Tragedi Kanjuruhan: Gas air mata bisa membunuh

Menanggapi pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo dan aksi sujud anggota Polri terkait tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Atas nama keadilan, akuntabilitas atas brutalitas aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan tidak boleh berhenti pada aksi simbolik ataupun sanksi administratif.

“Pernyataan bahwa korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata itu prematur, tidak empatik, dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung. 

“Dalam beberapa pedoman internasional, gas air mata memang tidak tergolong mematikan atau lethal weapon. Tapi juga tidak lagi tergolong senjata yang ‘tidak mematikan’ atau non-lethal weapon. Jenis senjata ini juga sudah dinilai sebagai senjata yang ‘kurang mematikan’ atau less-lethal weapon. Tapi sejumlah pengalaman menunjukkan efek luka yang fatal dan bahkan berakibat kematian.

“Apalagi, jika ditembakkan ke dalam area stadion yang berisi puluhan ribu orang di mana jalan penyelamatan diri terbatas. Kami mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta agar menelusuri apakah gas air mata yang dipakai polisi merupakan jenis CN (chloracetanophone) atau CS (chlorobenzalmonolonitrile). Efek jenis CS bisa lima kali lipat, jadi memang bisa mematikan.”

“Senjata non-lethal weapon apapun, meskipun tidak didesain untuk membunuh, tetap dapat membunuh jika dilakukan dalam konteks dan cara yang keliru. Setidaknya harus memenuhi empat prinsip, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.”

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan:

“Jangankan menembakan gas air mata, membawa saja dilarang FIFA. Jadi melanggar legalitas. Apalagi menembak ke arah tribun. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas.”

“Sikap pembelaan diri semacam itu mencederai publik yang tengah berduka. Juga ironis karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik. Mabes Polri seharusnya lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara. Jamin keselamatan mereka.

“Semua yang terlibat, tanpa terkecuali, harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

“Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil.”

Anggota polisi dan tentara berlutut di depan gerbang Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Tragedi yang disebut Komnas HAM RI dipicu oleh tembakan gas air mata ini menewaskan lebih dari 130 orang. (Sumber: Muhammad Solikin/Shutterstock)

Latar belakang

Pada hari Senin 10 Oktober 2022, sejumlah polisi melakukan sujud di lapangan Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Video ini beredar luas di media sosial dan disebutkan bahwa aksi ini ditujukan untuk memohon maaf atas tragedi yang, menurut keterangan resmi, menewaskan 131 orang.

Di hari yang sama dalam sebuah konferensi pers, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo, mengatakan bahwa ratusan korban dalam tragedi Kanjuruhan meninggal akibat kekurangan oksigen, bukan karena tembakan gas air mata.

Lebih lanjut Irjen Pol Dedi menyatakan tidak ada riset ilmiah yang membuktikan gas air mata bersifat mematikan dan mengakibatkan hilangnya nyawa.

Komnas HAM RI mengatakan bahwa gas air mata menjadi pemicu dari tragedi ini, khususnya gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun penonton.

Laporan media The Washington Post menyebut tembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan berlangsung 40 kali, sementara Polri membantah tudingan tersebut dengan menyebut bahwa tembakan gas air mata dari aparat hanya 11 kali.

Panduan hak asasi manusia untuk aparat penegak hukum Amnesty International, yang disusun berdasarkan ‘UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials’, menyebut bahwa gas air mata tergolong sebagai senjata yang kurang mematikan atau ‘less-lethal weapon’ yang menjadi alternatif dari penggunaan senjata api konvensional. 

Menurut panduan ini, ada beberapa jenis gas air mata, antara lain jenis CN (chloracetanophone) dan CS (chlorobenzalmonolonitrile). Sifat iritasi kimiawi dari gas CN untuk pengendalian massa dirancang untuk mencegah orang tinggal di suatu daerah secara sukarela lama sebelum gas benar-benar melumpuhkan mereka. Gas CN dapat mencemari ruangan, furnitur, kendaraan dan pakaian; efeknya terus lama setelah dilepaskan, dan dalam konsentrasi tinggi gas mematikan jika korban berada di ruang tertutup. 

Sedangkan gas CS adalah produk gas air mata yang dampak iritasinya bisa mencapai hingga lima kali lebih mengiritasi daripada gas CN. Produk ini telah dikembangkan di sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat dan Inggris. Meski ada bukti yang cukup terkait efek merugikan dari gas CS pada kesehatan manusia, jenis ini tetap menjadi “gas air mata” yang paling umum digunakan oleh pasukan keamanan di berbagai negara. Penggunaan gas CS dapat memiliki efek yang tidak pandang bulu.

Secara umum, paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. 

Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan.Di berbagai negara gas air mata rentan disalahgunakan antara lain karena kurangnya pelatihan pihak kepolisian terkait penggunaannya.

Konvensi Senjata Kimia melarang penggunaan gas air mata dalam situasi perang karena ia masuk dalam klasifikasi senjata kimia.

Amnesty International juga mendesak adanya penyelidikan yang transparan, menyeluruh, dan objektif atas jenis gas air mata yang ditembakkan dalam tragedi Kanjuruhan.