Saat dunia merayakan Hari Anti Hukuman Mati, 299 narapidana menunggu eksekusi di Indonesia

Pengadilan di Indonesia telah menjatuhkan sedikitnya 37 vonis mati sejak Januari tahun ini, menambah daftar panjang jumlah total terpidana yang menunggu waktu eksekusi mati menjadi 299 orang, menurut Amnesty International dalam Perayaan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia hari ini di Jakarta.

Dari total 37 kasus tersebut, 28 di antaranya terkait penyalahgunaan narkoba, delapan kasus pembunuhan dan satu vonis mati terkait tindak pidana terorisme. Delapan orang merupakan warga negara Taiwan dan sisanya warga negara Indonesia.

Dibanding tahun lalu pada periode yang sama, Januari-Oktober, angka vonis mati tersebut juga berjumlah 37. Namun secara keseluruhan pada 2017, total sebanyak 47 orang dijatuhi hukuman mati dari Januari hingga Desember.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan terpidana mati sering kali mengalami perlakuan tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat di dalam tahanan.

“Dalam banyak kasus, mereka ditempatkan dalam ruang isolasi yang sangat ketat. Mereka tidak mendapat perawatan medis memadai dan hidup dalam ketakutan menunggu eksekusi. Otoritas terkait sering mengabarkan rencana eksekusi kepada terpidana mati hanya beberapa saat menjelang eksekusi mati dilaksanakan,” kata Usman.

Amnesty International mengapresiasi keputusan Indonesia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 27 Desember 2016 lalu di New York yang memilih abstain untuk Resolusi ke-6 PBB terkait Moratorium Penggunaan Hukuman Mati. Sebelumnya, pemerintah menolak resolusi tersebut.

Negara-negara yang mendukung Resolusi tersebut meningkat dari tahun ke tahun, dari yang 104 pada saat pertama kali digelar pada 2007 menjadi 117 saat voting terakhir 2016. Pada tahun itu juga, 40 negara menolak dan 31 lainnya memilih abstain, termasuk Indonesia, saat voting Resolusi dilakukan.

Pada akhir 2018 nanti, tepatnya di bulan Desember, Sidang Umum PBB mempertimbangkan akan melakukan voting Resolusi ke 7 Moratorium terkait Penggunaan Hukuman Mati.

“Kami berharap Indonesia mempertahankan posisi yang sama pada Resolusi ke-7 di tahun 2018 atau mengambil inisiatif untuk mendukung resolusi tersebut. Meningkatnya negara-negara yang mendukung Resolusi tersebut sejalan dengan perkembangan positif terkait penghapusan hukuman mati di dunia yang membaik. Kami yakin Indonesia akan mengedepankan perspektif HAM dalam mengambil keputusan pada Resolusi ke-7 terkait Moratorium Hukuman Mati pada Desember 2018 nanti,” tambah Usman.

“Indonesia mempunyai modal yang kuat untuk mengambil opsi mendukung resolusi tersebut mengingat pada sidang Universal Periodic Review [UPR] di Dewan HAM pada Mei 2017 lalu, Pemerintah Republik Indonesia menerima rekomendasi Dewan HAM PBB untuk mempertimbangkan moratorium eksekusi mati dan penghapusan hukuman mati. Opsi mendukung resolusi tersebut akan membuat Indonesia dipandang oleh dunia internasional sebagai negara yang selangkah lebih maju dalam menghargai hak asasi manusia.”

Baru-baru ini Amnesty International telah menyampaikan permasalahan-permasalahan yang menyelimuti praktek hukuman mati di dunia dalam sebuah forum di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, tepatnya pada 25 September lalu.

Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa banyak orang yang dihukum mati memiliki latar belakang dari kaum marjinal yang tak punya akses ke bantuan hukum yang kompeten dan tak tahu cara membela diri.

Ia mengambil contoh kasus mantan terpidana mati asal Nias, Sumatera Utara, yang bernama Yusman Telaumbanua. Pengacara Yusman, yang ditunjuk negara, justru meminta kliennya dihukum mati dan luput memberitahukan hak Yusman mengajukan banding.

“Kasus Yusman adalah kombinasi mematikan antara hukuman mati dan kemiskinan. Ia beruntung masih bisa lolos dari eksekusi. Tapi, kisah seperti ini tak akan menimpa orang kaya,” ujar Kumi. “Pada kenyataannya, faktor-faktor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejahatan itu sendiri dapat membentuk pengalaman orang di sistem peradilan pidana, mempengaruhi hidup dan mati mereka.”

Yusman beruntung karena mendapat pengacara baru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pengacara-pengacara dari lembaga tersebut menunjukkan sistem peradilan pada kasus Yusman terbukti tidak adil dan memihak, sekaligus menjadi bukti adanya persoalan serius pada praktik hukuman mati di Indonesia.

Amnesty International menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dalam kasus apa pun dan dengan metode apa pun. Hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia tersebut jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM).

“Kami tidak menolak penghukuman pelaku-pelaku kriminal yang memang seharusnya dihukum atas perbuatan mereka. Yang kami tolak adalah penggunaan hukuman mati yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Apapun kejahatannya, seseorang tidak boleh dihukum dalam kondisi yang tak manusiawi di penjara, apalagi untuk kemudian dirampas hak hidupnya. Momen Hari Anti Hukuman Mati Sedunia ini harus kita gunakan untuk mengingatkan otoritas bahwa terpidana mati, sama seperti para tahanan untuk kejahatan lainnya, harus diperlakukan secara manusiawi, dalam kondisi yang sesuai dengan standar hukum internasional. Momen ini juga harus digunakan sebagai refleksi menuju moratorium hukuman mati di Indonesia, sebuah langkah awal menuju penghapusan menyeluruh hukuman mati dalam undang-undang dan praktik di Indonesia,” kata Usman.

Menurunnya jumlah hukuman mati secara global pada 2017 harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk memberlakukan moratorium eksekusi mati di sisa waktu yang tersedia tahun ini.

Lebih dari dua pertiga negara-negara di dunia kini telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang atau praktik. Per 31 Desember 2017 jumlahnya adalah : Abolisionis untuk semua kejahatan 106 negara; Abolisionis untuk kejahatan biasa tujuh negara; dan Abolisionis dalam praktik 29 negara.

Indonesia masih tergolong sebagai negara retensionis hukuman mati. Artinya, di Indonesia masih terdapat peraturan perundang-undangan yang menerapkan hukuman mati dan masih menjatuhkan vonis hukuman mati atau melakukan eksekusi hukuman mati dalam 10 tahun terakhir.

Indonesia merupakan bagian dari 56 negara lain di dunia yang masih berstatus retensionis. Negara-negara lain yang ada dalam satu golongan dengan Indonesia antara lain: Afghanistan, Tiongkok, Kuba, Ethiopia, Iran, Irak, Malaysia, Nigeria, Korea Utara, Saudi Arabia, Sudan, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Laporan Amnesty International yang berjudul “Hukuman dan Eksekusi Mati 2017” mengungkapkan bahwa jumlah eksekusi secara global terus menurun dari 2016 hingga 2017, dari angka 1.032 ke 993. Hal ini menunjukkan adanya penurunan 4 persen dan 39 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015, periode terjadinya eksekusi mati untuk 1.643 orang di seluruh dunia, angka tertinggi yang berhasil didokumentasikan Amnesty International sejak 1989.

Latar Belakang

Baca juga bahan-bahan Amnesty International lainnya terkait hukuman mati:

1. Moratorium Hukuman Mati Pada 2018 Bisa Dicapai
https://www.amnestyindonesia.org/moratorium-hukuman-mati-pada-2018-bisa-dicapai

2. Death Sentences and Executions 2017 https://www.amnesty.org/en/latest/news/2018/04/Death-penalty-sentences-and-executions-2017/