembaga negara yang berwenang, jajaran kepolisian, Komnas HAM, dan pihak-pihak terkait untuk mengusut tuntas berbagai masalah HAM di Papua, termasuk perlindungan hak masyarakat adat, pengungsi internal yang dipicu konflik bersenjata di Papua, serta kasus pembunuhan di luar hukum di Papua,” lanjut Zaky.

Latar belakang

Pada hari Rabu (16/8), tiga warga sipil bernama Steven Didiway, Michael Rumaropen, dan Samsul Ahmad meninggal setelah menjadi korban kekerasan bersenjata di Kompleks Yosoma, Jalan Batas Batu, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Selain menimbulkan korban jiwa, insiden itu juga menyebabkan dua unit mobil dibakar.

Foto yang diterima Amnesty International Indonesia menunjukkan ketiga korban yang telah terbujur kaku telah dievakuasi ke Puskesmas Kenyam pada Kamis dini hari (17/8). Jenazah Michael, aparatur sipil negara (ASN) asal Biak, dan Steven, ASN asal Jayapura, telah dibawa ke Timika dan Jumat (18/8) dikirim ke keluarga masing-masing untuk dimakamkan. Sedangkan jenazah Samsul diterbangkan ke kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk dimakamkan.

Menurut laporan media massa, dengan mengutip kepolisian di Nduga dan Polda Papua, ketiga korban jiwa itu dianiaya dan ditembak mati oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Insiden itu bermula saat truk yang ditumpangi korban dicegat dan dibakar oleh sekelompok orang yang diduga TPNPB pada Rabu malam (16/8).

Insiden tersebut dilaporkan pada pukul 22.06 WIT. Personel gabungan TNI-Polri yang sedang patroli merespons laporan tembakan di Komplek Yosoma. Terjadi kontak tembak antara personel gabungan dan kelompok bersenjata yang diduga sebagai TPNPB.

Pihak kepolisian juga mendapat laporan bahwa ada tiga warga sipil bergerak dari Batas Batu menuju Kota Kenyam sejak Rabu sore, namun mereka belum sampai di tujuan saat malam tiba. Personel gabungan TNI-Polri segera merespons dan melakukan penyisiran. Di tempat kejadian, ditemukan tiga korban warga sipil yang sudah meninggal.

Dari 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.

Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.

Amnesty International Indonesia tidak mengambil posisi politik apa pun terkait konflik di Papua, namun mengecam tindak kekerasan berlebihan yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat konflik.

Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup.

Selain itu Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, juga menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri.