Surat Terbuka untuk Segera Menghentikan Kriminalisasi Pembela HAM

Kepada Yth.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
Jl. Trunojoyo No. 3, Jakarta Selatan Indonesia (12110)

Dengan hormat,

Perihal : Surat Terbuka untuk Segera Menghentikan Kriminalisasi Pembela HAM

Melalui surat ini, Amnesty International Indonesia menyampaikan keprihatinan kami terkait
tindakan Kepolisian Republik Indonesia yang belum memprioritaskan pemenuhan hak asasi
manusia (HAM) dalam proses penegakan hukum. Fenomena tersebut tercermin dari langkah
Polda Metro Jaya yang melanjutkan praktik kriminalisasi terhadap Haris Azhar dan Fatia
Maulidiyanti atas pelaporan yang dilakukan oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan
Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.


Keberlanjutan proses hukum terhadap dua Pembela HAM (sesuai dengan Surat Komnas HAM
nomor 587/K-PMT/VII/2022) memperlihatkan tergerusnya kebebasan berekspresi dan
berpendapat masih menjadi persoalan serius. Langkah Polda Metro Jaya mengakomodasi
pelaporan Luhut Binsar Panjaitan semakin menunjukkan bahwa UU ITE merupakan produk
hukum problematis yang senantiasa melanggar hak banyak korban. Konteks ini seharusnya
dipahami oleh aparat penegak hukum.


Kami menilai bahwa proses pemidanaan ini terkesan dipaksakan mengingat terdapat beberapa
kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya, antara lain
penerapan pasal dalam penyidikan tidak memenuhi unsur pidana, proses penyidikan yang
dilakukan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini melanggar SKB Pedoman
Implementasi UU ITE, dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya
dalam perkara ini bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika
untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.


Terlebih lagi, SKB Tiga Menteri tentang Pedoman Implementasi UU ITE menegaskan sejumlah
pengecualian dari delik pencemaran nama baik dalam UU ITE ,antara lain jika konten itu berisi
penilaian, pendapat, hasil evaluasi, dan fakta lapangan maka tidak bisa dimasukkan ke dalam
delik pidana. Oleh karena itu, kami melihat keberlanjutan proses pemidanaan terhadap Haris
Azhar dan Fatia Maulidiyanti adalah serangan terhadap Pembela HAM, dan lebih lanjut
merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak luas pada kebebasan berekspresi dan
berpendapat publik.


Tindakan atau kebijakan Negara yang menimbulkan efek gentar atau ketakutan yang dapat
membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapatnya, tidak sejalan dengan standar
HAM internasional. Amnesty International Indonesia mengingatkan bahwa hak atas kebebasan
berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR),
yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.


Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam UUD 1945,
khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.

Di sisi lain, sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia sudah
seharusnya memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia
sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati 22 tahun silam melalui
resolusi Sidang Umum PBB.


Sehubungan dengan hal tersebut, kami mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk:

  1. Menghentikan proses hukum terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar;
  2. Menghentikan segala bentuk serangan terhadap pembela HAM dan melindungi hak-hak
    mereka seperti dijamin dalam hukum nasional dan internasional;
  3. Menghormati dan menjamin ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
    Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.