Selamatkan Pengungsi Rohingya di Perairan Aceh

Menanggapi laporan tentang adanya sebuah kapal yang mengangkut 90-150 pengungsi Rohingya di perairan Aceh Utara hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kami mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk memastikan penyelamatan, pendaratan dan perlindungan bagi para pengungsi. Mereka juga harus diberikan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, air bersih dan tempat tinggal sementara yang layak. Apalagi banyak dari mereka adalah anak-anak.”

“Dengan adanya kejadian ini, kami juga mendesak Pemerintah untuk segera menginisiasi komunikasi intensif dengan pemimpin negara lain di kawasan, termasuk dengan Australia, agar Bali Process diaktifkan demi mencari solusi tentang bagaimana menyelamatkan para pengungsi yang masih terapung di laut dan untuk mengakhiri penderitaan mereka.”

“Di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kami meminta negara-negara di kawasan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan para pengungsi dan tidak mendorong mereka kembali ke laut. Di bawah hukum internasional, negara-negara di kawasan punya kewajiban untuk menyelamatkan pengungsi yang mencari perlindungan di wilayah negara mereka. Menolak para pengungsi ini sama saja dengan melegalkan pelanggaran hak asasi manusia.”

Latar belakang

Pada hari Rabu 24 Juni 2020, Polres Aceh utara mengkonfirmasi adanya sebuah kapal yang mengangkut 94 pengungsi Rohingya, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, di lepas pantai Seunuddon, Aceh Utara.

Sumber lain mengatakan kepada Amnesty bahwa jumlah pengungsi ini mencapai 145 orang dan ditemukan sekitar pukul 12.00 WIB oleh beberapa nelayan yang melihat kapal mereka hampir tenggelam.

Kurang lebih 750.000 warga Rohingya, yang disebut-sebut PBB sebagai kaum paling teraniaya, menderita sejumlah serangan sejak kekerasan komunal meletus pada 2012. Amnesty International mengungkapkan bahwa lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak pasukan keamanan Myanmar melancarkan serangan ke komunitas Muslim minoritas pada 2017.

Riset Amnesty International menemukan bahwa situasi yang dialami oleh etnis Rohingya termasuk dalam kategori diskriminasi etnis dan penyerangan terhadap mereka oleh pihak militer Myanmar merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sayangnya, beberapa negara-negara di Asia Tenggara sempat menolak bahkan mencegah kapal-kapal yang mengangkut para pengungsi tersebut masuk ke wilayah perairan mereka masing-masing. Sebagian besar beralasan bahwa penolakan tersebut termasuk salah satu prosedur pencegahan penyebaran virus Covid-19 di negaranya.

Sebelum ditemukan hari ini di perairan Aceh Utara, pada 18 Juni 2020, media Malaysia memberitakan bahwa otoritas setempat berencana untuk mendorong kembali 269 orang Rohingya ke laut. Pada 8 Juni 2020, Malaysia mengizinkan mereka menepi setelah mengetahui bahwa kapal mereka rusak dan terdapat seorang perempuan yang telah meninggal dunia.

Padahal, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS), yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN mewajibkan negara-negara untuk memberikan bantuan bagi mereka yang mengalami kesulitan saat berada di laut. Semua negara, tak terkecuali Indonesia dan negara-negara tetangga, wajib memberikan bantuan pada orang-orang yang ditemukan di laut dalam kondisi yang terancam hilang, bahaya dan berada dalam kesulitan (persons in distress).

Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Pertolongan Maritim (Konvensi SAR), juga mengatur bahwa mereka yang mengalami kesulitan saat berada di laut wajib diberi bantuan, terlepas dari kewarganegaraan, status imigrasi dan lokasi dimana mereka ditemukan. Dalam hal ini, negara-negara harus memastikan bahwa semua prosedur operasional, seperti screening status orang yang diselamatkan dilakukan setelah mereka menepi dan ditempatkan di tempat yang aman (place of safety).

Tidak hanya itu, hukum kebiasaan internasional juga mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong kembali para pengungsi tersebut ke laut.