Sahkan Prolegnas Prioritas 2021: Bukan hanya RUU PKS, tapi juga RUU PPRT

Pada Hari Perempuan International 2021, Amnesty International kembali menyerukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Perlu diingat bahwa RUU PKS sudah masuk ke dalam daftar Prolegnas sejak tahun 2016, sementara RUU PPRT meski sudah ada dalam daftar tersebut sejak tahun 2004 namun tak pernah mendapat sorotan yang berarti.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera mengesahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan memastikan kedua RUU tersebut ada di dalamnya.

“Ketua RUU itu sama pentingnya. DPR harus menunjukkan komitmennya dalam perlindungan perempuan dengan mengesahkan RUU PKS dan RUU PPRT. Kedua RUU ini sudah lama diusulkan dan dibahas. Tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahannya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid hari ini.”

“DPR harus menyadari dan menjawab kegelisahan masyarakat atas kekerasan seksual. Jumlah kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan perlunya payung hukum yang lebih kuat untuk menghentikan impunitas,” kata Usman.

Pada November 2020, melalui kampanye penulisan surat bertema Pesan Perubahan atau PENA,  Amnesty menyerahkan 3.352 surat yang berisi desakan pengesahan RUU PKS dari masyarakat di seluruh Indonesia kepada Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas.

Menurut Catatan Tahunan 2021 Komnas Perempuan, terjadi setidaknya 1.938 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah privat dan 963 kasus dalam ranah publik. Setidaknya 401 di antara kasus tersebut adalah kasus pelecehan seksual yang masih belum ada rujukan hukumnya di Indonesia.

“Angka ini memang terkesan tidak sebanyak catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun lalu. Namun hal itu terjadi karena situasi pandemic yang menyulitkan Lembaga tersebut dalam melakukan pendataan. Masyarakat, khususnya perempuan, juga banyak yang terdampak oleh pandemic sehingga menyulitkan mereka untuk melakukan pengaduan dan pelaporan yang bisa terdata oleh Lembaga seperti Komnas Perempuan,” tambah Usman.

Selain mendorong penghapusan kekerasan seksual, pemerintah dan DPR juga masih perlu memperhatikan lebih hak-hak dari 4 juta pekerja rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan.

Menurut survei yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada 2019, lebih dari 98 persen dari 682 pekerja rumah tangga yang disurvei hanya dibayar 20 sampai 30 persen dari upah minimum regional di daerah masing-masing.

Amnesty Internasional juga telah melakukan penelitian mengenai pekerja rumah tangga perempuan di tahun 2007. Dari studi ini, ditemukan bahwa para pekerja tersebut rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan fisik dan seksual serta tidak adanya standar hidup yang layak.

“Pekerja rumah tangga sudah seharusnya mendapat pengakuan sebagai pekerja sekaligus juga mendapat perlindungan negara terkait upah minimum, waktu istirahat, libur, dan jaminan kesehatan,” kata Usman.

Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyebutkan bahwa negara tidak boleh menunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan merumuskan sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan serta mengatur mekanisme pemulihan yang efektif dan adil.

Selain itu, Indonesia saat ini belum meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi PRT, yang isinya mengamanatkan adanya upah minimum, jam kerja, libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja.