Surat Terbuka: Hentikan kriminalisasi terhadap ekspresi damai mahasiswa di Papua

Kepada Yth.

Irjen. Pol. Mathius D. Fakhiri, S.I.K
Kepala Kepolisian Daerah Papua
Jl. Dr. Sam Ratulangi No.8, Bayangkara, Kec. Jayapura Utara
Kota Jayapura, Papua (99113)

Dengan hormat,

Dengan surat terbuka ini, Amnesty International menyesalkan terjadinya dugaan aksi kekerasan dan kriminalisasi terhadap ekspresi politik secara damai yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) pada 10 November 2022. Terlebih lagi, terdapat tiga mahasiswa USTJ yang dikenakan pasal makar hanya karena menyampaikan ekpresinya secara damai dalam insiden tersebut.

Berdasarkan informasi kredibel yang Amnesty International terima, mahasiswa USTJ menggelar mimbar bebas di dalam lingkungan kampus. Namun aparat Kepolisian Resor Jayapura diduga melakukan represi dan aksi kekerasan terhadap aksi damai tersebut. Aparat kepolisian menahan 15 (Lima Belas) orang mahasiswa di Mapolres Jayapura yaitu : 1. Yohanes Logo, 2. Petrus Hubi, 3. Yosep Ernesto Matuan, 4. Stevanus Enembe, 5. Yohanes Mabel, 6. Devio Tekege, 7. Dani Mabel, 8. Manase Wenda, 9. Davidson Wenda, 10. Andrias Helembo, 11. Theys Sembay, 12. Newius Maling, 13. Rein Klafle, 14. Edison Wombi, 15. Taolin Iqnatius. Penangkapan juga dilakukan terhadap seorang warga yang ikut di dalam aksi tersebut, Ambrose Fransiskus Elopere.

Polisi kemudian membebaskan 6 (enam) mahasiswa pada pukul 23:00 WIT tanggal 11 November 2022. Sementara 9 (sembilan) mahasiswa masih tetap ditahan dan dinaikan statusnya menjadi tersangka dengan 2 (dua) tuduhan.

Tuduhan pertama, yaitu dugaan melawan petugas sebagaimana diatur pada Pasal 214 KUHP juncto 212 KUHP yang dituduhkan kepada 6 (enam) orang mahasiswa berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/A/1993/XI/2022/SPKT.SATRESKRIM/POLRESTA JAYAPURA KOTA/POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022.

Tuduhan kedua, yaitu dugaan tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP juncto Pasal 110 KUHP yang dituduhkan kepada 3 (tiga) mahasiswa yaitu, 1. Yosep Ernesto Matuan, 2. Devio Tekege, dan 3. Ambrose Fransiskus Elopere berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/A/1992/XI/2022/SPKT.SATRESKRIM/POLRESTA JAYAPURA KOTA/POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022.

Dasar pembubaran dan penangkapan paksa yang dilakukan pihak kepolisian adalah adanya dua perangkat aksi mimbar bebas yang bermotif Bintang Kejora. Amnesty International menilai aksi mahasiswa itu merupakan ekspresi politik mereka yang disampaikan secara damai dan tidak seharusnya direpresi dengan kekerasan, apalagi dengan kriminalisasi hingga menerapkan pasal makar.

Kami juga menilai, definisi makar masih diperdebatkan di antara akademisi hukum di Indonesia. “Makar” secara harfiah berarti pengkhianatan terhadap negara (treason), KUHP juga memiliki ketentuan-ketentuan lain yang memidanakan tindakan-tindakan lain yang mengkhianati negara seperti pemberontakan. Para ahli telah berargumentasi bahwa pasal 106 diterjemahkan secara langsung dari KUHP di masa penjajahan Belanda dan kata “makar” digunakan secara keliru dalam menerjemahkan kata “aanslag”, yang mengandung arti serangan fisik. Dalam kasus mahasiswa USTJ, kami tidak melihat ada serangan fisik, karena itu tidak selayaknya pasal makar diterapkan kepada tiga mahasiswa itu.

Meski begitu, standar-standar internasional tentang kebebasan berpendapat memiliki pemahaman yang lebih tegas. Contohnya, Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengizinkan pembatasan kebebasan berekspresi untuk alasan ‘keamanan nasional’ — sebuah elemen yang biasa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk melabeli tindakan ‘makar’. Pembatasan tersebut dijelaskan secara lebih mendalam di Prinsip-Prinsip Siracusa. Dalam Prinsip-Prinsip Siracusa, pembatasan dengan alasan keamanan nasional hanya dapat dilakukan jika terdapat ancaman atau penggunaan kekuatan. Istilah ‘kekuatan’ (force) dalam Prinsip-Prinsip Siracusa mendekati argumentasi ‘aanslag’ di atas, yakni serangan fisik.

Untuk itu kami meminta:

  1. Kapolda Papua Cq. Kapolresta Jayapura segera menghentikan proses hukum dan mencabut status tersangka serta tuduhan terhadap mahasiswa USTJ yang ditangkap dan ditahan karena ekspresi damai mereka.
  2. Memastikan dan menerapkan prinsip peradilan yang adil (fair trial) terhadap mahasiswa USTJ yang ditahan, termasuk tidak melakukan intimidasi secara fisik dan psikis serta memastikan akses mereka terhadap penasihat hukum berdasarkan pilihannya sendiri.    
  3. Segera memeriksa dan mengusut secara efektif dan independen anggota kepolisian yang diduga melakukan kekerasan secara fisik kepada mahasiswa USTJ.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Wirya Adiwena

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia

Tembusan:

  1. Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia
  2. Kepala Kepolisian Republik Indonesia
  3. Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia
  4. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia