SKB 3 Menteri tentang seragam harus diikuti pencabutan SKB pendirian rumah ibadah

Amnesty International menyambut baik Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang menyatakan pemerintah daerah dan sekolah negeri tidak boleh mewajibkan atau pun melarang seragam atau atribut dengan kekhususan agama sebagai langkah penting untuk menjaga kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia. Hal tersebut merupakan langkah yang baik dalam memastikan kewajiban negara dalam pemenuhan dan perlindungan hak atas berekspresi dan juga kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan.

SKB Tiga Menteri yang mengatur penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada tanggal 3 Februari lalu. SKB tersebut diterbitkan setelah adanya laporan media tentang seorang siswi non-Muslim di sebuah SMKN di Padang, Sumatera Barat yang diwajibkan untuk memakai jilbab.

Namun, keputusan tersebut harus diikuti dengan pencabutan SKB Dua Menteri tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, yang memiliki nama resmi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah, yang terus menjadi sumber pembenaran diskriminasi berbasis agama.

“Penerbitan SKB Tiga Menteri tentang seragam dan atribut di sekolah negeri adalah sebuah langkah awal yang baik, namun pemerintah tidak boleh berhenti di situ saja,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid hari ini.

“Kami mengapresiasi upaya pemerintah untuk menjamin kebebasan setiap siswa dan siswi sekolah negeri untuk tidak memakai atribut keagamaan yang bertentangan dengan hati nurani dan kepercayaannya. Tapi pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya sebatas pemaksaan penggunaan seragam saja, namun juga mencakup pelarangan dan penutupan rumah ibadah pemeluk agama dan kepercayaan minoritas,” kata Usman.

PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB Dua Menteri) mewajibkan setiap pendirian rumah ibadah baru harus mendapat dukungan setidaknya 60 warga setempat dan harus ada rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan FKUB setempat.

“SKB Dua Menteri jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan hukum HAM internasional, dan aktor-aktor intoleran merasa dibenarkan oleh SKB tersebut ketika melakukan penolakan terhadap rumah ibadah kaum minoritas,” kata Usman.

“UUD 1945 menjamin kebebasan beribadah, tapi bagaimana mungkin umat bisa bebas beribadah ketika pendirian tempat ibadah dibatasi. Karena itu Amnesty menyerukan kepada pemerintah untuk meneruskan langkah baiknya dengan segera mencabut SKB Dua Menteri.”

Sepanjang 2020, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 40 kasus pelanggaran atas hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan. Dari 40 kasus tersebut, 18 di antaranya terkait penutupan, penyegelan, dan penolakan pembangunan rumah ibadah dan intimidasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas.

Di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau misalnya, renovasi Gereja Paroki Santo Joseph terpaksa dihentikan pada Januari 2020 karena Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah diterbitkan digugat oleh sekelompok warga.

Sementara di Kuningan, Jawa Barat, pemerintah kabupaten setempat menyegel bakal makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan pada 29 Juni 2020 setelah adanya penolakan dari gabungan ormas kelompok mayoritas. Segel itu akhirnya dicabut setelah kritik keras dari masyarakat sipil.

Amnesty mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang memuat hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama, yaitu di Pasal 18. Selain itu, Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui konstitusi UUD 1945, yaitu Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2). Selain itu, jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan beribadah sesuai kepercayaan juga dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (1) dan (2).