Tren Vonis Hukuman Mati di Indonesia Terus Meningkat

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia harus segera mengambil langkah tegas untuk menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan dan menghormati hak untuk mendapatkan pendampingan hukum yang efektif bagi para narapidana hukuman mati, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

Bersama dengan 52 negara lainnya di dunia, Indonesia masih menerapkan praktek hukuman mati. Bahkan di tengah pandemi ini, Indonesia telah mencetak angka vonis hukuman mati tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Data Amnesty mencatat adanya 96 vonis hukuman mati yang telah dijatuhkan di Indonesia dari awal tahun hingga bulan Oktober ini, melebihi angka total sepanjang 2019, dan menjadikannya rekor terbesar sepanjang Pemerintahan Jokowi.

Pemerintah Indonesia dalam keterangan pers saat peringatan Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia 10 Oktober lalu juga menyatakan bahwa ada 538 terpidana mati yang tengah menunggu eksekusi.

“Angka itu menunjukkan bahwa ada krisis hak asasi manusia yang tengah terjadi di negara ini. Sudah ada 142 negara yang menghapus hukuman mati, mengapa Indonesia malah menjauhi tren ini?,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“DPR bisa memanggil Pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentunya, dan Jaksa Agung untuk bersama-sama mengkaji penerapan hukuman mati yang dalam praktiknya juga banyak terjadi pelanggaran HAM, seperti praktik penyiksaan, proses peradilan yang adil hingga ketiadaan pendamping hukum untuk tersangka.”

Dari 96 terpidana mati sepanjang Januari-Oktober 2020 ini, 83 di antaranya divonis karena penggunaan dan penyebaran obat-obatan terlarang.

“Ini semakin membuktikan jika dalih Pemerintah yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera semakin tidak beralasan,” sebut Usman.

Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan jumlah pengguna narkotika sepanjang 2019 meningkat sebanyak 0,03% menjadi 3,6 juta orang dibanding tahun sebelumnya.

Dalam laporan berjudul “Putusan dan Eksekusi Hukuman Mati 2019”, Amnesty International melaporkan adanya penurunan putusan hukuman mati sepanjang tahun itu, menjadi 2307 kasus. Pada tahun sebelumnya, ada 2351 putusan hukuman mati yang dijatuhkan di seluruh dunia. Akan tetapi, Indonesia justru melawan tren tersebut.

Tahun lalu, 80 vonis mati dijatuhkan di Indonesia, meningkat drastis dari angka di tahun 2018, yakni 48. Bahkan di tahun 2014, periode awal Pemerintahan Jokowi, hanya ada enam vonis hukuman mati. Tahun berikutnya (2015), jumlah ini melonjak tajam ke 46, disusul 60 vonis mati baru di tahun 2016, lalu sempat menurun di tahun 2017 (47).

“Menimbang angka dunia, DPR juga perlu meminta pandangan Menteri Luar Negeri terkait kecenderungan global penurunan eksekusi dan hukuman mati. Sebagai negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia dan anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB, Indonesia wajib memastikan konsistensinya dengan kewajiban dan komitmen internasionalnya melalui penghapusan hukuman mati,” kata Usman.

Latar belakang

Hukuman mati merupakan adalah bentuk hukuman keji yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan di masa depan, hukuman ini juga memberikan siksaan mental dan fisik kepada narapidananya, dan hukuman ini juga melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup juga diatur dalam Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai bagian dari Dewan HAM PBB dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memiliki tanggung jawab atas komitmennya untuk menghapus hukuman mati. Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melalui UU No. 5 tahun 1998 dan Hak untuk Hidup juga dilindungi di undang-undang nasionalnya.” Tambah Usman.

Tidak hanya eksekusi mati itu sendiri yang merupakan bentuk hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, namun fenomena deret tunggu eksekusi mati (deathrow phenomenon) juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi yang merupakan bagian dari penyiksaan. Hal ini disampaikan oleh Juan E. Mendez (Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat periode 2010-2016) bahwa “waktu lama dalam deret tunggu eksekusi mati, bersama dengan kondisi-kondisi (buruk) yang menyertainya, merupakan pelanggaran terhadap larangan penyiksaan itu sendiri.”

Amnesty International Indonesia dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali – terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan.  Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Tapi apapun jenis kejahatannya, bentuk hukumannya harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.