Tragedi kemanusiaan menyeramkan, kematian orang pasca pertandingan bola di Malang

Menanggapi tewasnya hampir 200 orang pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC dengan Persebaya di Malang, Jawa Timur, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Hak hidup ratusan orang melayang begitu saja pasca pertandingan bola, ini betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Perempuan dan laki-laki dewasa, remaja dan anak di bawah umur, menjadi korban jiwa dalam tragedi ini. Kami sampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban, pun kepada korban luka yang saat ini sedang dirawat, kami berharap pemulihan kondisi yang segera.”

“Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera Tim Gabungan Pencari Fakta. Tragedi ini mengingatkan kita pada tragedi sepak bola serupa di Peru tahun 1964 di mana saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa lalu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.”

“Sungguh memilukan 58 tahun kemudian, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata. Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan.”

“Akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang.”

Latar belakang

Berdasarkan laporan sementara, Pada hari Sabtu 1 Oktober 2022 sekitar pukul 22.00 WIB, setelah pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya usai, suporter Arema melempari para pemain dan official Persebaya yang tengah berusaha masuk ke dalam kamar ganti dari lapangan dengan botol air mineral dan lain lain, dari atas tribun.

Begitu pula saat pemain dan official Arema berjalan masuk menuju kamar ganti pemain, suporter Arema turun ke lapangan dan diduga menyerang pemain dan official Arema. Suporter Arema yang turun ke lapangan semakin banyak dan diduga menyerang aparat keamanan. Hal ini kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun suporter Arema, dan membuat suporter di tribun itu berdesakan membubarkan diri keluar stadion lalu terjadi penumpukan massa.

Insiden penembakan gas air mata juga terjadi saat suporter Arema berusaha menghadang rombongan pemain dan official Persebaya yang hendak meninggalkan Stadion Kanjuruhan, tempat pertandingan berlangsung. Aparat keamanan membubarkan suporter dengan menembakkan gas air mata.

Akibat kejadian tersebut, 129 orang -termasuk dua anggota polisi -meninggal dunia. Sebanyak 180 orang lainnya menjadi korban luka dan gangguan medis seperti sesak nafas dan saat ini tengah dirawat di sejumlah rumah sakit di Malang.

FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.

Paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak. Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990). Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 Tentang HAM hingga Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009).