Usut dalang penyerang Novel, jangan ada lagi korban berikutnya!

Hari ini, kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, genap tiga tahun. Merespon perkembangan penyelidikan kasus Novel hingga hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Sejak penyerangan tiga tahun lalu, upaya mengungkap pelaku berjalan sangat lambat. Dua pelaku yang merupakan anggota Kepolisian aktif memang sudah ditangkap, itu pun masih meragukan. Seharusnya tidak berhenti sampai di situ, apalagi jika sampai ada yang dikambinghitamkan. Dan jangan berhenti sampai di motif dendam pribadi.”

“Aktor-aktor lain yang terlibat harus diusut tuntas, terutama dalangnya. Bagaimana pun Novel tetap menjadi simbol kesungguhan negara melawan korupsi. Di kasus ini niat baik pemegang otoritas negara diuji, apakah hukum akan ditegakkan secara adil.”

“Kami menagih komitmen Presiden, untuk benar-benar mengungkapkan kasus Novel. Bentuk Tim investigasi yang independen dengan keahlian dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan. Keadilan untuk Novel sebaiknya tak ditunda. Tidak boleh ada impunitas.”

“Mereka yang didapati bertanggungjawab harus diadili, dan prosesnya harus memenuhi standar internasional tentang keadilan. Dua puluh tahun, Indonesia adalah negara yang termasuk mendukung Deklarasi PBB tentang Perlindungan Pembela HAM. Itu harus diingat dan dijalankan.”

“Tidak boleh lagi ada korban seperti Novel di negara ini, baik dari pembela HAM di bidang pemberantasan korupsi maupun lingkungan hidup yang sering berkaitan masalahnya.”

Latar Belakang

Kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017 di pagi hari. Saat itu, Novel dalam perjalanan pulang dari Masjid Ihsan di dekat rumahnya usai melaksanakan solat subuh saat dua orang tak dikenal menyiramkan air keras ke wajahnya. Kala itu, Novel dikenal sebagai penyidik senior KPK yang disegani dan banyak mengusut kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah petinggi negara.

Penyerangan itu membuat mata kiri Novel rusak hingga 95 persen. Ia hampir buta dan harus menjalani rangkaian operasi di Singapura.

Sejak kejadian itu, sejumlah elemen masyarakat telah meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dan mengusut kasus ini dengan serius dengan membentuk tim independen pencari fakta. Namun proses investigasi oleh kepolisian berjalan sangat lambat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kemudian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan menggandeng beberapa tokoh dari koalisi masyarakat untuk kasus penyerangan Novel. Tim tersebut kemudian menemukan adanya indikasi pelanggaran HAM dalam insiden tersebut.

Pihak kepolisian baru membentuk tim gabungan untuk mengusut kasus Novel pada awal 2019. Tim tersebut dibentuk untuk menindaklanjuti hasil rekomendasi Komnas HAM.

Pada 26 Desember 2019 Polri menangkap dua terduga pelaku penyerangan Novel berinisial RM dan RB di Depok, Jawa Barat. Keduanya diketahui adalah anggota Brimob aktif.

Pelaku dijerat dakwaan primer Pasal 355 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perbuatan melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindak pidana melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, serta dakwaan subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP tentang perbuatan penganiayaan yang direncanakan yang mengakibatkan luka berat, dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Intimidasi terhadap aktivis antikorupsi bukan hanya kali ini saja terjadi. Berdasarkan catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), terdapat 91 kasus yang memakan 115 korban dari tahun 1996-2019. Kasus terakhir menimpa dua komisioner KPK yang diteror menggunakan bom. Hal ini adalah bentuk nyata teror terhadap pembela hak asasi manusia di sektor anti-korupsi.

Mereka yang berprofesi sebagai petugas penegak hukum juga merupakan pembela hak asasi manusia sejauh ia ikut mendorong upaya-upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, seperti melalui pemberantasan korupsi, sebuah kejahatan yang bisa berakibat pada hilang atau berkurangnya kapasitas dan sumber daya negara guna memenuhi hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati 22 tahun silam melalui resolusi Sidang Umum PBB.