Ilustrasi ASN/Tempo

SKB Anti Radikalisme Mengingatkan Pada Era Represif Masa Lalu

Menanggapi keputusan terbaru pemerintah untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Radikalisme ASN, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan:

“Surat Keputusan Bersama untuk melawan ‘tindakan radikal’ ini tidak akan bisa memangkas radikalisme. Keputusan ini justru mengingatkan kita kembali kepada represi Orde Baru.

 “Aturan di SKB ini samar, tidak memiliki dasar yang kuat, dan terlalu luas. Contohnya, larangan memberikan like pada unggahan media sosial bermuatan ujaran kebencian terhadap semboyan bangsa. Tapi, tidak ada definisi ujaran kebencian.”

 “Larangan ini tak ada hubungannya dengan keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan masyarakat. SKB ini harus direvisi sesuai dengan standar internasional dan konstitusi kita sendiri, untuk memastikan agar kebebasan berekspresi tetap terjamin.”

Latar Belakang

Pada November 2019, enam menteri dan lima kepala lembaga negara menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara. Mereka bersepakat membentuk Tim Satuan Tugas untuk menangani tindakan radikalisme ASN yang meliputi intoleransi, “anti ideologi Pancasila”, “anti Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan “menyebabkan disintegrasi bangsa.”

Tim Satgas akan menerima laporan pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan ASN dan memberi rekomendasi penanganannya. Jenis pelanggaran yang diatur dalam SKB antara lain adalah menyampaikan pendapat bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah melalui media sosial.

Mereka juga dilarang menanggapi unggahan media sosial yang dianggap bermuatan ujaran kebencian tersebut dengan “likes, dislike, love, retweet atau comment”. Selain itu, keikutsertaan pada organisasi yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah juga dianggap pelanggaran. Tidak ada definisi jelas tentang “ujaran kebencian” dan perbuatan “menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci.”

Indonesia telah meratifikasi Kovenan International Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan mengadopsinya ke dalam konstitusi untuk melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat. Jika hak-hak tersebut harus dibatasi, maka perlu ditetapkan dalam ketentuan hukum yang bersifat proporsional untuk mencapai tujuan yang sah, seperti melindungi keamanan nasional atau kesehatan masyarakat.