Saiful Mahdi bebas, jangan ada lagi kasus serupa

Menanggapi pembebasan Saiful Mahdi hari ini setelah menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:

“Kami menyambut baik pembebasan Saiful Mahdi dan turut senang bahwa beliau dapat kembali berkumpul bersama keluarga. Upaya ini tentu tidak akan berhasil  tanpa derasnya dukungan masyarakat yang telah berjuang bersama untuk keadilan bagi Saiful Mahdi hingga akhirnya amnesti diterbitkan.”

“Kasus yang dialami Saiful Mahdi menunjukkan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE seringkali mengkriminalisasi hak atas kebebasan berekspresi, dan siapapun, tidak hanya dosen seperti Saiful Mahdi, bisa terjerat oleh pasal-pasal karet dalam undang-undang ini. Warga seharusnya tidak perlu takut ancaman pidana hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai.”

“Oleh karena itu, kami kembali mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU ITE agar tidak ada lagi Saiful Mahdi lainnya yang membutuhkan amnesti untuk mendapatkan keadilan. Revisi UU ITE tersebut mutlak diperlukan agar negara dapat menjamin kebebasan berekspresi.”

“Dengan masuknya revisi UU ITE ke Prolegnas Prioritas 2021, kami berharap pemerintah dapat segera mengirimkan naskah revisi UU ITE ke DPR agar pembahasan dapat segera dilakukan dan diselesaikan. Kami dan kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan delapan pasal problematis yang perlu untuk direvisi, karena pasal-pasal ini telah menimbulkan korban.”

“Selama menunggu revisi, kami juga kembali mendorong pemerintah untuk mengambil langkah nyata untuk menjamin hak kebebasan berekspresi dengan memberikan amnesti atau pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang sudah divonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap, SKP2 untuk yang kasusnya tengah ada di kejaksaan dan baru mau dibawa ke pengadilan, dan SP3 untuk mereka yg baru berstatus tersangka di kepolisian.”

Latar Belakang

Pada Maret 2019, Saiful Mahdi, dosen jurusan statistika pada fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala di Aceh, mengirimkan pesan yang mengkritik hasil tes CPNS bagi dosen fakultas teknik di sebuah grup WhatsApp.

Pada tanggal 4 Juli 2019, Saiful Mahdi dipanggil oleh Kepolisian resor kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh dekan fakultas teknik. Kasus tersebut diadili dan pada tanggal 21 April 2020, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful Mahdi. Dia mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, namun kemudian ditolak. Pada tanggal 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Saiful Mahdi dan menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh.

Pada tanggal 2 September 2021, pihak kejaksaan mengantar Saiful Mahdi untuk mulai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh. Di hari yang sama, tim hukumnya mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo yang isinya meminta Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Pada tanggal 29 September, Presiden mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR RI yang berisi rencana pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi. Rencana pemberian amnesti tersebut disetujui dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 7 Oktober. Presiden menandatangani Keppres pemberian amnesti pada tanggal 12 Oktober, dan pada tanggal 13 Oktober akhirnya Saiful Mahdi dibebaskan.

UU ITE, termasuk Pasal 27 terkait pencemaran nama baik, semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang yang secara damai menggunakan hak atas kebebasan berekspresi melalui sarana elektronik, seperti menulis pesan di aplikasi pesan instan atau berbagi pendapat di media sosial.

Dari Januari hingga Oktober 2021 saja, Amnesty International mencatat setidaknya 59 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena diduga melanggar UU ITE.

Hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E Ayat (3), serta pada Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.